Drevyn menarik napas dalam-dalam, tangannya memegang erat lengan Natan yang masih lemah. "Tahan sebentar lagi," bisiknya, sambil menatap ke depan di mana Gavin sudah bersiap dengan pipa besinya.
Udara di lorong tambang terasa pengap, bercampur dengan debu dan bau besi berkarat. Langkah kaki mereka berderap cepat, membunyikan gema di sepanjang terowongan sempit.
"Mereka di sana!" teriak salah satu penjaga dari belakang.
Aisyah menoleh, matanya menyipit. "Lebih cepat!" serunya pada yang lain.
Gavin, yang berada di depan, tiba-tiba berhenti. Di hadapannya, tiga penjaga bersenjatakan pedang pendek menghadang.
"Dasar budak sialan!" salah satu penjaga mencemooh.
Gavin tidak banyak bicara. Dengan gerakan cepat, dia mengayunkan pipa besinya—BRAK!!!
Pukulan keras itu menghantam bahu penjaga pertama, membuatnya terpelanting ke dinding. Dua penjaga lain langsung menyerang, tapi Gavin menangkis dengan pipanya sebelum mendaratkan pukulan lain ke perut lawannya.
"Arrgghh—!" erang penjaga itu, terjatuh sambil memegangi perutnya.
Sera dan Liora saling pandang, lalu berlari melewati mereka. "Lanjut!" teriak Sera.
Mereka terus berlari, tapi tiba-tiba—
"Berhenti."
Suara itu dalam dan tenang, tapi penuh wibawa.
Di depan mereka, seorang pria tua bertubuh kurus tapi tegap berdiri menghalangi jalan. Rovan.
Gavin langsung mengangkat pipa besinya. "Apa maumu, pak tua?!"
Rovan tidak terpancing. Matanya yang tajam mengamati mereka satu per satu sebelum akhirnya berhenti di Drevyn. "Kalian ingin bebas?"
Drevyn merasakan jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu dalam tatapan Rovan yang membuatnya tidak bisa berbohong. "Ya," jawabnya pendek.
Rovan tersenyum tipis. "Aku tahu jalan keluar."
Semua orang terkejut.
"Di mana?" tanya Aisyah, langkahnya maju sedikit.
Rovan tidak menjawab. Alih-alih, dia berbalik dan mulai berjalan cepat ke arah lorong samping yang gelap.
"Hei! Jawab dulu—" Gavin mulai protes, tapi Drevyn menghentikannya.
"Kita ikuti saja," bisik Drevyn. "Kita tidak punya pilihan lain."
Mereka mengikuti Rovan masuk ke lorong sempit yang nyaris tidak terlihat. Dindingnya basah, dan langit-langitnya begitu rendah sampai Gavin harus menunduk.
"Di mana kau membawa kami?" tanya Liora, suaranya gemetar.
Rovan tidak menoleh. "Jalan ini hanya diketahui segelintir orang. Dibuat oleh budak-budak zaman dulu yang mencoba kabur."
Drevyn memperhatikan sekeliling. Lorong ini berbeda—tidak ada bekas pahatan alat tambang, seolah digali dengan tangan kosong.
"Lalu kenapa kau mau membantu kami?" tanya Gavin, masih curiga.
Rovan berhenti sebentar. "Karena seperti kalian, aku juga punya alasan untuk membenci tempat ini."
Sebelum ada yang bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki dan teriakan penjaga terdengar dari jauh.
"Mereka semakin dekat!" Sera panik.
Rovan mempercepat langkah. "Kita hampir sampai."
Lorong itu berakhir di sebuah ruang kecil dengan dinding batu yang retak. Rovan mendorong salah satu batu itu—dan dengan suara berderak, sebagian dinding bergeser, membuka celah cukup untuk seseorang melaluinya.
"Di luar adalah hutan," kata Rovan. "Tapi kalian harus cepat. Penjaga juga tahu jalan ini."
Gavin mengangguk, lalu memeriksa celah itu. "Ayo!"
Satu per satu, mereka menyusup keluar. Udara segar langsung menyambut mereka—bau tanah dan daun menggantikan debu tambang.
Drevyn berbalik melihat Rovan, yang masih berdiri di dalam. "Kau tidak ikut?"
Rovan menggeleng.n"Aku masih ada urusan di sini."
Sebelum Drevyn bisa berkata lagi, Rovan sudah mendorong batu itu kembali menutup.
"Drevyn, cepat!" Aisyah menarik tangannya.
Dia memandang sebentar ke arah batu yang sudah tertutup, lalu berlari mengikuti yang lain masuk ke dalam hutan.
Mereka terus berlari, menjauhi tambang. Tidak ada yang bicara—semua masih mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Jadi... kita benar-benar bebas?" tanya Natan, suaranya tidak percaya.
Gavin menghela napas. "Untuk sekarang, ya."
Tapi Drevyn tidak bisa tenang. Pikirannya tertuju pada Rovan. Kenapa dia membantu kita? Apa urusannya di tambang?
Dan yang paling penting—apakah jalan keluar ini benar-benar sebuah kebebasan... atau justru awal dari sesuatu yang lebih berbahaya?
Angin malam menerpa wajah mereka begitu keluar dari lorong sempit. Hutan di depan mereka gelap, hanya diterangi cahaya bulan purnama yang menyelinap di antara dedaunan. Udara segar terasa asing setelah bertahun-tahun menghirup debu tambang.
"Kita... benar-benar keluar," bisik Sera, tangannya menutup mulut. Matanya berkaca-kaca.
Liora langsung memeluk kakaknya erat. "Kita berhasil," gumamnya, suaranya hampir tak terdengar.
Drevyn menarik napas dalam-dalam. Paru-parunya terasa lebih ringan, tapi dadanya masih sesak oleh pertanyaan. Dia menoleh ke arah batu yang sudah tertutup rapat. "Rovan..."
"Lupakan dia," sela Gavin sambil memijat bahunya yang pegal. "Kita harus terus bergerak. Mereka pasti akan mengejar."
Aisyah mengangguk setuju. "Gavin benar. Kita butuh tempat berlindung."
Natan, yang masih terhuyung-huyung, bersandar di batang pohon. "Tapi... ke mana?"
Sepi.
Tidak ada yang bisa langsung menjawab.
Gavin mengamati sekeliling. "Kita ikuti aliran sungai itu," katanya sambil menunjuk ke arah bunyi gemericik air di kejauhan. "Air biasanya mengarah ke pemukiman."
Mereka mulai berjalan, tapi baru beberapa langkah, Drevyn tiba-tiba berhenti.
"Ada sesuatu di sini," bisiknya.
Di tanah, terlihat jejak kaki besar—terlalu besar untuk ukuran manusia normal. Jejak itu dalam, seolah dibuat oleh makhluk yang sangat berat.
"Apa itu?" tanya Sera, suaranya bergetar.
Liora menunduk memeriksa. "Bukan manusia... dan bukan hewan biasa."
Aisyah mengeratkan genggamannya pada tongkat kayu yang dia pungut tadi. "Kita harus lebih berhati-hati."
Drevyn merasakan sesuatu—panas—mulai menggeliat di tangannya lagi. Api hitam itu seolah bereaksi terhadap sesuatu di hutan ini.
Mereka terus berjalan dengan hati-hati, mengikuti sungai seperti saran Gavin. Tapi semakin jauh, suasana hutan semakin tidak nyaman.
"Kalian... dengar itu?" Natan tiba-tiba berbisik.
Suara gemeresik.
Seperti sesuatu yang besar bergerak di antara pepohonan.
Gavin langsung siaga, pipa besinya diangkat. "Bersiap!"
Dari balik semak, sepasang mata merah menyala muncul.
"Human... akhirnya ketemu," suara parau terdengar, diikuti langkah berat yang membuat tanah bergetar.
Makhluk itu muncul—tubuhnya setinggi tiga meter, kulit seperti batu, dengan tanduk melingkar di kepala.
"Minotaur...?" teriak Sera ketakutan.
Makhluk itu mengendus-endus udara. "Aku mencium... bau iblis," katanya, mata merahnya tertuju pada Drevyn. "Kau... pembawa api hitam."
Drevyn merasakan jantungnya berhenti berdetak. "Bagaimana dia tahu?"
"Lari!" Aisyah tiba-tiba menarik tangan Drevyn.
Tapi sudah terlambat.
Minotaur itu mengangkat tangannya yang besar—dan sebuah cincin batu di jarinya bersinar merah.
"Tuan akan senang... aku menemukanmu," katanya sambil tertawa kasar.
Lalu, dari dalam hutan, puluhan pasang mata merah lainnya mulai menyala.
Mereka dikelilingi.
"Apa yang mereka inginkan?" teriak Liora, bersembunyi di belakang Gavin.
Drevyn tahu jawabannya. "Aku," bisiknya. Tangannya mulai berasap lagi. "Mereka mengincar kekuatanku."
Minotaur pemimpin mendekat. "Kau benar, manusia. Tuan kami ingin... memamahmu."
Gavin menggeram. "Kalian harus lari. Aku akan tahan mereka!"
"Bodoh!" Sera menariknya. "Kau tidak bisa melawan mereka sendirian!"
Drevyn melihat sekeliling. Ada terlalu banyak. Tapi ketika matanya tertuju pada sungai di belakang mereka, sebuah ide muncul.
"Sungai," bisiknya pada yang lain. "Kita harus lompat."
"Apa? Itu gila—"
"Tidak ada waktu untuk berdebat".
Drevyn mengangkat tangannya, dan untuk pertama kalinya—dia sengaja melepaskan api hitam itu.
"Tutup mata!" teriaknya sebelum ledakan cahaya hitam menyembur dari tangannya, mengaburkan pandangan.
Minotaur-minotaur itu menggeram, sementara Drevyn dan yang lain langsung melompat ke sungai deras.
Air dingin menyergap mereka. Arusnya jauh lebih deras dari yang terlihat.
Drevyn berusaha tetap mengapung, tapi tubuhnya terhuyung-huyung diterjang air. Di kejauhan, dia melihat Aisyah berteriak sesuatu—tapi suaranya hilang dalam gemuruh sungai.
"Drevyn!"
Sesaat sebelum arus menghanyutkannya, dia melihat sesosok bayangan hitam berdiri di tepi sungai—Rovan.
Pria tua itu mengangkat tangannya, dan air sungai tiba-tiba berbelok, mengarahkan Drevyn ke tepian yang lebih tenang.
"Kau... siapa sebenarnya?" Drevyn ingin berteriak, tapi air masuk ke mulutnya.
Dunia menjadi gelap.
————————
Drevyn terbangun dengan batuk-batuk, air sungai masih terasa di tenggorokannya. Tubuhnya basah kuyup, pakaiannya menempel dingin di kulit. Perlahan, dia membuka mata—api unggun kecil menyambutnya, kehangatannya perlahan mengusir dingin yang menggigit.
"Akhirnya sadar," suara itu tenang, familiar.
Drevyn menoleh. Rovan duduk di seberang api, sedang memutar-mutar ikan yang ditusuk ranting di atas bara. Aroma ikan panggang memenuhi udara, membuat perutnya keroncongan.
"Duduklah," Rovan menyentuh batang kayu di sebelahnya tanpa menatap. "Kau kedinginan."
Drevyn menuruti, tangannya menggigil saat dijulurkan ke arah api. "Yang... yang lain?" suaranya serak.
Rovan tidak langsung menjawab. Dengan sabar, dia memutar ikan sekali lagi sebelum akhirnya mengangkatnya. "Makan dulu," ujarnya, menyodorkan ikan yang sudah kecokelatan itu. "Pantasnya kau sangat lapar."
Drevyn menerimanya, dan tanpa pikir panjang langsung menggigit. Ikan itu panas, gurih, dan terasa seperti makanan terlezat yang pernah ia rasakan setelah berhari-hari makan roti apek di tambang.
Rovan tertawa kecil melihatnya. "Pelan-pelan, nanti tersed—"
"Hek—!
Tepat seperti kutukan, Drevyn tersedak. Rovan cepat mengambil kantung air di sampingnya dan memberikannya. "Minumlah."
Setelah tegukan panjang, Drevyn menghela napas lega. "Terima kasih," katanya, kali ini lebih pelan saat mengunyah.
Rovan mengangguk, lalu mulai memanggang ikan untuk dirinya sendiri.
Udara malam diisi oleh bunyi jangkrik dan gemericik sungai di kejauhan. Drevyn mengamati Rovan—pria tua ini terlalu tenang
"Kau bilang punya urusan di tambang," Drevyn memecah keheningan. "Tapi sekarang kau di sini. Menyelamatkanku."
Rovan mengunyah perlahan sebelum menjawab. "Urusanku sudah selesai. Sebagian penjaga kubuat pingsan—tidak kubunuh, hanya cukup membuat mereka tak bisa mengejar."
Drevyn tertegun. "Sendirian?"
"Hmm." Rovan tersenyum kecil, tapi tidak menjelaskan lebih jauh.
"Lalu yang lain? Aisyah? Gavin?" tanya Drevyn, suaranya mulai panik.
Rovan menghela napas. "Arus sungai terlalu deras. Mereka terbawa ke hilir—aku hanya sempat menyelamatkanmu karena kau yang paling dekat."
Drevyn langsung berdiri. "Kita harus mencari mereka! Mereka bisa—"
"Duduk."
Satu kata itu saja, tapi diucapkan dengan wibawa yang membuat Drevyn tanpa sadar menuruti.
Rovan menatapnya tajam. "Malam ini kau tidak akan bisa melakukan apa-apa. Gelap, kau masih lemah, dan hutan ini berbahaya." Tangannya menunjuk ke kegelapan di luar lingkaran api. "Ada lebih dari sekadar minotaur di sini."
Drevyn menggigit bibirnya. "Tapi—"
"Besok," potong Rovan tegas. "Percayalah, mereka lebih tangguh dari yang kau kira."
Drevyn akhirnya mengalah, tapi pikirannya tetap gelisah. Matanya tertuju pada tangannya sendiri—simbol iblis itu terlihat lebih jelas dari biasanya, seolah bereaksi terhadap sesuatu di hutan ini.
Rovan memperhatikannya. "Kau ingin bertanya sesuatu lagi," ujarnya, bukan pertanyaan.
Drevyn mengangkat wajah. "Siapa kau sebenarnya? Kenapa membantuku?"
Api unggun berkerlap-kerlip, memantulkan bayangan dalam di wajah Rovan.
"Aku adalah orang yang tahu apa itu," katanya sambil menunjuk simbol di tangan Drevyn. "Dan aku juga tahu siapa yang menaruhnya di tubuhmu."
Drevyn merasa nafasnya tertahan. "Kau... kenal iblis dalam diriku?"
Rovan mengangkat tongkatnya, mengaduk-aduk bara api. "Bukan cuma kenal."
Dia menatap Drevyn, dan untuk pertama kalinya—matanya bersinar merah sesaat, persis seperti api hitam Drevyn.
"Aku adalah orang pertama yang dikendalikannya, 200 tahun lalu."