Pegunungan Lumut menjulang dengan lekukan-lekukan tanah subur yang diselimuti hijauan abadi. Dari kejauhan, gunung-gunung ini tampak seperti gelombang hijau pekat, dengan warna lumut yang lebih tua dan gelap di bagian lembah, sementara puncaknya tertutup kabut tipis yang terus mengambang.
Saat memasuki wilayah ini, udara menjadi lembap dan dingin, aroma tanah basah bercampur dengan wangi daun yang membusuk dan akar-akar tua. Pohon-pohon raksasa menjulang, dengan akar yang mencuat seperti lengan yang hendak meraih. Beberapa di antaranya memiliki batang yang begitu besar hingga bisa menjadi jalan setapak alami.
Jalur Lumut sendiri hampir tidak terlihat lagi, tertutup oleh lumut tebal dan akar-akar yang menjalar. Di beberapa tempat, jalan batu putih yang dahulu tersusun rapi kini pecah-pecah, terselip di antara semak-semak liar, akar dan batuan yang longsor.
Semakin dalam seseorang memasuki pegunungan ini, semakin senyap suasananya. Burung-burung jarang berkicau, hanya ada suara dedaunan yang bergesek ketika angin berembus. Kadang-kadang, terdengar suara gemerisik samar, entah dari hewan liar atau sesuatu yang lain.
Di beberapa bagian, ada batu-batu besar dengan pahatan kuno yang nyaris tak terbaca karena tertutup lumut. Konon, batuan itu adalah penanda jalur yang dipasang oleh leluhur, tetapi kini menjadi misteri yang tak banyak diketahui orang.
Saat malam tiba, Pegunungan Lumut berubah menjadi dunia yang berbeda. Kabut turun lebih tebal, menciptakan bayangan-bayangan aneh di antara pepohonan. Cahaya rembulan sulit menembus rapatnya dedaunan, membuat tempat ini terasa seperti dunia lain—sepi, dalam, dan penuh rahasia.
—--------------------
Matahari mulai condong ke atas kepala ketika Solor Jayusman meninggalkan Lataran Wijo. Dari tebing Warung dan Pondok Kecot, ia memandang sejenak ke belakang, meresapi keheningan yang tertinggal di tempat peristirahatan itu. Tanpa ragu, ia menghela napas dan mengarahkan Wus Wus, kudanya yang setia, ke depan, melangkah mantap mengarungi lautan rumput yang luas membentang seperti gelombang hijau yang tak bertepi. Padang savana itu seolah menjadi pengantar bagi perjalanan yang lebih dalam menuju Pegunungan Lumut.
Sebelum sampai di kaki pegunungan, Solor melewati hutan yang semakin rapat. Udara berubah, lebih dingin dan lebih lembab. Semakin dalam ia melangkah, pepohonan raksasa mulai terlihat, batangnya melenggok seperti bonsai kolosal yang bertautan, membentuk kanopi tebal yang hampir sepenuhnya menghalangi sinar matahari. Lumut menyelimuti hampir setiap permukaan, menciptakan nuansa hijau pekat yang tenang, teduh, dan misterius. Kabut tipis mengambang di udara, menjadikan hutan Pegunungan Lumut terasa seperti dunia lain yang terpisah dari realitas.
Wus Wus melangkah hati-hati di atas tanah yang licin dan tertutup akar-akar besar. Solor tetap teguh di pelana, matanya awas menelusuri setiap bayangan yang melintas di antara pepohonan trembesi raksasa. Kesunyian menyelimuti hutan ini, hanya suara langkah kaki kuda yang beradu dengan tanah lembab yang terdengar.
Setelah beberapa waktu, ia sampai di tepian sungai yang jernih bagaikan kristal. Sungai Sumilir, aliran air terpanjang di Sanajayan, mengalir tanpa hambatan, bening dan tenang. Solor turun dari kudanya, membiarkan Wus Wus menghirup udara segar di dekat air. Pandangannya menyapu aliran sungai yang lebar namun dangkal. Di sana, di pinggir air yang beriak lembut, gerombolan keong kuning keemasan berkumpul, cangkangnya mengilap di bawah cahaya samar yang berhasil menembus dedaunan.
Matanya tertuju pada satu keong yang terpisah dari yang lain, berselimut lumut. Ia mendekat, mengulurkan tangan, lalu membersihkan cangkang keong itu dengan lembut. Saat itu, kata-kata Darmaji dari Warung dan Pondok Kecot kembali menggema di pikirannya:
"...Ayahnya bermimpi mencabut sebuah tanaman, dan saat itulah ia yakin Wandarimo akan menjadi Pengembara Bulan Sabit yang mampu memurnikan Batin Pangikrar. Mimpi itu akan terbukti benar jika Wandarimo memenangkan Sayembara selanjutnya…"
Seketika, Solor merasa dadanya sesak. Kenyataan menghantamnya seperti gelombang deras. Ia masih memiliki empat tahun sebagai Pengembara Bulan Sabit, tetapi kepercayaan orang-orang terhadapnya sudah mulai runtuh.
Suara-suara dari para tetua Aliansi yang dulu hanya samar kini bergema keras di kepalanya.
"Saya tidak pernah yakin pada Solor! Memangnya apa yang bisa diharapkan darinya? Terpilih pun tak ada gunanya kalau akhirnya tetap gagal!"
"Betul! Solor itu aneh! Terlalu sibuk dengan hewan-hewan dan pikirannya sendiri! Tidak fokus! Mustahil dia bisa memurnikan Batin Pangikrar!"
Tangannya melemah, seolah semua tenaga yang tersisa telah direnggut oleh suara-suara yang terus menggema di kepalanya. Keong yang baru saja ia bersihkan tergelincir dari jemarinya, jatuh kembali ke daun lebar, terbawa setetes air yang mengalir pelan. Ia menatapnya tanpa benar-benar melihat, sejenak membeku dalam kebisuan yang menyesakkan.
Ia menarik napas dalam, mencoba menelan pahitnya kata-kata yang menusuk jiwanya. Namun, udara yang masuk terasa berat, seperti membawa beban yang semakin menghimpit dadanya. Dengan gerakan lamban, ia mengusap wajahnya, seolah ingin menyapu lelah dan luka yang tak kasat mata.