Cherreads

Chapter 28 - Dentuman di Malam Ngalam Suro

Dentuman gong menggema dari puncak bangunan Warung dan Pondok Kecot, menggetarkan langit malam Lataran Wijo. Suara nyaring itu bagaikan petir yang meledak di atas kepala. Seiring dentuman itu, tali-tali yang terentang dari atap bangunan ke bawah tebing mendadak bersinar. Ratusan lampu ublik menyala serentak, berkelap-kelip seperti bintang-bintang kecil yang menari.

Di tengah keheningan yang dipecah suara gong, kalimat lirih tapi tegas terdengar dari tempat mereka duduk, seolah datang bersama angin laut:

"Sudah saatnya."

Belum sempat Solor menelan suapan terakhir sotonya, Arindi dan Gunadir melonjak dari tempat duduk mereka. Mangkuk dan piring berbunyi beradu saat mereka buru-buru merapikan meja dan mengambil gelas-gelas dari rak.

"Eh, kalian berdua nggak merekrut karyawan? Kalau tiap gong bunyi kalian koncat-kancit begini, apa nggak kasihan sama kaki sendiri?" celetuk Solor, separuh bercanda sambil menyendok kuah terakhir.

Arindi, yang sudah sibuk menata mangkuk di lampan besar, menjawab cepat, "Ya nggak seperti biasanya, Tuan Solor! Ini Ngalam Suro! Pengunjung bakal berjubel!"

Benar saja. Seakan gong itu pemantik gerombolan manusia, suara langkah berderap dari tangga melingkar terdengar makin keras. Dari lantai atas, ratusan pengelana mulai turun. Mereka datang dalam rombongan besar, membawa bau asin laut dan aroma keringat perjalanan panjang. Beberapa tampak kelelahan, sebagian lain bersenda gurau. Warung Kecot yang tadinya hanya diisi Solor dan dua sahabat lamanya, kini mendadak sesak.

Pengunjung berebut duduk, memesan makanan dan minuman. Arindi dan Gunadir berlarian ke sana kemari.

Di tengah keramaian itu, sosok pendek dan cekatan muncul di tangga lantai tiga.

Koro.

Badan kecilnya yang kurus terlihat lincah menyelinap di antara lautan orang. Rompi hijau tuanya sedikit kebesaran, udeng yang melilit di kepalanya miring ke kanan, dan kumis tipisnya bergetar tiap kali ia menarik napas. Ia membopong gulungan-gulungan kertas besar di lengannya, berusaha menyeimbangkan langkah di tangga yang penuh orang.

Saat ia berhasil turun, dentuman gong yang menggelegar tiba-tiba berhenti. Seakan dunia menahan napas sejenak.

Solor, yang sedari tadi duduk diam, kini menatap Koro lekat-lekat.

Mata mereka bertemu. Sejenak, waktu seperti melambat.

Koro tertegun. Matanya membelalak. Rahangnya nyaris jatuh melihat sahabat lamanya duduk di sana. Napasnya tertahan. Lalu, ekspresinya berubah — dari terkejut menjadi lega, lalu berubah lagi menjadi senang.

"Solor?" bisik Koro lirih, suaranya serak.

Sebelum sempat Solor menjawab, Arindi berteriak dari ujung ruangan, "Kakang Solor! Sotonya nambah! Udah aku siapin lagi di ujung meja U!"

Gunadir tertawa di sela kesibukannya melayani pengunjung. "Dia mah nggak kenyang-kenyang, Rin!"

Koro tidak memperdulikan keramaian di sekelilingnya. Ia berjalan cepat menuju Solor, meletakkan gulungan-gulungan kertas di laci meja kasir, lalu duduk di seberang Solor.

"Solor… kau baik-baik saja, kan?" tanyanya lirih, suaranya gemetar.

Solor tersenyum tipis. "Masih hidup. Masih lapar. Itu cukup baik, kan?"

Koro tertawa kecil, tapi tawa itu cepat memudar. Seakan ada sesuatu yang menahan dadanya.

Gunadir, menyela diantara kesibukannya sambil menyeka keringat, menyahut, "Dia kehilangan rumahnya, Kang Ro. Nawijem hancur. Buaya Putih Raksasa meluluhlantakkannya."

Wajah Koro mendadak pucat. Napasnya tercekat. Matanya bergetar.

"Sial… jadi benar."

Solor menatap Koro, alisnya berkerut. "Benar apa, Koro?" Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Solor dengan serius.

"Ada yang harus kau tahu, Solor. Tentang Buaya Putih Raksasa. Tentang Batin Pangikrar. Tentang… Nawijem."

Solor menegang. Dadanya terasa sesak. "Apa yang sebenarnya kau tahu, Koro?" tanyanya pelan tapi penuh tekanan.

Koro menatapnya dengan sorot mata yang berat."Aku tahu… kenapa buaya itu datang ke Nawijem. Aku tahu… siapa yang membangunkannya."

Solor terdiam. Ada ketegangan menggantung di udara. Koro melanjutkan, suaranya nyaris berbisik. "Dan aku tahu… siapa yang menginginkan kau mati."

Koro menelan ludah, lalu berdiri cepat. Ia meraih lampan soto dan teh yang disiapkan Arindi, lalu menatap Solor pelan.

"Aku butuh bicara sama kau… di atas," bisiknya. "Ada hal penting. Ini nggak bisa ditunda lagi."

Ia menoleh ke Gunadir dan Arindi yang masih sibuk di tengah riuh pengunjung. "Aku ke atas dulu. Sotonya kubawa!" serunya sambil mengangkat mangkuk soto diatas lampan seperti piala kemenangan.

"Enak aja!" sahut Arindi di sela-sela membawa gelas. "Kalau sotonya tumpah, tanggung jawab, ya, Kakang Koro!"

Koro tak menjawab. Ia sudah menarik Solor menuju tangga.

Koro melangkah dengan cekatan, membawa lampan berisi mangkuk soto yang mengepul dan segelas teh hangat, mengarungi lantai dasar Warung Kecot yang penuh sesak oleh ratusan pengelana. Riuh rendah suara perbincangan dan dentingan gelas-gelas beradu tak mengusiknya, sementara para pengunjung secara alami memberi jalan, beberapa bahkan mengangguk kecil dengan sedikit hormat pada mereka karena Solor. Meski terlihat seperti orang biasa, keberadaannya di warung ini begitu dihormati, karena mereka tahu Solor sebagai sang Pengembara Bulan Sabit. Di belakangnya, Solor mengikuti dengan langkah santai, matanya mengamati pemandangan keramaian yang mendadak terasa sempit di antara gelombang manusia. Keduanya terus melaju, melewati aroma rempah yang melayang di udara, menuju tangga melingkar yang akan membawa mereka ke lantai atas.

Koro melangkah mantap, kedua tangannya menyeimbangkan lampan berisi mangkuk soto dan segelas teh yang masih mengepulkan uap. Gerakannya cekatan, namun tetap penuh kehati-hatian, memastikan hidangan itu tidak tumpah sedikit pun. Di belakangnya, Solor mengikuti dengan langkah tenang, menaiki tangga melengkung yang menjulur dari lantai dasar Warung Kecot. Cahaya lampu ublik yang menggantung di sepanjang langit-langit memantulkan sinarnya di pegangan kayu tua yang telah halus oleh waktu. Riuh rendah suara pengelana yang memenuhi warung perlahan meredup seiring mereka naik lebih tinggi, seakan langkah mereka menapaki dunia yang berbeda—dunia yang lebih sunyi, lebih penuh rahasia.

Apa yang sebenarnya Koro ketahui? Siapa yang membangunkan Buaya Putih Raksasa? Mengapa Solor yang menjadi target?

—-------------------------

Sampai kakinya menapak di lantai kayu coklat tua yang mengilap di lantai dua, Solor langsung merasakan atmosfer yang berbeda. Ruangan ini terasa lebih tenang dibanding lantai dasar yang penuh hiruk-pikuk. Penginapan tampak lodang—sepi namun hidup. Beberapa orang duduk berbincang di sudut-sudut ruangan, suara mereka terdengar lirih, tenggelam dalam kehangatan suasana.

Di beberapa titik, pot-pot tanah liat besar berisi tanaman berdaun lebar berdiri kokoh, menghadirkan kesan alami dan menenangkan. Beberapa pengelana bersandar di pagar balkon, menatap jauh ke kegelapan malam. Yang lain menuruni tangga spiral dari lantai tiga, langkah mereka ringan, seperti terhanyut dalam keheningan yang mendalam.

Solor mengikuti Koro, sotonya masih dalam genggaman, melewati lorong yang mengelilingi balkon utama penginapan. Cahaya dari lampu-lampu ublik kaca berbentuk keong menggantung dari langit-langit, berkumpul dalam gugusan besar seperti tangkai yang menampung buah-buahan ranum. Cahayanya lembut, menerangi seluruh ruangan dengan kilau hangat, menciptakan bayangan bergetar di permukaan kayu.

Mereka terus berjalan, melewati balkon yang membentang melingkari ruang-ruang penginapan. Di bawah cahaya temaram, ukiran-ukiran khas Warung dan Pondok Kecot semakin tampak hidup, mencerminkan keanggunan yang sederhana.

Sampai akhirnya, mereka tiba di tangga spiral yang berpusar naik, mengelilingi lampu gantung besar berbentuk buah keong. Bentuknya seperti sulur alami, meliuk dengan anggun menuju langit-langit tinggi, menembus lantai tiga.

Langkah demi langkah, mereka mendaki. Beberapa kali mereka berpapasan dengan orang yang turun, sapaan kecil terkadang terdengar, tapi Solor tetap diam. Pikirannya kini dipenuhi tanda tanya.

Apa yang ingin Koro sampaikan?

Apa yang telah diketahuinya?

Semakin tinggi mereka mendaki, semakin jauh pula Solor dari keramaian di bawah. Di lantai tiga, keheningan menanti. Dan di balik keheningan itu, mungkin ada jawaban yang selama ini dicarinya.

More Chapters