Cherreads

Chapter 34 - Misteri Para Penambang

Solor menghela napas. Seperti yang ia duga. Ia lalu menatap Darmaji dengan tajam.

"Aku sudah tahu kalau Akik Kumenteng akan dijadikan hadiah sayembara nanti, bahkan sebelum aku datang ke sini," ujar Solor, tatapannya tajam seolah menimbang sesuatu.

Darmaji mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, penasaran. "Dari siapa?"

"Surat yang dikirim ke rumahku di Nawijem," jawab Solor. "Aku tak tahu siapa yang mengirimnya."

Darmaji mengernyit. Sekilas, ia tampak berpikir. "Menarik..." gumamnya. "Siapa pun yang mengirim surat itu, dia tahu lebih banyak dari yang kita kira."

Solor melipat surat undangan rapat itu. "Darmaji," katanya kemudian, "benarkah Akik Kumenteng diberikan oleh Raja Gumandhar kepada Wandarimo?"

Darmaji mengangguk. "Benar. Namun, itu gagal. Apa yang mereka yakini ternyata keliru. Mereka berharap Wandarimo adalah Sang Pemurni Batin Pangikrar, namun harapan itu sirna."

"Lantas, bagaimana reaksi Raja Gumandhar dan Wardiman?"

Darmaji menyandarkan punggungnya, tatapannya berubah tajam. "Malu," jawabnya singkat. "Dan karena rasa malu itu, mereka kini memutuskan untuk menurunkan Akik itu kepada pemenang sayembara berikutnya."

Solor terdiam, mencerna informasi itu.

Kemudian, ia menatap Darmaji dengan serius. "Jadi, surat ini... ingin membahas Akik Kumenteng sebagai hadiah? Kenapa aku dipanggil?"

Darmaji menatapnya dalam-dalam. "Aliansi selalu bertindak defensif terhadap pengetahuan tentang Batin Pangikrar. Mereka takut, Solor. Takut jika terlalu banyak orang tahu. Namun justru karena itulah ada masalah. Tuan Waluyo Karman ingin semua mantan Pengembara Bulan Sabit menghadiri rapat ini. Untuk menentang kebijakan Aliansi."

Solor menekan surat itu di atas meja. "Jadi, aku harus datang?"

Darmaji mengangguk. "Kalau kau masih peduli dengan dunia ini... maka datanglah."

Ia kemudian mencondongkan tubuhnya, suaranya menjadi lebih rendah. "Dan satu hal lagi yang perlu diingat, tuan Solor... Ini bukan hanya soal Pusaka atau keajaibannya. Ini tentang lima penambang itu. Jangan pernah meremehkan mereka."

Solor diam. Namun, setelah beberapa saat, ia menggeleng pelan. "Kau salah, Darmaji."

Darmaji mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"

Solor menatap Darmaji dengan dalam, suaranya terdengar lebih berat. "Akik itu bukan milik mereka."

Kini Darmaji benar-benar terkejut. "Apa maksudmu?"

Solor menarik napas pelan, seolah mengukur kata-katanya sebelum akhirnya berkata, "Akik itu milik Hartoko."

Darmaji menatapnya tajam, menunggu kelanjutannya.

"Dia bukan sekadar penambang biasa yang diperbudak," lanjut Solor, suaranya nyaris berbisik. "Dia putra seorang pengrajin akik dari Wartojayan. Dan dia telah gugur di tambang."

Darmaji terdiam. Matanya sedikit membesar, seperti baru menyadari sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik kabut misteri. "Kau yakin?" suaranya nyaris tak terdengar.

Solor mengangguk perlahan. "Aku tidak hanya yakin, Darmaji… Aku tahu."

Darmaji membelalak. Jantungnya berdegup lebih cepat "Dari mana Anda tahu tentang itu?"

suaranya terdengar nyaris bergetar.

Solor bersandar pada pagar balkon, menghela napas. "Sebelumnya aku pernah membahas ini dengan Samiranah. Semuanya tercatat dalam bukunya."

Darmaji menatap kosong ke kejauhan, seolah menggali ingatan yang tersimpan di relung pikirannya. Bibirnya bergerak tanpa sadar, suaranya lirih nyaris tertelan angin. "Gadis cerdas itu..." gumamnya, penuh rasa hormat yang tak terucapkan.

Darmaji menghela napas pelan, lalu bangkit dari tempat duduknya. Cahaya lampu gantung menggoyang bayangannya di lantai kayu. "Aku harus kembali ke Alingkukoh," katanya, suaranya tenang namun mengandung beban yang tak terucapkan.

"Tuan Waluyo Karman harus segera tahu tentang ini."

Solor hanya menatapnya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. Tanpa banyak kata, mereka berjabat tangan dengan erat, tapi dingin. Seolah memahami bahwa perpisahan ini bukan sekadar berpisah. Ada sesuatu yang menggantung di antara mereka, sesuatu yang belum selesai.

Darmaji melangkah pergi, melewati lorong balkon yang melingkar dengan langkah mantap. Jubahnya berkibar samar saat ia menuruni tangga, perlahan menghilang dalam keramaian Warung Kecot.

Solor masih berdiri di tempatnya, menatap gulungan surat yang terasa semakin berat di tangannya. Angin pagi menyelinap dari jendela, menggoyangkan tirai tipis dan membawa aroma kayu serta bunga kenanga.

Di kejauhan, Pegunungan Lumut menjulang kelam di bawah langit yang mulai membuka kabut. Itulah tujuan berikutnya. Namun, di sana, lebih dari sekadar perjalanan yang menantinya.

Di sanalah, takdir yang telah lama mengintai akhirnya akan menampakkan diri.

More Chapters