Solor menahan napas, menatap jalur sempit di hadapannya. Jalan itu, dulu berupa susunan batu putih yang tertata rapi, kini hampir hilang ditelan akar-akar besar dan lumut tebal. Di sisi kanan, tebing licin menjulang, di sisi kiri, jurang terjal yang diselimuti kabut. Hanya ada satu jalan—dan itu terlalu sempit untuk Wus Wus.
Kuda pendek itu mendengus, telinganya bergerak gelisah. Solor bisa merasakan kecemasan sahabatnya. "Kita sudah terlalu jauh untuk berbalik," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia tahu, jika terus memaksa, Wus Wus bisa terpeleset dan jatuh.
Pilihan itu menghantamnya keras.
Meninggalkan Wus Wus berarti bisa mencapai Wulansana lebih cepat, menghindari bahaya lebih jauh. Ia bisa berjalan kaki, lebih ringan, lebih lincah. Tetapi ini Wus Wus. Kuda yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. Kuda yang tetap setia padanya bahkan ketika dunia menganggapnya tidak lagi berarti sebagai Pengembara Bulan Sabit.
Solor menggenggam tali kekang erat. "Aku akan kembali menjemputmu nanti…" kata-kata itu hampir keluar dari bibirnya, tapi tidak pernah terucap.
Wus Wus, seolah memahami keraguannya, menghentakkan kakinya ke tanah, mengeluarkan suara parau. Tatapan matanya tajam, penuh keyakinan. Seakan berkata, Aku tidak ingin ditinggalkan.
Solor mengepalkan tangannya. Tidak.
Ia melepas embusan napas panjang, lalu menyapu pandangan ke sekeliling. Tidak. Ia tidak akan meninggalkan Wus Wus. Jika tidak bisa melewati jalur ini, maka mereka akan mencari jalan lain—bersama-sama.
Ia menuntun Wus Wus perlahan, mundur beberapa langkah. Lalu, di antara kabut tipis, ia melihat sesuatu—pohon besar yang tumbuh menjorok dari tebing, dengan akar menjalar ke bawah.
"Kalau kita bisa menuruni bagian itu… kita bisa menemukan jalur lain."
Keputusan sudah dibuat. Ia akan tetap bersama Wus Wus.
Dengan penuh kehati-hatian, Solor mencari jalan menurun, mengarahkan Wus Wus mengikuti langkahnya. Setiap pijakan terasa berbahaya, setiap tarikan napas penuh ketegangan. Tapi mereka melangkah bersama.
Dan ketika akhirnya mereka menemukan pecahan batu paving yang tersisa di balik rimbunan lumut, Solor tersenyum.
Mereka berhasil. Bersama.