Cherreads

Chapter 29 - Bisikan di Balik Rak Rahasia

Setelah menapaki anak tangga terakhir dan memasuki lantai tiga, Koro, yang berjalan di depan, segera meletakkan lampan berisi soto dan teh hangat di atas meja laci yang menyerupai meja kasir, tepat di tengah susunan rak ber-shaft-shaft setinggi ruangan yang melingkar. Ruangan ini seakan menjadi jantung dari segala misteri yang tersimpan di Warung dan Pondok Kecot, dipenuhi benda-benda antik, lembaran peta lusuh, gulungan kain bertuliskan aksara kuno, serta botol-botol kaca berisi ramuan yang berkilauan di bawah sinar lampu gantung keong besar.

Ruangan itu terasa seperti memasuki cangkang raksasa yang menyimpan rahasia zaman. Dinding-dindingnya melengkung sempurna, dibalut kayu coklat tua yang diukir motif keong berpilin, seolah riak ombak membeku dalam wujud ukiran. Rak-rak bershaft melingkari ruangan, mengikuti lengkungan dinding dengan presisi, menjulang tinggi hingga nyaris menyentuh langit-langit. Setiap rak menyimpan benda-benda antik yang tak terhitung jumlahnya—botol kaca berisi ramuan berwarna pekat, gulungan naskah kuno, hingga bilah senjata yang tampak pernah merasakan sejarah berdarah.

Di atas rak, jendela-jendela bundar kecil berjajar rapi, masing-masing berbingkai ukiran keong yang simetris dan halus. Saat malam, cahaya luar merembes melewati celah ukiran itu, menciptakan bayangan samar yang bergerak perlahan di sepanjang dinding. Seakan ruangan ini bernapas, menyimpan kehidupan yang tak kasat mata.

Langit-langit ruangan menjulang dalam kubah setengah lingkaran, di puncaknya tergantung gong besar berwarna keemasan dengan tali penabuh yang menyambung pada lentera kaca berbentuk keong. Lentera itu berpendar lembut, memancarkan cahaya keemasan yang berkilauan saat menyala, menciptakan pantulan cahaya yang menari-nari di seluruh ruangan. Bayangannya bergerak perlahan di dinding kayu, menambah ilusi bahwa tempat ini bukan sekadar ruangan, melainkan bagian dari makhluk purba yang tertidur.

Tepat di bawah lentera keong, terbentang sebuah karpet bundar berwarna hijau tua dengan tepian berpola garis kuning keemasan, menciptakan pusat ruangan yang megah. Di atasnya berdiri meja bundar besar dengan ukiran khas Warung dan Pondok Kecot yang kaya akan detail. Meja ini adalah altar dari botol botol aneh berbagai ukuran dan bahan, dari yang kecil seperti ibu jari hingga yang setinggi siku, isinya campuran ramuan pekat, bubuk berkilauan samar, serta gulungan akar tua yang diikat tali trendil. Udara dipenuhi aroma samar—perpaduan antara rempah-rempah, logam tua, dan sesuatu yang asing, nyaris mistis.

Di bawah rak-rak yang melengkung, terdapat deretan laci kayu kokoh, pintu-pintunya berat dengan gagang perunggu kusam yang telah menua bersama waktu. Di atasnya, terhampar alas beludru hijau tua yang sedikit memudar, menjadi singgasana bagi berbagai senjata pajangan. Belati berukir tajam, golok dengan sarung kayu hitam yang telah mengilap karena usia, hingga tombak pendek berbilah perak yang tak lagi setajam dulu—semuanya tersusun rapi, bukan sekadar koleksi, tapi peninggalan dari masa-masa yang kini hanya menjadi bisikan dalam sejarah.

Ruangan ini tua, tapi penuh nyawa. Hangat, tapi penuh misteri. Seakan setiap laci menyimpan rahasia, setiap botol menahan kisah-kisah lama yang hanya menunggu waktu untuk diungkap. Ini bukan sekadar tempat berdagang—ini adalah gudang rahasia yang hanya Koro sendiri yang tahu seluruh isinya.

Tanpa banyak bicara, Koro membuka salah satu laci, meraih selembar kertas kasar dan sebuah pulpen tinta. Gerakannya cekatan, seolah segala yang akan ia sampaikan telah lama ia simpan, menunggu saat yang tepat untuk diungkap. Dengan ketelitian seorang seniman, ia mulai menggambar—pertama, sebuah pilar cahaya menjulang dari tanah ke langit; lalu, sosok buaya raksasa dengan taring menganga; dan terakhir, tiga buah batu berbentuk segitiga yang tengahnya sebuah seperti cincin—Akik Kumenteng.

Koro menatap Solor dengan mata tajam, mengetuk gambar akik itu dengan ujung pulpennya.

"Orang-orang mulai penasaran dengan benda ajaib ini," katanya dengan suara sedikit berbisik. "Mereka semakin yakin kalau itu memang Akik Kumenteng—sebuah pusaka dari Lingkaran Kegelapan... dari Batin Pangikrar."

Solor mengamati gambar tersebut dengan napas tertahan. Koro melanjutkan, pulpennya kini mengetuk gambar Tiang Cahaya yang tergambar tegak di kertas.

"Ini adalah pemicunya. Kau harus mengingat kata-kataku, Solor..." Koro menatapnya dalam-dalam sebelum mengucapkan sesuatu yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan daripada sekadar informasi.

"Seorang kesatria sejati adalah seseorang yang dapat melindungi."

Solor menyipitkan matanya.

"Melindungi apa?" tanyanya.

Koro menjawab dengan suara berat,

"Melindungi diri dari Batin Pangikrar."

Hening sejenak. Hanya suara api dari lentera-lentera ublik kaca yang berkerlap-kerlip seperti kunang-kunang di dalam ruangan.

"Kau pasti sulit menerima ini," lanjut Koro dengan nada yang lebih pelan. "Namun inilah kenyataannya... Jika kita tidak bertindak, kegelapan itu akan merenggut segalanya."

Solor masih menyusun pemahamannya ketika Koro mengetukkan pulpen pada gambar terakhir—sosok Buaya Putih Raksasa.

"Makhluk ini..." katanya dengan nada seperti orang yang mengingat sesuatu. "Aku pernah mendengar cerita dari seorang saudagar tua dari Winihdibyo. Makhluk penunggu batas air... jika ia muncul, itu menandakan sesuatu yang sangat besar akan terjadi."

Mata Solor mengeras. Ia kini semakin yakin dengan perasaannya sejak peristiwa di Nawijem.

"Aku paham, Ro... Aku juga merasakan hal yang sama. Jika ini benar... apakah kita akan membiarkan ini terjadi?"

Koro mengernyitkan dahi. "Terjadi apa?"

Solor mengangkat pandangannya, suaranya rendah namun penuh kepastian.

"Malapetaka Penutup."

Hening menegangkan memenuhi ruangan. Koro menatapnya, lalu menekan jarinya di dekat wajah Solor, seakan ingin memastikan bahwa ia sungguh-sungguh dengan apa yang baru saja diucapkannya.

"Sakadian muncul dari pemuda yang menggunakannya kemarin..." kata Koro, kini semakin terburu-buru. "Pengetahuan tentang Akik Kumenteng yang akan dijadikan hadiah utama sayembara... serta makhluk yang muncul tiba-tiba kemarin... Semua ini hanya mengarah pada satu hal: perang pusaka akan segera terjadi. Dunia ini akan kembali ke masa seribu tahun silam."

Solor menelan ludah. Ia ingin menanggapi, tetapi sebelum sempat membuka mulutnya, sebuah suara mendadak bergema dari balik rak bershaf yang melingkari ruangan.

DUKK! DUKKK!

Koro dan Solor saling berpandangan.

DUKK! DUKKK!

Koro menghela napas, lalu berkata dengan nada curiga, "Masih ada orang di dalam?"

Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas menuju rak yang berbentuk seperti gawang melengkung. Di antara benda-benda antik dan gulungan-gulungan peta, ia meraih sebuah tuas kecil tersembunyi di balik tumpukan buku tua. Dengan gerakan cepat, ia menarik tuas itu ke atas.

Tiba-tiba, rak-rak bershaf yang melingkari dinding mulai bergerak.

Glekk-glekk... Glekk-glekk... Glekk-glekk...

Derap pergerakan mekanisme tua yang tertanam di bawah lantai beresonansi di ruangan. Rak-rak tinggi yang menyimpan ratusan senjata, pusaka, dan barang dagangan antik perlahan berputar dalam jalur melingkar. Solor, yang berdiri di dekat meja bundar penuh botol ramuan, sempat terkagum melihat cara kerja pintu rahasia ini.

Saat rak-rak selesai berputar 180 derajat, sebuah tirai hijau yang sebelumnya tersembunyi kini tersingkap, memperlihatkan dua daun pintu melengkung berwarna coklat tua, penuh ukiran elegan yang mengingatkan pada gebyok kerajaan. Koro menggenggam gagang pintu emasnya, lalu dengan dorongan perlahan, membukanya.

Dari dalam, terdengar suara lemah.

"Maaf... kami tertidur... dia kehabisan tenaga," ujar seorang pria, tampak kelelahan, sedang merangkul temannya yang terhuyung menuju tangga melingkar.

Koro hanya menatap mereka, lalu menjawab datar, "Oke."

Solor menyipitkan mata, mencoba memahami situasi, tetapi sebelum sempat bertanya, Koro menoleh padanya dan berkata,

"Ayo, kita bicarakan ini di dalam."

Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah memasuki ruangan rahasia itu.

More Chapters