Cherreads

Chapter 35 - Perpisahan di Warung dan Pondok Kecot 

Langit siang semakin cerah, suara riuh rendah pengunjung memenuhi Warung dan Pondok Kecot. Di antara keramaian, Solor berdiri di depan warung, sementara Gunadir dan Arindi menatapnya dengan ekspresi campuran antara geli dan enggan melepasnya.

"Aku masih tak percaya kau benar-benar pergi, Lor," kata Gunadir, menyilangkan tangan. "Kau yakin tidak ingin menetap lebih lama? Siapa tahu kami bisa memberimu pekerjaan sebagai pencuci piring tetap."

Solor tertawa pendek. "Terima kasih atas tawarannya, Gun. Tapi, aku lebih cocok jadi pengembara daripada tukang cuci piring."

Arindi menghela napas pura-pura sedih. "Sayang sekali. Aku sudah menyiapkan baskom besar khusus untukmu."

"Ya, ya, aku tahu kalian akan merindukanku," balas Solor, menaikkan dagunya dengan gaya sok percaya diri.

"Tentu saja," kata Gunadir, tersenyum sinis. "Terutama meja yang selalu kau tempati, yang entah kenapa tiap kali kau duduk di sana, jumlah makanan di dapur kami selalu menyusut drastis."

Arindi mengangguk setuju. "Dan piring yang selalu bersih mengkilap setelah kau selesai makan. Lebih bersih daripada yang sudah dicuci!"

Solor terkekeh sambil menepuk dada. "Itu bukti bahwa aku menghargai makanan."

Gunadir menepuk bahu Solor dengan ekspresi penuh arti. "Ya, ya, dan semoga di perjalanan nanti kau juga menghargai dompetmu. Karena di luar sana, tak ada warung yang bisa kau tinggali tanpa membayar seperti di sini."

Mereka bertiga tertawa, saling melempar candaan seolah ini hanya obrolan biasa. Namun di balik itu, ada rasa berat yang perlahan muncul.

Di tengah momen itu, Koro datang membawa sebuah tas tabung dari anyaman bambu dan menyerahkannya kepada Solor. "Ini untuk perjalananmu. Bisa kau pasang di belakang pelana Wus Wus. Aku juga sudah menyiapkan pengkait di sendalmu, seperti yang kau minta."

Solor menerima tas itu dengan anggukan terima kasih. Koro lalu merakit lampu ublik kecil di sisi pelana Wus Wus dan memasangkan pelindung kaki dari kulit untuk kuda itu. "Kau akan melewati banyak medan berat. Ini akan melindunginya."

Solor tersenyum, menepuk Wus Wus dengan lembut. "Terima kasih, Koro. Kau selalu memperhatikan hal-hal kecil yang penting."

Koro hanya mengangguk, lalu tanpa banyak bicara, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu—tiga keping plakat besi persegi panjang sebesar daun kangkung, berwarna keemasan dengan logo keong di tengahnya dan sebuah lubang untuk tali di pinggirnya.

"Permintaan tiga tiket sudah saya siapkan, Lor," katanya sambil menyerahkannya pada Solor.

Solor mengambilnya dengan hati-hati, menatapnya beberapa saat sebelum menyimpannya di dalam kantong.

Gunadir dan Arindi saling pandang. "Tiga tiket arena rahasia, huh?" gumam Gunadir. "Kau masih memperdulikan ketiga bocah itu?."

Solor tersenyum tipis. "Kadang, misteri adalah satu-satunya hal yang membuat perjalanan lebih menarik."

Ia menaiki Wus Wus perlahan, menarik tali kekang, lalu menatap mereka bertiga satu per satu.

"Jaga warung ini baik-baik," katanya.

Arindi tersenyum. "Dan kau jaga dirimu, kang Solor. Jangan kembali dalam keadaan lebih kurus, nanti hewan hewan malah menghilang gak mau nurut."

Gunadir tertawa. "Dan kalau kau kembali, pastikan membawa oleh-oleh. Kalau tidak, kau takkan diizinkan duduk di meja tengah U!"

Solor tertawa lepas. "Kalau begitu, aku harus memastikan kembali dengan selamat."

Dengan satu tarikan tali, Wus Wus melangkah perlahan menjauhi tebing Warung dan Pondok Kecot. Solor melirik ke belakang sekali lagi—melihat wajah-wajah yang sudah menjadi bagian kecil dari kehidupannya. Gunadir dan Arindi masih berdiri di depan warung, melambai dengan senyum yang sedikit lebih sendu dari biasanya.

Semilir angin menerpa wajahnya saat ia kembali menghadap ke depan. Lautan rumput membentang luas di hadapannya, dan di kejauhan, Pegunungan Lumut menjulang, memanggilnya untuk kembali mengarungi perjalanan panjangnya.

Ia menarik napas dalam-dalam.

Perjalanannya baru saja dimulai kembali.

More Chapters