Di lorong balkon lantai dua, Darmaji duduk di atas dingklik kecil, membiarkan jubahnya tersampir di punggung. Cahaya lampu gantung berbentuk buah menggerombol di atasnya, memendarkan sinar lembut yang memantul di lantai kayu tua. Dari tempatnya, ia bisa melihat keramaian warung di bawah, mendengar sayup obrolan dan dentingan gelas.
Namun, matanya tak benar-benar tertuju ke sana. Jemarinya menggenggam erat gulungan surat, sementara di sekelilingnya, deretan pintu kamar berdiri diam, membingkai lorong yang terasa lebih sunyi dari biasanya.
Lalu, suara engsel pintu berderit.
Solor muncul di ambang pintu, berdiri di samping pot tanah liat besar berisi tumbuhan berdaun lebar. Rambut kuncungnya masih agak berantakan, dan sisa kantuk masih tersisa di wajahnya—hanya sekejap, sebelum lenyap begitu saja saat ia melihat siapa yang menunggunya.
"Tuan Darmaji?"
Darmaji menoleh, seulas senyum tipis tersungging di wajahnya. "Kau terlihat lebih kurus,tuan Solor."
Tanpa banyak kata, ia mengulurkan surat di tangannya. Solor menerimanya, membuka gulungan itu, lalu membaca isinya dengan seksama. Matanya menyipit saat ia sampai pada bagian tengah.
"Undangan rapat... dari Waluyo Karman?" gumamnya, setengah tak percaya.
"Benar," Darmaji menjawab tenang. "Aliansi ingin membahas hadiah Sayembara berikutnya—Akik Kumenteng." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih rendah. "Ada yang keberatan dari beberapa pihak. Karena itulah, rapat ini kembali dibuka... namun secara tertutup."