Cherreads

Chapter 30 - Bayang - bayang Alingkukoh dan Akik Para Penambang

Saat mereka melangkah ke dalam ruangan gelap, cahaya perlahan mulai merayap, mengikuti langkah mereka. Setiap langkah mendekatkan mereka pada sebuah gawang pintu yang semakin terang, pancaran cahayanya berwarna nyala api—berkedip-kedip seolah bernapas, menelan bayangan di sekitarnya.

Begitu melewati ambang pintu, mereka tiba di sebuah Arena—ruang megah dengan lapangan luas di tengahnya. Lantai arena dipenuhi garis-garis membentuk kolom-kolom yang tersusun rapi, masing-masing dijaga oleh arca batu dalam posisi jongkok membungkuk. Tangan kanan patung-patung itu mengulurkan sebuah piring batu, di atasnya tergeletak senjata-senjata aneh yang seolah menunggu untuk dipilih. Sementara itu, tangan kiri mereka menggenggam wadah gulungan tua, kertasnya tampak melambai pelan, tersapu oleh angin yang berembus lembut dari celah-celah arena.

Patung-patung ini berdiri dalam barisan yang mencerminkan kolom-kolom lantai, memberi kesan bahwa mereka bukan sekadar hiasan, melainkan penjaga sebuah aturan yang belum terungkap.

Arena itu sendiri dikelilingi oleh bangku batu yang menyatu dengan dinding panggung utama, tersusun dari batu tua yang kini ditumbuhi lumut dan tampak retak di beberapa bagian. Di atasnya, terdapat dua lantai lorong balkon yang membentang mengelilingi arena, megah sekaligus muram. Pilar-pilar kokoh menopang balkon itu, meski beberapa bagian tampak runtuh dimakan waktu. Bendera-bendera warna marun berkibar menurun di sepanjang langkan, tampak lusuh, tapi tetap menambah aura heroik pada tempat ini.

Cahaya menerangi arena dari dua sumber utama: obor-obor raksasa yang terpancang di berbagai sudut, lidah apinya menari liar dalam gelap, dan sebuah lubang besar di langit-langit—terlalu tinggi untuk dijangkau, tempat di mana sinar matahari jatuh lurus ke tengah arena, menyoroti sebuah bangunan yang tampak seperti altar.

Di pusat arena, berdiri sebuah bangunan geometris tiga dimensi dengan 12 sisi datar. Setiap sisi diukir aksara Jawa, berkilauan dengan nyala api yang berkobar dari dalamnya. Angka satu hingga dua belas terpahat jelas, menyala dalam ritme tertentu, seolah mengikuti denyut kehidupan dari arena ini.

Koro menunjuk ke sisi kanan arena, mengisyaratkan Solor untuk menuju tempat kontrol—ruangan yang terpisah dari bangku batu penonton. Saat mereka berjalan di sepanjang pinggir arena, Solor merasa takjub sekaligus tegang. Tempat ini terasa hidup. Di bangku penonton, hanya beberapa kelompok orang yang masih duduk di berbagai titik, sebagian mengawasi arena dengan tatapan kosong, sementara di lapangan, tiga pemain tersisa masih tekun berlatih, seperti mengulang gerakan dari permainan yang telah usai sebelumnya.

Di sepanjang perjalanan mereka menuju tempat kontrol, arena terus mempertontonkan keajaibannya. Cipratan api, ledakan cahaya, dan hembusan elemen-elemen bercahaya memancar dari senjata-senjata yang disuguhkan oleh patung-patung arca yang kini sedang di mainkan oleh ketiga orang di dalam arena. Cahaya itu meletup, berpendar di udara, kadang seperti air mengalir, kadang seperti semburan petir yang menyambar.

Dalam perjalanan itu, Solor akhirnya membuka suara, pikirannya masih tertuju pada sesuatu yang baru saja ia lihatnya tadi.

"Ro, tadi aku melihatmu menggambar tiga buah batu yang tersusun membentuk segitiga. Apa maksudnya?" tanyanya, suaranya hampir tenggelam di tengah riuhnya arena.

Koro menoleh ke belakang, lalu mendesah pendek.

"Apa kau benar-benar lupa itu simbol apa, Lor?"

Solor menatapnya tanpa jawaban, membuat Koro menggeleng pelan sebelum melanjutkan.

"Itu adalah lambang kota Alingkukoh!"

Tatapan Koro kini lebih tajam, lalu ia bertanya, "Sudah berapa lama kau tidak ke Alingkukoh?"

Solor tetap melangkah, pikirannya berputar.

"Lalu, kenapa kau menggambar lambang Alingkukoh dengan Akik itu?" tanyanya lagi, kini lebih serius.

Koro mendadak menghentikan langkahnya, menatap Solor dengan ekspresi sulit percaya.

"Kau benar-benar tidak tahu?" katanya, setengah tidak yakin. "Akik itu dibawa ke Alingkukoh oleh lima penambang!"

Solor diam sejenak, lalu akhirnya menjawab.

"Aku hanya tahu desas-desusnya, tapi tidak tahu pasti apakah itu benar atau tidak. Yang kutahu, Akik itu pertama kali ditemukan oleh Hartoko, seorang penambang yang berhasil menyelamatkannya dan membawanya keluar dari tambang di Pegunungan Kajejer, Lawas."

Koro kembali menatapnya, kali ini dengan ekspresi yang sulit dibaca. Sejenak, hanya suara arena yang terdengar, melanjutkan ceritanya dengan nada yang lebih serius, seakan membiarkan setiap kata yang keluar membangun ketegangan di udara.

"Setelah itu, kelima penambang yang selamat pergi ke Alingkukoh untuk menyerahkan Akik Kumenteng..."

Mata Solor sedikit menyipit. "Benarkah?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Koro mengangguk, melanjutkan, "Saat itu, mereka terlalu ketakutan untuk menyimpannya sendiri. Maka mereka menyerahkannya kepada Raja Gumandhar Alir Kasto."

Pernyataan itu membuat Solor terkejut. Ia menarik napas dalam sebelum berucap, "Jadi benar... kalau Akik itu sekarang ada di tangan Wandarimo" Sejenak ia terdiam, lalu kembali bertanya, "Tapi kenapa Wandarimo menjadikannya hadiah Sayembara?"

Koro tersenyum tipis, lalu menatap Solor dengan sorot mata penuh makna. "Nah, itu dia..."

Di hadapan mereka, area kontrol arena menjulang seperti benteng kecil, dipenuhi pahatan batu berlapis lumut yang seakan menyatu dengan arsitektur arena. Di pusatnya terdapat balok kendali dengan berbagai tombol batu berbentuk simbol-simbol aneh dan rumit. Beberapa di antaranya tampak seperti aksara kuno, sementara yang lain menyerupai bentuk-bentuk alam semesta.

Koro mengulurkan tangannya, menekan tombol berbentuk globe, lalu memutarnya perlahan ke bawah.

Tiba-tiba, suara gemuruh gembelodak menggema dari bawah arena memecah keheningan malam yang sunyi. Suara itu bagaikan petir yang menggelegar, mengguncang setiap sudut dan meresap ke dalam relung hati, memberi tanda bahawa sesuatu sedang berlaku. Seperti roda tak kasatmata yang bergerak, balok-balok batu mulai menyusun ulang diri mereka, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tempat Solor berdiri.

Dalam sekejap, suhu ruangan turun drastis. Uap tipis menyeruak dari permukaan lantai batu, berubah menjadi kabut dingin yang perlahan merayap ke segala penjuru. Angin berembus membawa aroma lembab yang asing. Dan kemudian—butiran salju mulai turun, menghujani seluruh arena seperti serpihan perak dari langit yang tinggi.

Solor mengangkat wajahnya, matanya berbinar melihat perubahan drastis ini. Sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya, tak bisa menyembunyikan kekaguman.

Koro berdiri tegap di depan balok pusat kendali, lalu melanjutkan, "Dahulu, ayah Wandarimo—Wardiman Agungdhijoyo Subroto, seorang penasihat raja Alingkukoh—mengalami mimpi yang aneh. Ia bermimpi mencabut sebuah tanaman di Lemah Angker."

Solor menoleh, mendengarkan dengan seksama.

"Saat ia menafsirkan mimpinya, ia yakin bahwa jika itu benar, maka tandanya adalah Wandarimo akan memenangkan Sayembara."

Koro menatap Solor lurus-lurus, suaranya terdengar lebih dalam. "Itulah penggantimu, Lor. Dialah yang menggantikanmu sebagai Pengembara Bulan Sabit."

Solor merasakan dadanya bergetar mendengar kata-kata itu. Namun, ia tak sempat berbicara ketika Koro melanjutkan,

"Kau tahu kan, setelah Wandarimo memenangkan Sayembara... mimpi itu pun dianggap sebagai pertanda. Wardiman pun meyakinkan Raja Gumandhar untuk mempercayakan Akik Kumenteng kepadanya. Mereka percaya bahwa melalui Akik itu, Wandarimo akan memecahkan ramalan—dia akan menjadi pemurni Batin Pangikrar yang telah kita nantikan selama seribu tahun, Lor!"

Koro membalikkan badan, menatap Solor yang kini menggigil karena suhu yang semakin membeku.

Namun sebelum Solor sempat merespons, suara teriakan menggema dari arah tribun.

"WOOOYYYY!!! KENAPA KAU UBAH CUACANYA!!?"

Seruan protes datang dari beberapa orang yang masih bertahan di arena.

Koro menyeringai kecil, lalu membalas dengan nada santai namun tegas, "Biar kalian pergi dari sini! Ini sudah malam! Acara sudah selesai! Gongnya sudah tertabuh!!"

Gelombang keluhan dan gerutuan terdengar, tetapi satu per satu orang-orang yang tersisa akhirnya bergegas pergi. Mereka berjalan menuju pintu rahasia, meninggalkan arena yang kini membeku dalam kesunyian.

Setelah beberapa saat, hanya Koro dan Solor yang tersisa. Udara dingin semakin menusuk, membuat napas mereka beruap.

Koro menoleh ke Solor dengan senyum jahil. "Ayo kita turun... sebelum kita mati kedinginan."

Tanpa banyak kata, Solor mengikuti Koro. Keduanya berjalan menyusuri tepi arena, melewati lantai yang kini tertutupi salju tipis. Sambil melangkah, mereka kembali melanjutkan percakapan mereka, seolah keheningan arena yang membeku justru menambah berat makna dari setiap kata yang akan terucap.

Salju terus turun, menumpuk di antara lantai arena yang kini membeku dalam diam. Langkah kaki Solor dan Koro menorehkan jejak di atas permukaan putih itu, sementara napas mereka berembus membentuk uap tipis di udara dingin.

"Jadi... Akik itu pemberian Raja Gumandhar?" tanya Solor, suaranya terdengar samar di tengah deru angin dingin yang berputar di arena.

Di sampingnya, Koro berjalan sambil menghela napas berat. "Aneh, bukan? Lima penambang yang selamat dari perbudakan kejam itu... tidak ada satu pun yang mau membawa Akik Kumenteng!" ucapnya dengan nada penuh heran, suaranya sedikit meninggi karena rasa penasaran yang terus mengusiknya.

Solor mengangkat alisnya, lalu berkata, "Kenapa mereka tidak menyimpannya? Padahal, itu lumayan. Selain bersih dari lacakan Sakadian dan garam, Akik itu juga bisa meringankan beban benda apa pun..."

Koro menggeleng pelan, masih mencoba memahami, lalu menimpali dengan nada yang sama, "Kenapa, ya? Kenapa malah mereka menyerahkannya kepada Raja Gumandhar?"

Percakapan itu terus bergulir tanpa jawaban pasti, berputar seperti lingkaran yang tak berujung. Mereka berdua terdiam sesaat, membiarkan kebisuan arena yang membeku ikut berbicara dalam misterinya. Sementara itu, salju terus turun, perlahan menumpuk di pundak dan kepala mereka, menambah dingin yang menggigit hingga ke tulang.

Setelah beberapa waktu, mereka akhirnya sampai di lorong pintu rahasia. Dengan sedikit usaha, mereka menepuk-nepuk bahu dan kepala mereka, mengusir butiran salju yang melekat sebelum akhirnya melangkah masuk.

Begitu memasuki lantai tiga, suhu hangat langsung menyelimuti tubuh mereka. Embusan udara hangat dari tungku di sudut ruangan membuat uap tipis mengepul dari pakaian mereka yang masih sedikit lembap oleh salju.

Koro menutup pintu rahasia dengan gerakan mantap, lalu menarik tuas saklar di sisi dinding. Dengan suara mekanisme tua yang bergerak, rak shaf melingkar mulai bergeser kembali ke tempatnya, menyembunyikan pintu rahasia itu seperti tak pernah ada.

Kini malam sudah semakin larut. Solor menghela napas pelan, lalu mengangguk kecil.

"Apapun yang terjadi nanti... ini akan menjadi sesuatu yang besar." Ia menatap Koro dengan sorot mata serius. "Kita harus waspada, Koro."

Koro hanya tersenyum tipis, lalu mengangguk. Tanpa kata tambahan, Solor berbalik dan melangkah menuju lantai dua untuk beristirahat.

Setelah Solor pergi, Koro meranggeh sotonya dengan lahap, menyantap Soto yang sudah setengah mendingin itu. Ia duduk di dekat rak shaf kasir, di mana kertas kusam dengan gambar yang sempat ia kerjakan sebelumnya masih tersisa. Gambar-gambar itu terbuka, menyisakan jejak-jejak misteri yang terus menghantui pikiran Koro. Setiap lembaran yang terhampar penuh makna, mengundang rasa ingin tahu yang semakin mendalam, seperti sebuah teka-teki yang terus dicari jawabannya oleh Solor.

More Chapters