Pagi itu, Warung Kecot diselimuti suasana yang lebih hening dari biasanya. Orang-orang berbisik di sudut-sudut ruangan, pandangan mereka sesekali melirik ke arah seorang pria berjubah panjang yang duduk di pojokan. Tudungnya menutupi hampir seluruh wajah, membiarkan hanya sedikit bayangan rahang dan bibirnya terlihat di bawah cahaya temaram. Asap tipis mengepul dari cangkir teh di hadapannya, berbaur dengan wangi kayu dan bunga kenanga yang samar-samar memenuhi udara.
Dari balik meja kasir, tatapan Koro mengawasi dengan cermat, matanya menyipit penuh selidik.
"Siapa dia?" bisik Arindi, penjaga warung, suaranya hampir tenggelam dalam denting piring dan gemerisik langkah pelanggan yang lalu lalang.
Gunadir, yang juga ada di dekat situ, mengangguk kecil, "Orang Alingkukoh. Ujarnya pelan. Tidak biasa ada yang datang sejauh ini sendirian."
Hening. Seolah warung itu sendiri tengah menahan napas.
Koro akhirnya bergerak, melangkah mendekati pria itu dengan tangan terlipat di dada. Nada suaranya datar, namun tak bisa menyembunyikan ketajaman di baliknya.
"Maaf, Tuan. Di tempat kami, orang yang menyembunyikan wajah biasanya punya alasan yang mencurigakan." Matanya tajam menusuk. "Apa urusanmu di sini?"
Pria itu tidak segera menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangan perlahan, lalu menarik sedikit tudungnya ke belakang. Cahaya lilin berpendar samar menyapu di wajahnya—cukup bagi Koro untuk mengenali siapa dia.
Sekelebat kejutan melintas di mata Koro. "Darmaji...?"
Darmaji menundukkan kepala sedikit, lalu merogoh sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah gulungan surat, ujungnya terikat benang halus berwarna merah tua. Ia meletakkannya di meja di hadapan Koro.
"Aku hanya ingin menitipkan sesuatu. Surat ini untuk Solor Jayusman," katanya datar, seolah hanya menyampaikan amanat tanpa beban. "Jika dia singgah kemari, berikan padanya."
Koro menatap surat itu sejenak , lalu menatap surat itu sebelum kembali menatap pria di hadapannya.
"Sayangnya, kalau soal itu, kau terlambat, Tuan," katanya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya. "Solor sudah ada di sini sejak kemarin siang."
Darmaji mendongak sedikit, ekspresinya tetap tenang, tapi jelas ada secercah ketertarikan dalam tatapannya.
"Oh?" gumamnya pelan. "Begitu rupanya… menarik. Kukira dia masih berada di rawa Nawijem."
Koro mengangkat bahu. "Yah, kau tahu sendiri Solor itu seperti angin. Kadang datang, kadang hilang. Tiba-tiba muncul, lalu menghilang lagi. Tak ada yang benar-benar tahu ke mana ia akan melangkah berikutnya."
Darmaji tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Ia tampak mempertimbangkan sesuatu, lalu mengangguk perlahan.
"Kalau begitu, lebih baik aku menemui dia langsung. Masihkah dia di lantai dua?"
Koro memandangi pria itu lebih lama, seakan mencoba membaca maksud di balik kehadirannya.
"Masih," jawabnya akhirnya. "Tapi jika kau mau menunggu, aku bisa memanggilnya."
Darmaji tidak langsung menjawab. Pandangannya berkelana ke sekeliling warung, mengamati bagaimana tempat itu mulai sibuk kembali. Ia menarik napas perlahan, meresapi aroma kayu tua, kopi hangat, dan bunga kenanga yang menguar tipis di udara.
Perlahan, ia menurunkan tudungnya lebih jauh, memperlihatkan wajahnya sepenuhnya. Cahaya lilin menari di sudut pipinya, menyorot lekuk wajah yang tajam namun tetap tenang.
"Tak perlu," katanya akhirnya. "Aku akan menunggunya di atas. Lagipula, sudah lama aku tidak menginjakkan kaki di tempat ini."
Koro yang tadinya masih agak kaku mulai sedikit melunak. Ia mengenali wajah itu—tidak asing di kalangan orang-orang yang sering berurusan dengan Aliansi.
Akhirnya, ia menghela napas dan meletakkan satu tangan di pinggang.
"Baiklah," katanya. Tapi sebelum Darmaji beranjak, ia bertanya, "Bolehkah aku tahu… apa isi surat itu?"
Darmaji tersenyum samar, tapi sorot matanya tajam, seolah menyimpan sesuatu yang tak terkatakan. "Sesuatu yang mungkin akan mengubah arah langkahnya."
Koro hanya mengangguk setelah mempertimbangkan sejenak. Tanpa banyak tanya, ia mengisyaratkan Darmaji untuk naik ke lantai dua. Kedatangan pria ini bukan kebetulan, dan Koro tahu—entah disadari atau tidak, Solor akan terseret ke dalam arus yang dibawanya.