Drevyn menatap Rovan dengan mata terbuka lebar. Api unggun di antara mereka memantulkan bayangan yang bergoyang di wajah tua itu.
"Kau... dikendalikan oleh iblis yang sama?" Drevyn bertanya pelan, suaranya serak.
Rovan mengangguk. Dia mengangkat tangannya, memperlihatkan bekas luka berbentuk simbol yang mirip dengan milik Drevyn, tapi sudah memudar.
"Dulu. Sekarang tidak lagi."
Drevyn melihat bekas luka itu, lalu ke tangannya sendiri. "Bagaimana kau bisa melepaskan diri?"
Rovan mengambil waktu sebelum menjawab. Dia memutar ikan panggangnya perlahan. "Dengan harga yang sangat mahal," katanya akhirnya.
Angin malam berdesir melalui daun-daun, membuat bayangan mereka bergerak-gerak aneh di tanah.
"Kau harus tahu sesuatu, Drevyn," Rovan melanjutkan, matanya tajam. "Iblis dalam dirimu bukan sekadar kekuatan. Dia punya rencana sendiri."
Drevyn mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
"Api hitam itu akan tumbuh semakin kuat," kata Rovan. "Dan suatu hari nanti, dia akan mencoba mengambil alih sepenuhnya."
Perut Drevyn terasa dingin mendengarnya, meski tubuhnya masih hangat oleh api.
"Lalu apa yang harus kulakukan?"
Rovan menatapnya lama. "Belajar mengendalikannya sebelum dia mengendalikanmu."
Drevyn ingin bertanya lebih banyak, tapi tiba-tiba—
KRAK!
Suara ranting patah di kegelapan hutan.
Rovan langsung berdiri, tangannya meraih tongkat kayu di sampingnya. "Diam," bisiknya tajam.
Drevyn membeku. Dari balik pepohonan, sesuatu yang besar bergerak perlahan.
"Manusia... aku mencium bau manusia..."
Suara itu dalam dan bergema, membuat bulu kuduk Drevyn berdiri.
Rovan mengangkat tongkatnya. "Bersiaplah, Drevyn. Kita tidak sendirian di hutan ini."
Drevyn merasakan panas mulai menggeliat di tangannya. Api hitam itu seolah bersemangat, menunggu untuk dilepaskan.
Malam ini, pelajaran pertamanya tentang kendali akan dimulai—dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan.
Drevyn mengepalkan tangannya, merasakan panas api hitam mengalir di bawah kulitnya. Napasnya memburu saat bayangan besar itu semakin mendekat dari balik pepohonan.
"Jangan langsung menggunakan kekuatanmu," bisik Rovan sambil berdiri di sampingnya. "Amati dulu lawan kita."
Dari balik semak muncul makhluk berbulu lebat dengan tanduk melengkung. Tubuhnya lebih kecil dari minotaur sebelumnya, tapi matanya sama-sama bersinar merah.
"Dua manusia... enak," geram makhluk itu, air liur menetes dari taringnya yang panjang.
Drevyn melirik Rovan. "Apa ini?"
"Serigala jadi-jadian," jawab Rovan tenang. "Lebih cepat dari minotaur, tapi tidak terlalu kuat."
Serigala itu mengendus-endus udara. "Aku mencium bau aneh pada yang muda... bau iblis!"
Tanpa peringatan, makhluk itu menerjang.
Drevyn nyaris tidak sempat menghindar. Cakar tajam mengoyak lengan bajunya, meninggalkan goresan merah di kulit.
"Fokus!" teriak Rovan. "Rasakan kekuatanmu, tapi jangan biarkan dia yang mengendalikan!"
Drevyn mengangguk, mencoba menenangkan diri. Saat serigala itu menerjang lagi, dia mengangkat tangan—
WHOOSH!
Api hitam menyembur dari telapak tangannya, tapi tidak mengenai sasaran. Serigala itu dengan lincah berbelok, menyerang dari samping.
"Drevyn! Kendalikan!"
Drevyn menggigit bibir. Dia mencoba lagi, kali api itu hanya keluar sedikit, membentuk tameng kecil di tangannya.
SLASH!
Cakar serigala menghantam tameng api, membuat makhluk itu menjerit kesakitan. Bau bulu terbakar memenuhi udara.
"Bagus!" puji Rovan. "Sekarang, serang balik!"
Drevyn mengulurkan tangan, mengarahkan api hitam itu—
Tapi tiba-tiba, iblis dalam dirinya berbicara lagi.
"Lepaskan saja... biarkan aku yang mengendalikan..."
Drevyn gemetar. Api di tangannya mulai tidak stabil, bergoyang liar.
"Jangan dengarkan dia!" Rovan berteriak.
Serigala itu, meski terluka, bersiap menerjang lagi.
Drevyn memejamkan mata, berusaha keras menenangkan pikirannya. "Ini kekuatanku... aku yang mengendalikan..."
WHOOM!
Api hitam meledak dari tangannya, membentuk gelombang panas yang menghantam serigala itu tepat di dada. Makhluk itu terlempar ke belakang, menghempaskan badan ke pohon sebelum tak bergerak lagi.
Drevyn terengah-engah, melihat tangannya yang masih berasap.
"Luar biasa untuk pertama kali," kata Rovan mendekat. "Tapi kau hampir kehilangan kendali."
Drevyn mengangguk lemas. "Dia... iblis itu... terus membisikiku."
Rovan meletakkan tangan di bahunya. "Itu akan selalu terjadi. Tugasmu adalah belajar mengabaikannya."
Dari kejauhan, suara auman lain terdengar.
"Kita harus pergi," Rovan menarik lengan Drevyn. "Teman-teman serigala itu akan datang."
Saat mereka bergegas pergi, Drevyn melihat ke belakang. Di antara pepohonan, puluhan pasang mata merah mulai bermunculan.
Pelajaran malam ini belum berakhir.
Drevyn berlari mengikuti Rovan, kaki mereka menginjak tanah lembab hutan. Suara geraman serigala jadi-jadian semakin jauh di belakang, tapi mereka tetap tidak berhenti.
"Jangan lambat!" Rovan memperingatkan sambil menoleh sebentar. Napasnya masih teratur meski sudah berlari cukup jauh.
Drevyn mengangguk, meski dadanya terasa seperti terbakar. Lengan tempat serigala mencakarnya masih perih, tapi anehnya, lukanya sudah tidak berdarah lagi. Api hitam dalam dirinya seolah bekerja menyembuhkan.
Setelah sekitar sejam berlari, Rovan akhirnya memperlambat langkah.
"Kita istirahat di sini," katanya, menunjuk ke sebuah gua kecil di balik semak belukar.
Gua itu gelap dan sempit, tapi cukup untuk dua orang bersembunyi. Rovan mengeluarkan kantong kulit dari pinggangnya dan menaburkan bubuk aneh di mulut gua.
"Apa itu?" tanya Drevyn, masih terengah-engah.
"Bubuk penyamar bau," jawab Rovan singkat. "Akan menutupi aroma kita dari penciuman serigala."
Drevyn mengamati pria tua itu. Semakin banyak saja hal-hal mengejutkan darinya.
Di dalam gua, Rovan menyalakan api kecil dengan dua batang kayu. Cahayanya yang redup menerangi wajahnya yang berkerut.
"Kau cepat belajar," ujarnya tiba-tiba, mata tertuju pada lengan Drevyn yang sudah mulai sembuh. "Tapi jangan terlalu sering mengandalkan kekuatan itu untuk menyembuhkan."
"Kenapa?"
"Karena setiap kali kau melakukannya, iblis itu akan semakin kuat mencengkeram jiwamu."
Drevyn merenungkan kata-kata itu. "Kau dulu... bagaimana bisa melepaskan diri?"
Rovan menghela napas panjang. "Dengan menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada kekuatan."
"Apakah itu?"
"Kebebasan sejati," jawab Rovan sambil menatap api. "Bukan hanya kebebasan fisik dari rantai, tapi kebebasan dari diri sendiri."
Drevyn tidak sepenuhnya mengerti, tapi dia mengangguk perlahan.
Matahari pagi baru saja mulai menyembul di antara pepohonan ketika Drevyn dan Rovan melanjutkan perjalanan mereka. Udara dingin pagi hari membuat nafas Drevyn mengeluarkan kabut putih kecil.
"Rovan," Drevyn memecah keheningan, "di mana kira-kira kita bisa menemukan Aisyah dan yang lain?"
Rovan yang berjalan di depan tidak langsung menjawab. Matanya terus mengamati sekeliling sebelum akhirnya berkata, "Di utara sini ada desa kecil. Tempat para pelarian tambang biasa singgah. Kemungkinan besar mereka ada di sana."
Drevyn mengangguk, harapannya mulai tumbuh.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang nyaris tidak terlihat, melewati semak-semak lebat dan akar-akar pohon yang menjulur. Rovan tampak hafal dengan jalur ini, sesekali menunjuk arah ketika jalan mulai tidak jelas.
Setelah beberapa jam berjalan, Drevyn tiba-tiba berhenti. Matanya menangkap sesuatu di tanah yang masih basah oleh embun pagi.
"Rovan! Lihat ini!"
Di tanah berlumpur itu, terlihat jelas jejak-jejak kaki manusia yang masih baru. Banyak sekali, sepertinya dari sekelompok orang.
Rovan segera berlutut memeriksa jejak-jejak itu. Tangannya yang berpengalaman dengan cermat mengamati setiap detail.
"Ini jejak baru," gumamnya. "Mungkin beberapa jam saja."
Drevyn bersemangat. "Bisa jadi ini Aisyah dan yang lain?"
Rovan mengangguk pelan sambil berdiri. "Sangat mungkin. Jejak ini mengarah ke utara - persis menuju desa yang tadi aku sebutkan."
Wajah Drevyn langsung berseri. Untuk pertama kalinya sejak terpisah, dia benar-benar merasa akan segera bertemu dengan teman-temannya lagi.
"Ayo kita cepat!" dorong Drevyn, langkahnya menjadi lebih bersemangat.
Rovan menyimpan senyum kecil melihat antusiasme Drevyn. "Tenang, kita sudah dekat."
Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan hati-hati. Semakin jauh, jejak itu semakin jelas. Drevyn bahkan bisa membedakan beberapa pola sepatu yang berbeda-beda.
"Itu... sepertinya jejak Gavin," kata Drevyn sambil menunjuk salah satu jejak yang lebih besar. "Dia selalu memakai sepatu bot besar seperti itu."
Rovan mengamati dengan seksama. "Kau benar. Dan lihat," dia menunjuk jejak kecil di sampingnya, "ini mungkin milik anak perempuan yang kau sebut Aisyah."
Drevyn merasa dadanya menjadi hangat. Mereka semua selamat. Mereka bersama-sama. Dan sebentar lagi, mereka akan bertemu lagi.
Setelah beberapa jam mengikuti jejak kaki, mereka akhirnya tiba di desa kecil yang Rovan sebutkan. Desa itu sederhana - beberapa rumah kayu berderet di sepanjang jalan tanah, dengan warga yang sedang sibuk dengan aktivitas harian mereka.
Drevyn menelan ludah. Tangannya berkeringat dingin. "Apa kita aman di sini?" bisiknya pada Rovan.
Rovan berjalan tenang. "Desa ini netral. Mereka tidak peduli dengan buronan tambang."
Benar saja, meski beberapa warga melirik mereka, tak ada yang menghampiri atau bertanya. Seorang pria tua yang sedang duduk di depan rumah hanya mengangguk kecil pada Rovan, seolah mengenalnya.
"Di mana kita bisa menemukan mereka?" tanya Drevyn, matanya terus menyapu desa.
"Di sini ada penampungan anak," jawab Rovan sambil menunjuk sebuah bangunan kayu yang lebih besar di ujung jalan. "Tempat paling mungkin mereka dibawa."
Jantung Drevyn berdebar lebih kencang saat mereka mendekati bangunan itu. Rumah itu terawat baik, dengan taman kecil di depannya. Rovan mengetuk pintu tiga kali.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka perlahan. Seorang wanita berambut pirang dengan mata biru yang lembut muncul di balik pintu.
"Selamat pagi," sambutnya hangat. Matanya beralih ke Drevyn. "Kamu mau dititipkan juga?"
Drevyn terkejut, tapi Rovan segera menjawab. "Kami mencari beberapa anak yang hilang. Mungkin mereka sampai di sini."
Wanita itu mengajak mereka masuk ke ruang tamu sederhana. "Semalam memang ada lima anak terdampar di sungai," katanya sambil menyiapkan teh. "Mereka dalam keadaan kedinginan tapi tidak apa-apa."
Drevyn langsung bersemangat. "Itu pasti mereka! Di mana mereka sekarang?"
Wanita itu mengerutkan kening. "Seorang pria datang tadi pagi. Dia bilang akan merawat mereka."
Rovan yang biasanya tenang langsung tegang. "Pria seperti apa?"
"Awalnya aku ragu," lanjut wanita itu, "tapi salah satu anak perempuan - yang rambutnya pirang seperti saya - terlihat mengenalnya. Dia memanggilnya 'paman'."
Drevyn berdiri tiba-tiba. "Sera? Sera memanggilnya paman?"
Wanita itu mengangguk. "Karena itu aku mengizinkannya membawa mereka."
Rovan dan Drevyn saling pandang. Sera tidak pernah menyebutkan ada keluarga di dekat sini.
"Pria itu bilang akan ke mana?" tanya Rovan cepat.
"Dia bilang akan menginap di penginapan dekat jembatan, lalu melanjutkan perjalanan besok pagi."
Tanpa berpikir panjang, Drevyn sudah bergegas ke pintu. Mereka harus segera menemukan teman-temannya - sebelum terlambat.
Langit mulai meredup saat Drevyn dan Rovan keluar dari penampungan anak itu. Langkah mereka cepat, penuh kecemasan. Rovan tak banyak bicara, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia tahu ini lebih dari sekadar kebetulan.
Jalanan desa mulai sepi. Beberapa penduduk sudah menutup jendela, menyalakan lentera. Drevyn melihat jembatan kayu yang disebutkan wanita tadi. Tak jauh dari situ, tampak sebuah bangunan dua lantai dengan papan kayu yang bertuliskan "Penginapan Lembah Tenang".
"Ini tempatnya," gumam Rovan.
Drevyn hendak langsung masuk, tapi Rovan menahan bahunya. "Kita tak tahu siapa pria itu. Kita harus hati-hati."
Drevyn mengangguk, dan mereka masuk perlahan. Di dalam, ruangan utama penginapan itu hangat, dengan meja kayu tua dan beberapa pengunjung yang sedang makan malam. Seorang pemilik penginapan berdiri di balik meja resepsionis.
Rovan maju lebih dulu. "Apakah pagi tadi ada seorang pria yang membawa lima anak datang kemari?"
Pemilik itu mengangguk. "Ya, mereka menyewa dua kamar di atas. Tapi dia pergi keluar sejak sore. Anak-anak masih di dalam kamar."
Drevyn langsung naik ke lantai dua, melewati lorong kayu berderit. Ia berhenti di depan kamar dengan nomor kecil yang terukir pudar: 12. Ia mengetuk pelan.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara kecil di balik pintu. "Drevyn?"
Itu suara Aisyah.
Pintu terbuka perlahan. Di dalam, kelima anak itu duduk berdekatan, tampak bingung namun lega. Drevyn langsung masuk dan memeluk mereka, terutama Sera dan Aisyah.
"Apa kalian baik-baik saja?" tanya Drevyn.
Sera mengangguk pelan. "Kami kira kalian tak akan datang."
"Apa yang terjadi?" desak Rovan yang masuk beberapa detik kemudian.
Sera terlihat ragu sejenak. "Pria itu bilang dia paman kami... tapi aku tak pernah merasa mengenalnya. Tapi dia tahu namaku, tahu tentang tambang... itu membuatku bingung."
Rovan menyipitkan mata. "Itu bukan pamanmu, kan?"
Sera perlahan menggeleng.
Drevyn mengepalkan tangannya. "Kita harus keluar dari sini. Sekarang."
Drevyn tak ingin mengambil risiko. Setelah memastikan ketiga anak itu selamat, ia dan Rovan langsung memeriksa kamar sebelah. Benar saja, di sana mereka menemukan Natan dan Gavin—terlihat kaget saat melihat mereka berdua tiba-tiba masuk.
“Kita harus pergi. Sekarang,” kata Rovan tegas.
Gavin hendak membantah, tapi tatapan tajam Rovan membuatnya diam. Drevyn menatap Natan, dan hanya dengan anggukan singkat, anak itu berdiri, mengikuti yang lain.
Mereka turun ke lantai bawah dan meninggalkan penginapan dengan langkah cepat tapi terjaga. Tak ada suara pria misterius itu, hanya kesunyian malam dan desir angin yang menambah ketegangan. Drevyn memeluk Sera erat saat mereka berlari kembali ke arah desa kecil.
Beberapa menit kemudian, napas mereka mulai memburu, kaki mulai gemetar, tapi akhirnya mereka tiba kembali di depan penampungan anak yang tadi. Rovan maju, mengetuk pintu—kali ini dengan sedikit lebih keras, tak sabar.
Pintu terbuka. Wanita berambut pirang itu terkejut saat melihat banyak anak di depannya, sebagian terengah-engah, sebagian lagi terlihat kebingungan dan lelah.
“Apa yang terjadi?” tanyanya pelan.
“Bisa kami titipkan mereka malam ini?” tanya Rovan tanpa basa-basi, nadanya serius.
Wanita itu terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Masuklah. Cepat.”
Anak-anak berbondong-bondong masuk, sebagian masih menatap ke belakang, takut pria itu mengejar. Drevyn menoleh sekali lagi ke jalan sunyi yang mereka lalui tadi.
Untuk malam ini, mereka selamat.