Cherreads

Chapter 10 - Perkelahian

Drevyn masih terbaring di tempat tidurnya yang keras ketika suara ribut membangunkan dari tidurnya. Teriakan, sorakan, dan suara benturan keras menggema dari luar barak.

"Berisik banget...!?"

Drevyn mengusap matanya yang masih berat dan bangkit perlahan. Badannya pegal setelah seharian bekerja di tambang, tapi suara keributan itu terlalu keras untuk diabaikan. Ia melangkah keluar, disambut sinar matahari yang menyilaukan.

Di tengah lapangan, kerumunan budak telah berkumpul, membentuk lingkaran seperti arena. Sorak-sorai mereka terdengar keras, seolah sedang menyaksikan sesuatu yang menarik.

Drevyn menyusup di antara kerumunan dan melihat ke tengah. Seorang pria bertubuh kekar—wajahnya penuh luka dan darah—sedang berkelahi dengan salah satu penjaga. Penjaga itu bersenjatakan cambuk besi, sementara pria itu hanya menggunakan tinjunya.

Crack!

Cambuk mendarat di punggung pria itu, meninggalkan garis merah yang mengerikan. Tapi dia tidak menyerah. Dengan gerakan cepat, dia menyeruduk penjaga itu dan menjatuhkannya ke tanah.

"Dasar budak kurang ajar!" teriak penjaga sambil bangkit, wajahnya merah marah.

Orang-orang di sekitar bersorak, ada yang mendukung pria itu, ada juga yang mengejeknya. Beberapa bahkan bertaruh siapa yang akan menang.

Drevyn mengalihkan pandangannya dan melihat Sera serta Liora berdiri di pinggir kerumunan. Sera terlihat bersemangat, matanya berbinar seperti menonton pertunjukan, sementara Liora memegang lengan kakaknya dengan wajah cemas.

Drevyn menghampiri mereka. "Ada apa sebenarnya?" tanyanya.

Sera menoleh, senyum lebar di wajahnya. "Oh, Drevyn! Lihat itu, si Natan sedang melawan penjaga!"

"Natan?"

"Iya, dia budak baru. Tadi pagi si penjaga itu ngejek dia sampai keterlaluan. Kael nggak terima, langsung aja dia serang!"

Liora menunduk. "Ini berbahaya... kalau dia kalah, hukumannya berat."

Drevyn mengamati pertarungan itu. Natan memang kuat, tapi penjaga itu licik. Setiap kali Kael mendekat, cambuknya menyambar, membuatnya kesulitan.

Drevyn merasakan sesuatu bergolak di dalam dadanya. Makhluk dalam dirinya... tertarik dengan kekerasan.

"Kau bisa membantunya," bisik suara itu di kepalanya. "Bakar si penjaga itu. Satu sentuhan saja..."

Drevyn mengepalkan tangan. "Tidak. Tidak sekarang."

Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih jauh—

"Hah! Akhirnya kau tumbang juga!"

Penjaga itu berhasil menjatuhkan Natan dengan pukulan cambuk ke kepala. Natan tersungkur, darah mengalir dari dahinya.

Penjaga itu mendekati Natan yang sudah tak berdaya, cambuknya diangkat untuk pukulan terakhir.

"Dasar sampah—"

Tiba-tiba, langkahnya terhenti.

Seseorang berdiri di depannya—Drevyn.

"Sudah cukup," kata Drevyn, suaranya tenang tapi penuh ancaman.

Penjaga itu terkejut, lalu tertawa kasar. "Kau mau ikut mati juga?"

Drevyn tidak menjawab. Tapi di balik punggungnya, asap hitam perlahan mulai merayap di antara jari-jarinya.

"Aaaaarrrggghhh!!!"

Suara itu bukan berasal dari Natan—yang masih tergeletak di tanah dengan darah mengalir dari dahinya—melainkan dari si penjaga yang tadi begitu sombong dengan cambuknya.

Tangan Drevyn mencengkeram lengan penjaga itu. Tapi ini bukan sekadar pegangan.

Asap hitam merayap dari jari-jarinya, membara seperti cairan neraka yang hidup. Dalam sekejap, kulit penjaga itu melepuh, dagingnya mengerut seperti kertas yang dibakar. Bau daging hangus memenuhi udara.

"D-Dia... apa itu?!" Sera menjerit, wajahnya yang biasanya ceria sekarang pucat ketakutan.

Liora langsung menarik kakaknya mundur, tubuhnya gemetar. "Jangan dekat-dekat... jangan dekat-dekat..." dia bergumam seperti mantra.

Aisyah, yang baru saja tiba di tempat kejadian, membeku di tempat. Matanya yang bulat penuh ketidakpercayaan. "Drevyn...?"

Para budak lain berhamburan mundur, beberapa bahkan jatuh terpeleset dalam kepanikan. Lingkaran penonton yang tadi bersorak sekarang berubah menjadi kerumunan yang berteriak ketakutan.

Si penjaga itu menjerit-jerit, berguling di tanah mencoba memadamkan luka bakarnya yang mengerikan. Tapi api hitam itu tidak padam.

"Tolong... tolong...!" suaranya parau, tangan yang tidak terbakar meraih ke arah budak-budak lain, tapi semua orang menjauh.

Drevyn menatapnya dengan dingin. Di dalam kepalanya, suara makhluk dalam dirinya tertawa puas.

"Lihat? Sekarang mereka semua tahu siapa kau sebenarnya."

Belum ada sepuluh detik sejak kejadian, terompet darurat berbunyi nyaring.

Wuuu! Wuuu!

"Budak pemberontak! Tangkap dia!" teriak penjaga lain yang berlarian ke arah tempat kejadian, pedang sudah terhunus.

Drevyn berpaling ke Natan yang masih terluka. Tanpa banyak bicara, dia membantunya berdiri. "Kita harus pergi. Sekarang."

Aisyah tiba-tiba muncul di samping mereka, wajahnya masih shock tapi tangannya sudah menarik lengan Drevyn. "Lorong barat—tidak dijaga di jam ini!"

Sera dan Liora saling pandang. "Kita... kita ikut?" bisik Sera.

Liora mengangguk pelan. "Lebih baik bersama mereka daripada tetap di sini."

Saat mereka berlari, Drevyn merasakan panas yang semakin menjadi-jadi di dadanya. Setiap langkah, bayangan iblis di pikirannya semakin jelas.

"Bakar semuanya. Mereka semua adalah musuhmu."

Tangannya bergetar. Tidak. Tidak semuanya.

Tapi ketika dia menoleh ke belakang, melihat puluhan penjaga bersenjata mengejar mereka, sebuah pertanyaan muncul:

Apakah pilihannya hanya membakar atau dibakar?

Tiba-tiba, Gavin—yang selama ini selalu bermusuhan—muncul dari persimpangan lorong.

"Hey sialan! Kesini!" teriaknya, tangan menunjuk ke arah jalan kecil.

Aisyah curiga. "Ini jebakan?"

Tapi tidak ada waktu untuk berpikir. Saat mereka belok, Gavin langsung menarik mereka masuk ke sebuah ruang tersembunyi—gudang tua yang sudah ditinggalkan.

"Kau... kenapa menolong kami?" tanya Drevyn sambil menahan napas.

Gavin tidak langsung menjawab. Dia menarik mereka masuk ke ruang sempit itu sebelum akhirnya bicara. "Aku sudah lama ingin keluar dari tempat ini." Matanya gelap. "Dan sekarang ada orang yang bisa membakar para penjaga itu hidup-hidup."

Ruangan itu ternyata gudang tua. Barang-barang berkarat berserakan di lantai, dan udara terasa pengap. Natan langsung duduk di lantai, mengusap dahinya yang masih berdarah.

Sera dan Liora masuk terakhir. "Apa... apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Sera, suaranya tidak seperti biasanya yang ceria.

Semua mata tertuju pada Drevyn.

Dia melihat tangannya sendiri. Asap hitam itu sudah menghilang, tapi bekasnya masih terasa - seperti arus listrik yang mengalir di bawah kulitnya.

"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," kata Drevyn perlahan.

Liora yang biasanya pendek tiba-tiba bicara. "Itu tadi... itu bukan sihir biasa, kan?"

Drevyn menggeleng. "Bukan. Ini lebih buruk."

Di luar, suara teriakan dan langkah kaki semakin dekat. Seseorang berteriak, "Periksa setiap sudut! Jangan biarkan mereka lolos!"

Gavin mengintip dari celah pintu. "Kita tidak bisa lama-lama di sini."

Aisyah tiba-tiba berdiri di depan Drevyn. "Apapun yang terjadi," katanya dengan suara tegas yang mengejutkan semua orang, "kita tetap bersama. Setuju?"

Sera dan Liora saling pandang, lalu mengangguk perlahan. Natan menghela napas sebelum akhirnya juga mengangguk.

Drevyn merasa sesuatu mengganjal di dadanya. Dia tidak layak mendapat kepercayaan ini, tidak setelah apa yang baru saja dilakukannya. Tapi ketika melihat mata Aisyah yang penuh tekad, dia hanya bisa mengatupkan bibirnya.

"Baik," kata Drevyn akhirnya. "Tapi kalian harus tahu satu hal." Dia menatap mereka satu per satu. "Apa yang kalian lihat tadi... itu baru permulaan."

Suara langkah kaki semakin dekat. Waktunya hampir habis.

Gavin mengangkat sebuah pipa besi berkarat dari lantai. "Kalau begitu," katanya sambil menyerahkan pipa itu ke Drevyn, "lebih baik kita mulai berjuang sekarang."

Drevyn menerima pipa itu. Di tangannya, dia bisa merasakan sesuatu yang aneh - seolah benda mati itu berdenyut bersama api hitam dalam dirinya.

Di luar, suara penjaga sudah sangat dekat.

"Bersiap," bisik Drevyn.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya sebagai budak, dia tersenyum.

More Chapters