Pegunungan Lumut, Kudusnya cahaya mentari menjelang senja merayap di celah dedaunan, menciptakan semburat keemasan yang berpendar di antara bayang-bayang hutan. Udara masih hangat, namun angin sejuk mulai berbisik di sela pepohonan, membawa aroma tanah lembab dan dedaunan yang basah. Terik yang perlahan melembut menyelimuti langit dengan warna jingga keemasan, seakan melukiskan perpisahan lembut sebelum malam merayap masuk.
Langit di atasnya telah tertutup kelam sebelum matahari sempat benar-benar terbenam. Kabut turun seperti tirai tanpa celah, menelan seluruh warna dunia. Kini, hanya abu-abu dan hijau lumut yang tersisa, berpendar samar dalam kegelapan.
Solor menahan kendali Wus Wus, kuda setianya. Nafas binatang itu berat, matanya gelisah. Ia bisa merasakan keresahan dalam tiap langkah kudanya yang kini lebih berhati-hati. Seolah tanah di bawah mereka bukanlah jalur yang pernah ia kenal.
Jalur Lumut telah menghilang.
Sejauh matanya memandang—yang tak lebih dari beberapa langkah ke depan—ia hanya melihat belukar yang berpilin seperti penari malam, akar-akar raksasa melilit seperti ular purba, dan pepohonan bonsai raksasa yang tubuhnya meliuk bagai penjara alam. Arah telah hilang. Dunia terasa seperti labirin tanpa akhir.
Dan ia tersesat.