Cherreads

Chapter 8 - Kehancuran

Keesokan paginya, sinar matahari yang hangat tidak mampu menghapus bayang-bayang kelam yang masih melekat di benak Drevyn. Wajahnya tampak murung saat ia duduk melamun di sisi tempat tidur, memikirkan mimpi aneh semalam. Tatapan sosok bertanduk itu masih tergambar jelas di kepalanya.

Namun hidup harus terus berjalan.

Drevyn memaksakan dirinya untuk menjalani rutinitas seperti biasa. Setelah sarapan, ia membantu ayahnya di ladang, mengangkat hasil panen, memindahkan peralatan berat seperti kemarin. Namun kali ini, pikirannya tidak sepenuhnya berada di sini—ia lebih banyak diam, gerakannya terasa kosong.

Saat sinar matahari mulai meninggi, suara derap kuda terdengar dari kejauhan. Awalnya samar, tapi cepat menjadi jelas. Bukan hanya satu, bukan dua… tapi belasan, bahkan puluhan langkah kuda yang bergemuruh.

Drevyn langsung menoleh ke arah ayahnya. "Ayah… itu…"

Ayahnya mengangkat kepalanya, matanya menyipit. Tak lama kemudian, dari balik bukit, muncul barisan pasukan berkuda. Mata Drevyn membelalak. Ia mengenali dua ksatria di depan barisan itu—sama seperti yang ia lihat kemarin.

Namun kali ini mereka tidak datang untuk bertanya.

Begitu memasuki desa, mereka menyerbu tanpa belas kasihan.

Teriakan dan jeritan mulai terdengar dari berbagai penjuru. Api menyala, rumah-rumah dibakar, penduduk tak bersenjata ditebas begitu saja.

"Cepat, pulang!" seru ayahnya sambil menarik tangan Drevyn.

Mereka berdua berlari secepat mungkin menuju rumah. Begitu sampai, ayah langsung mendorong ibu dan Drevyn menuju tempat persembunyian di belakang rumah.

"Aku akan menjaga kalian di sini," ujar ayah tegas.

"Tidak, jangan! Ayah—!" Ibu memegang lengan ayah dengan air mata yang mengalir deras.

Namun ayah hanya tersenyum. Ia mengelus kepala Drevyn yang menangis dan berkata pelan, "Lindungilah ibumu…"

Drevyn mengepalkan tangannya, menahan tangis, lalu mengangguk pelan.

Ayah membuka pintu depan dan melangkah keluar. Tak lama kemudian, rumah mereka diserang. Drevyn dan ibunya bisa melihat dari sela papan tempat persembunyian mereka. Ayah berjuang dengan segala yang ia punya, menghalangi para prajurit yang mencoba masuk. Ia berteriak keras sambil mengayunkan alat pertanian yang ia jadikan senjata.

Namun...

Saat ia sedikit lengah, sebuah pedang menembus dadanya dari belakang. Ayah terhuyung, darah mengalir dari mulutnya… lalu ia jatuh, tidak bergerak.

"AYAH!!" Drevyn menjerit, air matanya tumpah tak terbendung.

Dunia di sekitarnya runtuh.

Seorang ksatria menemukan mereka berdua. Ia melangkah maju dengan pedang terhunus, hendak menghabisi mereka. Tapi sebelum Drevyn sempat melakukan apa pun, ibunya berdiri di depannya.

Dengan mata yang penuh air mata, ibu Drevyn merapatkan kedua tangan seperti sedang berdoa.

Dan tiba-tiba…

Sebuah cahaya terang memancar dari tubuhnya. Aura hangat namun menyilaukan memenuhi tempat itu. Ksatria itu berhenti, langkahnya tergoyah—takjub dan takut sekaligus. Dari tangan ibunya, sihir cahaya memancar dan menghantam para prajurit dengan kekuatan yang luar biasa.

Beberapa dari mereka terbakar oleh cahaya suci, sementara sisanya melarikan diri dengan ketakutan.

Namun…

Cahaya itu menguras kekuatan sang ibu. Ia terhuyung, tubuhnya melemah, dan akhirnya terjatuh.

Drevyn bergegas memeluknya.

"Ibu! Ibu, jangan pergi… jangan tinggalin aku juga…"

Sang ibu menatapnya lemah, senyumnya penuh cinta meski tubuhnya nyaris tak mampu bergerak.

"Kau… harus menjadi kuat… Drevyn…"

Tangannya yang gemetar menyentuh pipi Drevyn, mengelus dengan lembut.

"Ini… jimat milik ibu…" katanya sambil melepaskan anting kecil berbentuk bulan sabit dan menaruhnya di tangan Drevyn. "Selalu… lindungi yang berharga…"

Drevyn menggenggam anting itu erat, air matanya mengalir terus.

Sang ibu mendekatkan wajahnya perlahan, lalu memberikan kecupan lembut di dahi Drevyn—hangat… seperti cahaya matahari yang terakhir sebelum malam datang.

Dan setelah itu… tubuhnya mulai bersinar samar… sebelum akhirnya menghilang, meninggalkan hanya jejak cahaya dan harapan yang hancur.

Drevyn tak mampu berkata apa pun. Dunia di sekelilingnya seakan membisu, hancur dalam satu malam.

Kegelapan dalam dirinya perlahan tumbuh… dan kali ini, ia tidak bisa menolaknya.

Drevyn duduk di pojok rumahnya yang sudah setengah hancur. Tatapannya kosong, matanya sembab, dan tubuhnya gemetar. Ia memeluk lututnya sendiri, mencoba menahan semua kesedihan dan trauma yang menghantamnya begitu keras dalam satu hari.

Langkah kaki terdengar dari luar. Suara sepatu besi menghantam lantai kayu rumahnya perlahan. Seorang ksatria masuk, pandangannya tajam, namun berubah saat melihat sosok Drevyn yang begitu rapuh di sudut ruangan. Ksatria itu terdiam. Dia tak tahu apa yang telah terjadi, namun luka itu… luka di mata anak itu lebih dari cukup untuk memberi tahu bahwa dia telah kehilangan segalanya.

Mereka bertatapan. Sunyi. Waktu terasa membeku.

Ksatria itu memalingkan wajah dan melangkah pergi… tapi baru beberapa langkah, ia berhenti. Entah kenapa, hatinya menolak membiarkan anak itu tinggal di sana. Ia kembali, lalu menjulurkan tangannya.

Drevyn hanya menatapnya. Setengah sadar, setengah tidak peduli lagi. Tapi dia menggenggam tangan itu. Entah kenapa.

Tanpa banyak kata, Drevyn dibawa ke kelompok ksatria itu. Pemimpin mereka, seorang pria tinggi berjubah merah gelap dengan senyum menyebalkan di wajahnya, tertawa ketika melihat Drevyn. "Kau memang yang terbaik," katanya kepada si ksatria, sambil menepuk pundaknya. "Anak ini bisa berguna."

Drevyn hanya diam. Dunia di sekelilingnya terasa buram.

Tanpa banyak tanya, dia dibuat tak sadarkan diri. Saat bangun, dia mengenakan pakaian lusuh dan ada rantai di lehernya. Suasana sekeliling berubah drastis. Bau besi dan keringat menyengat. Terdengar suara dentuman palu dan gerutuan kasar. Ia berada di suatu tempat asing, dengan banyak orang yang sedang mengangkat barang, menambang batu, dan bekerja tanpa henti.

Drevyn sadar—dia dijadikan budak.

Dia berdiri, melihat sekeliling dengan lemah. Saat dia berjalan, seorang penjaga datang dan membentaknya. "Hei, kau! Kenapa tidak bekerja?!"

Drevyn tak menjawab. Dia dipukul. Berkali-kali. Di hadapan orang-orang yang hanya diam. Ada yang bahkan menertawainya.

Dengan tubuh yang pincang dan wajah yang memar, Drevyn menuju area penambangan. Dia mengambil alat dan mulai bekerja, walau tubuhnya jelas belum sanggup.

Tiba-tiba, seorang anak perempuan seumurannya menghampiri. Rambutnya sedikit berantakan, namun matanya tajam dan penuh semangat. "Hei… kamu gak apa-apa?"

Drevyn tak menjawab. Pandangannya tetap ke tanah.

Gadis itu mengerutkan kening. "Kamu selalu diam ya? Cuek banget sih!"

Belum sempat ia lanjut bicara, seorang anak laki-laki bertubuh besar datang dan dengan sengaja menyenggol Drevyn hingga jatuh. Tawa sinis keluar dari mulutnya.

"Lihat nih, si baru! Baru juga masuk udah bikin masalah," katanya sambil tertawa dan menendang batu kecil ke arah Drevyn.

Gadis itu segera mendorong anak laki-laki itu. "Cukup, Gavin! Kamu nyebelin!"

Gavin mendengus, tapi akhirnya pergi.

Anak perempuan itu kembali membantu Drevyn berdiri. Wajahnya cemas. "Kamu gapapa? Namaku Seraphine… tapi panggil aja Sera."

Drevyn masih menunduk. Namun perlahan dia berbisik, "Drevyn…"

Sera tersenyum, senyum hangat yang terasa sangat asing di tempat sekelam itu. "Akhirnya kamu ngomong juga. Senang kenal kamu, Drevyn."

Lalu dengan semangat polosnya, dia mengulurkan tangan. "Ayo berteman."

Drevyn menatapnya. Lalu perlahan mengangguk.

Hari itu, di tengah kegelapan dan rantai, Drevyn mendapatkan satu hal yang belum pernah dia bayangkan bisa kembali hadir: seorang teman.

————————

Setelah kejadian dengan Gavin, Drevyn kembali bekerja dengan Sera di sampingnya. Sera, dengan sifat ceria dan periangnya, terus-menerus berbicara tanpa henti. Drevyn yang merasa risih hanya diam, membiarkan kata-kata Sera mengalir begitu saja tanpa menanggapinya. Meskipun dia merasa sedikit terganggu, ia tidak punya energi untuk mengungkapkan perasaannya. Yang ia inginkan hanya ketenangan, dan Sera, meskipun ceria, bisa sedikit menghibur dengan keberadaannya.

Setelah beberapa jam bekerja, tanda istirahat pun terdengar, dan semua pekerja mulai berbaris untuk mendapatkan jatah makan. Drevyn yang tidak tahu harus berbuat apa hanya mengikuti Sera dan orang-orang di sekitarnya. Ia merasa sedikit bingung dengan bagaimana segala sesuatu bekerja di sini, tapi setidaknya ia punya teman yang bisa membantunya.

Drevyn mengantri dengan sabar, berharap bisa mendapatkan makanan. Namun, tiba-tiba Gavin muncul, dengan tubuh besar dan sikap angkuhnya. Tanpa rasa malu, dia menyelinap di antara antrian dan langsung menyerobot posisi Drevyn.

"Eh, aku lapar banget, jadi minggir deh," kata Gavin dengan nada kasar sambil menatap Drevyn dengan senyum mengejek.

Drevyn merasa amarahnya memuncak. Dia ingin sekali memukul Gavin, tetapi menahan dirinya. Tidak ada gunanya menambah masalah. Namun, rasa kesal itu terus menggerogotinya.

Sera yang melihat kejadian itu langsung geram. "Hei, kamu gak bisa antri kayak orang lain?!" serunya dengan keras, suaranya penuh amarah.

Gavin pura-pura tidak mendengar, malah bersiul dengan santainya sambil tetap berdiri di tempatnya. Dia tampak seperti tidak peduli.

Sera yang semakin kesal, tiba-tiba menggigit lengan Gavin dengan keras. Gavin terkejut dan langsung berteriak kesakitan. "Arrgghh! Sakit banget, bodoh!" teriaknya.

Gavin yang marah berbalik dan berniat untuk memukul Sera. Namun, sebelum Gavin sempat bergerak, Drevyn dengan sigap menghalangi, menangkap tangan Gavin agar dia tidak bisa melanjutkan tindakannya.

Suasana menjadi tegang. Penjaga yang mendengar kegaduhan itu langsung berteriak, "Jangan ribut! Jika masih ribut, semua akan dipukuli!"

Gavin mendengus kesal, tapi akhirnya diam, meskipun dengan jelas terlihat dia sangat marah. Drevyn pun segera melepaskan cengkramannya, tidak ingin masalah ini berkembang lebih jauh.

Sera masih tampak kesal, napasnya tersengal-sengal, namun Drevyn menenangkan dia. "Jangan cari masalah, Sera. Kita harus tetap tenang," katanya dengan suara pelan.

Sera hanya mengangguk, meski amarahnya masih belum reda sepenuhnya. Beberapa menit kemudian, akhirnya giliran Drevyn untuk mendapatkan jatah makanannya. Dia mengambil porsi makanan seadanya dan mencari tempat untuk makan dengan tenang.

Drevyn akhirnya menemukan sebuah tempat yang cukup terpencil, seperti gua kecil yang tidak terlalu dalam, dan duduk di sana untuk menikmati makanannya. Tempat itu terasa aman dan nyaman, jauh dari keributan dan gangguan orang-orang. Drevyn merasa sedikit lebih baik di sana, merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan.

Namun, tidak lama setelah itu, terdengar langkah kaki lagi. Drevyn terkejut saat melihat seorang anak perempuan masuk ke dalam tempat itu. Mereka saling menatap dengan kaget, masing-masing tidak mengira ada orang lain yang berada di sana. Anak perempuan itu tampak bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan hanya berdiri di sana tanpa berkata-kata.

Suasana menjadi sangat canggung. Drevyn merasa tidak nyaman, berniat untuk pergi, namun sebelum ia sempat melangkah, tangan anak perempuan itu menariknya kembali.

"Jangan pergi…" katanya dengan suara lembut, suaranya agak ragu. "Aku tidak ingin sendirian."

Drevyn yang merasa sedikit terkejut menatap anak itu sejenak. Setelah beberapa saat, dia akhirnya memutuskan untuk tetap duduk dan melanjutkan makan. Meskipun ia tidak tahu siapa anak ini atau mengapa dia tiba-tiba ingin berbicara dengannya, Drevyn merasa tidak enak hati untuk pergi begitu saja.

Beberapa menit setelah itu, suara Sera terdengar dari luar, memanggil nama Drevyn dengan nada kesal. "Drevyn! Kamu kemana aja?!" Teriaknya.

Drevyn langsung menoleh, dan dalam sekejap, Sera muncul di pintu gua. Dia melihat Drevyn yang duduk bersama anak perempuan itu dan langsung melotot. "Kamu gak ngajak-ngajak! Kenapa gak bilang kalau makan di sini?!"

Sera menatap anak perempuan itu dengan tatapan penasaran. "Siapa dia?"

Anak perempuan itu sedikit gugup dan menjawab dengan suara pelan, "A-Aisyah…"

Drevyn menatap Aisyah dengan hati-hati, namun kemudian memberi senyum kecil. "Aisyah," gumamnya pelan, mencoba mengenalnya sedikit lebih baik.

Sera mengangguk, tampaknya puas dengan jawaban itu, meskipun dia masih terlihat agak kesal karena Drevyn tidak mengajaknya makan bersama. Namun, dia akhirnya duduk di samping Drevyn, tanpa mengabaikan Aisyah yang duduk di sana juga.

Hari itu, Drevyn merasa sedikit lebih ringan. Tidak hanya karena pertemuan tak terduga dengan Aisyah, tetapi juga karena Sera, meskipun penuh dengan kekesalan, tetap berusaha mengajaknya tetap bersama.

More Chapters