Keesokan paginya, seperti rutinitas yang sudah melekat erat dalam hidupnya, Drevyn kembali berlatih di halaman belakang rumah. Tubuhnya yang kecil kini semakin terbiasa bergerak dengan lincah. Gerakan-gerakan kendo yang ia pelajari dari dunianya dulu dan pengamatannya sendiri kini tak lagi kaku, melainkan mengalir seperti air. Ia melompat, berputar, menebas udara dengan kayu yang ia anggap sebagai pedang sungguhan.
Pagi itu, udara terasa segar, tapi tubuh Drevyn sudah mulai dipenuhi peluh. Setelah beberapa gerakan terakhir, ia akhirnya menghentikan langkahnya, lalu duduk terengah-engah.
"Hah... capek juga..." gumamnya sambil mengatur napas. Ia lalu rebah di atas rerumputan yang masih basah oleh embun pagi. Tangannya menjadi bantalan di bawah kepalanya. "Tapi... sekarang aku udah jauh lebih bisa mengendalikan tubuh kecil ini," lanjutnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Ia menutup mata, sekadar ingin merilekskan tubuhnya yang lelah. Tapi yang datang bukanlah ketenangan… melainkan sesuatu yang tak pernah ia duga.
Gelap. Drevyn tiba-tiba merasa seperti jatuh ke dalam kehampaan. Tidak ada suara, tidak ada tanah di bawah kakinya—seakan ia hanya melayang di tengah kekosongan. Hanya satu hal yang tampak di hadapannya: cahaya. Sosok cahaya.
Sosok itu tinggi… sangat tinggi, menjulang seperti raksasa di antara bintang-bintang. Bentuknya menyerupai manusia dewasa, tapi ukurannya begitu luar biasa besar, hingga Drevyn merasa seperti semut kecil di hadapannya.
"Apa ini…" bisiknya dalam hati, kebingungan, jantungnya berdetak kencang.
Ia tidak bisa bergerak. Matanya terpaku pada sosok cahaya yang memancarkan ketenangan, seolah keberadaannya membawa kedamaian. Tapi sebelum Drevyn bisa mendekat atau mengatakan apapun, sosok itu tiba-tiba tersedot ke dalam pusaran kegelapan yang muncul begitu saja.
"Eh… tunggu—!"
Drevyn hanya bisa menyaksikan bagaimana cahaya itu menghilang tanpa bekas. Namun, kegelapan itu tak pergi. Justru dari situlah muncul sesuatu yang lain. Sesuatu yang jauh lebih menakutkan.
Langkah-langkah berat terdengar di tengah kehampaan. Drevyn menoleh—sebuah siluet perlahan muncul dari balik gelap itu. Sosok tinggi, tubuhnya diselimuti aura kelam yang nyaris membuat udara terasa dingin. Matanya bersinar putih, menembus kegelapan dengan tatapan yang menusuk.
Setiap langkahnya menggema, seolah menghantam sesuatu yang tak terlihat.
"Jangan… jangan mendekat!" teriak Drevyn, suara panik memecah sunyi. "Siapa kau?! Apa yang kau mau dariku?!"
Namun sosok itu tetap melangkah… diam… tanpa suara, seperti bayangan yang tak bisa dihalangi.
Drevyn ingin lari, tapi tubuhnya tak bisa digerakkan. Seperti ditahan oleh kekuatan tak kasatmata. Sosok itu tiba-tiba sudah berdiri tepat di hadapannya, padahal barusan masih jauh. Napas Drevyn tercekat.
Kemudian, sosok itu mulai berbicara. Suaranya dalam dan berat, nyaris seperti gemuruh yang menggema di ruang kosong.
"Akhirnya… aku bisa bicara denganmu."
Drevyn menelan ludah. "Siapa kau… apa maksudmu?"
Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Senyum yang tidak membawa kehangatan, melainkan sesuatu yang mengerikan, seperti cermin dari sesuatu yang gelap di dalam diri manusia.
Lalu, tiba-tiba mulut sosok itu terbuka lebar—terlalu lebar—seperti ingin melahap Drevyn hidup-hidup.
"JANGAN!!!"
Drevyn berteriak sekuat tenaga. Tapi suaranya seperti tenggelam di kehampaan itu. Gelap, gelap segalanya…
Dan tiba-tiba—ia tersentak bangun.
Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Keringat membasahi tubuhnya, bahkan bajunya pun sudah lengket. Matanya membelalak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Wajahnya pucat. Tangannya gemetar. Ia melihat sekeliling, memastikan dirinya benar-benar kembali ke dunia nyata—halaman belakang rumah, rerumputan, langit biru pagi.
"Apa barusan itu… cuma mimpi?" tanyanya pelan pada dirinya sendiri.
Tapi dalam hatinya, ia tahu. Itu bukan sekadar mimpi biasa. Ada sesuatu di balik mimpi itu… sesuatu yang sedang mendekatinya perlahan.
————
Langkah kaki ringan terdengar dari dalam rumah. Sang ibu, yang baru saja bangun dan hendak menuju dapur, menghentikan langkahnya begitu melihat Drevyn di halaman. Wajah anak itu tampak pucat, tubuhnya berkeringat, dan napasnya masih belum teratur.
Wajah sang ibu langsung dipenuhi kecemasan. Ia segera menghampiri Drevyn.
"Drevyn? Nak, kamu kenapa? Kamu kelihatan tidak baik…" tanyanya lembut namun penuh kekhawatiran.
Drevyn menoleh pelan. Matanya membelalak sedikit, seolah belum sepenuhnya kembali dari dunia lain. Nafasnya masih terengah. "I... Ibu…"
"Iya, ini ibu, Nak... ada apa? Ceritakan pada ibu," pintanya lagi, berjongkok di samping Drevyn.
Drevyn menunduk, lalu menarik napas panjang. "Hah… nggak apa-apa, Bu…" jawabnya akhirnya dengan senyum tipis—senyum yang aneh, tidak seperti biasanya.
"Yakin? Kamu kelihatan seperti habis melihat hantu," ucap ibunya pelan, menatap putranya penuh curiga.
"Beneran nggak apa-apa. Cuma... kecapekan aja," ujar Drevyn, berusaha terdengar meyakinkan.
Meski hatinya masih diliputi rasa curiga, sang ibu memilih tak mendesak lebih jauh. Ia menghela napas. "Yasudah... kalau gitu ayo masuk. Sarapan dulu, nanti ibu buatkan sesuatu yang hangat."
Drevyn hanya mengangguk. "Iya, Bu…"
Mereka berjalan beriringan ke dalam rumah. Drevyn duduk di meja makan, tubuhnya bersandar lemas pada kursi, sementara ibunya mulai menyiapkan sarapan di dapur.
Tak lama kemudian, suara menguap terdengar dari arah lorong. Sang ayah muncul sambil menggaruk perut, rambutnya masih berantakan seperti rumput liar.
"Pagi…" ucapnya singkat. Ia berjalan menuju meja makan dan melihat putranya duduk diam dengan tatapan kosong. Alisnya terangkat heran. "Eh, ada apa ini? Kenapa termenung?"
Drevyn menoleh, lalu mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa, Yah…"
Sang ayah mengangkat kedua alisnya, masih kebingungan. Tapi bukannya bertanya lebih lanjut, ia malah tertawa kecil dan—plak!—menepuk punggung Drevyn dengan cukup keras.
"AYAH!" Drevyn memekik, terbatuk pelan. "Kenapa sih tiba-tiba kayak gitu?! Sakit tahu!"
"Hahaha!" Sang ayah tertawa lebar. "Biar kamu sadar, jangan ngelamun terus. Nanti diculik peri!" godanya.
Drevyn mendengus, wajahnya cemberut seperti anak kecil yang kesal.
Melihat itu, ayahnya mencubit pipinya pelan. "Udah, jangan manyun. Maaf ya, Ayah cuma bercanda…"
Drevyn akhirnya menghela napas dan menoleh ke arah ayahnya. Kali ini, senyum itu muncul—bukan senyum palsu, tapi senyum tulus yang muncul dari hatinya.
Dari dapur, sang ibu memandangi keduanya dengan senyum hangat, lalu membawa sepiring besar sarapan ke meja.
"Ayo, makan dulu. Sarapan sudah siap," ucapnya lembut.
Suasana meja makan pun berubah hangat. Tawa kecil, obrolan ringan, dan aroma masakan memenuhi ruangan. Meski pagi Drevyn diawali dengan mimpi yang menakutkan, momen bersama keluarganya sedikit menghapus bayangan gelap yang sempat menyelimuti pikirannya.
Untuk sementara… semuanya terasa damai.
———
Setelah sarapan, ayah mengajak Drevyn untuk membantunya di ladang.
"hey nak... ayo bantu ayah di ladang"
"hmm... baiklah"
Meski tubuhnya masih sedikit lelah, Drevyn mengangguk dan menurut tanpa banyak bicara. Mereka berjalan berdua menuju ladang yang tak terlalu jauh dari rumah, diiringi udara pagi yang masih segar dan suara burung yang saling bersahutan dari balik pepohonan.
"suasananya indah ya..." ucap sang ayah
"hmm...." drevyn hanya mengangguk dan sekitar
Sesampainya di ladang, Drevyn langsung membantu mengangkat beberapa hasil panen ke tempat penyimpanan yang sederhana di sisi ladang. Meski tubuhnya kecil, ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat lemah di depan ayahnya.
"Berat, ya?" tanya sang ayah sambil melirik ke arah Drevyn yang sedikit menahan napas.
"Tidak kok, tidak berat sama sekali," jawab Drevyn cepat, berusaha tetap tersenyum meski lengannya sedikit gemetar.
Ayahnya tertawa lepas, lalu menepuk-nepuk punggung Drevyn berkali-kali dengan tangan besarnya. "Hahaha! Begitu dong. Anak laki memang harus kuat!"
Drevyn langsung terbatuk pelan karena tepukan itu sedikit terlalu keras. Wajahnya memerah, antara menahan sakit dan rasa kesal yang bercampur jadi satu.
"Kenapa sih Ayah selalu begini ke aku?" gerutunya sambil memijat pundaknya sendiri.
Ayahnya hanya mengangkat bahu dan menjawab santai, "Entahlah... mungkin karena Ayah suka aja."
Drevyn memelototi ayahnya sebentar, tapi tak bisa menahan tawa kecil yang muncul dari mulutnya. Rasa kesalnya perlahan luntur oleh suasana ringan itu. Meskipun kadang menjengkelkan, ia tahu Ayahnya hanya bercanda dan ingin membuatnya tertawa.
"kenapa kamu tiba-tiba tertawa, bukannya tadi marah ya?" tanya sang ayah
"entahlah..." ucap drevyn sambil tersenyum
Mereka kembali bekerja sambil sesekali bercanda kecil. Meski hari mulai hangat, kebersamaan mereka membuat pekerjaan terasa lebih ringan. Drevyn tahu, hari-hari sederhana seperti ini adalah momen yang paling berharga—sebelum dunia mulai berubah.