Setelah selesai makan, para budak dan pekerja tambang diberi waktu istirahat bebas selama sepuluh menit. Kebebasan singkat itu biasanya dimanfaatkan untuk duduk, tidur sebentar, atau sekadar berbincang. Namun, Sera yang selalu penuh energi justru ingin bermain.
“Ayo kita main keliling-keliling!” ajaknya dengan antusias sambil menarik tangan Drevyn.
Drevyn menatapnya datar. “Aku nggak mau.”
Aisyah yang duduk di dekatnya hanya menggeleng pelan, menunduk tanpa berkata apa pun.
Namun wajah Sera langsung berubah. Ekspresinya yang ceria mendadak muram, matanya menatap Drevyn dan Aisyah dengan kecewa. Dia mencubit ujung lengan bajunya sendiri sambil menunduk.
Drevyn menghela napas. “Haaah… ya udah, ayo.”
Sera langsung kembali ceria dan bersorak kecil. “Yeay!”
Aisyah yang melihat Drevyn bangkit akhirnya juga berdiri, meskipun tampak ragu. Dia diam-diam mengikuti dari belakang, selalu menjaga jarak tapi tak berani terlalu jauh dari Drevyn. Di wajahnya, jelas terlihat rasa takut.
Tambang itu ternyata sangat luas. Dinding batu yang gelap, lembap, dan bau tanah yang menyengat membuat tempat itu terasa seperti perut bumi. Cahaya-cahaya dari obor yang dipasang di tiang-tiang kayu membuat suasana semakin suram. Mereka bertiga menyusuri lorong-lorong sempit, melewati para pekerja lain yang duduk diam atau tertidur karena kelelahan.
“Eh, Aisyah,” Drevyn tiba-tiba bertanya saat mereka berjalan perlahan. “Udah berapa lama kamu di sini?”
Aisyah tidak menjawab. Dia tetap berjalan pelan di belakang, bahkan menunduk semakin dalam.
Drevyn menoleh ke arahnya, tapi tidak memaksa. Ia mengalihkan pandangan ke Sera. “Kalau kamu?”
Sera berhenti sejenak, lalu menjawab, “Hampir setahun. Awalnya aku dikira pencuri… padahal aku cuma nyari makanan.”
Drevyn hanya menatapnya tanpa komentar. Jawaban itu cukup membuat dadanya terasa berat. Tempat ini… ternyata sudah menjadi neraka bagi banyak anak-anak sejak lama.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika seorang anak perempuan muncul dari lorong lain dan langsung menghampiri Sera dengan langkah cepat.
Rambutnya panjang berwarna pirang, jatuh rapi di bahunya. Matanya biru terang seperti berlian yang memantulkan cahaya obor. Wajahnya cantik dan bersih—sangat kontras dengan lingkungan tambang yang kotor dan suram. Bahkan Drevyn, yang biasanya cuek, sempat terpana melihat anak itu.
“Aku cari kamu dari kemarin, Sera!” bentaknya, wajahnya kesal. “Kamu ke mana aja?!”
Sera tersenyum kaku. “Maaf, aku… ya gitu deh. Maaf ya.”
Anak itu mendengus, tapi akhirnya ekspresinya melembut. Dia kemudian melirik ke arah Drevyn dan Aisyah. Aisyah yang merasa takut langsung bersembunyi di belakang Drevyn, menggenggam sedikit ujung bajunya.
Anak pirang itu tersenyum lembut. “Maaf, aku bikin takut ya. Aku Liora. Adiknya Sera.”
Drevyn mengerutkan kening, menatap Sera dengan wajah bingung. “Adikmu?”
Sera tertawa lepas. “Hehe, kaget ya? Kami saudara, walau banyak yang nggak percaya karena beda banget.”
Drevyn hanya mengangguk pelan. Hatinya masih diliputi rasa heran, tapi juga sedikit… hangat. Entah mengapa, keberadaan anak-anak ini membuat tempat gelap ini terasa sedikit lebih hidup.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia datang ke tempat itu… Drevyn merasa tidak benar-benar sendirian.
Setelah itu, bel berbunyi nyaring menandai waktu istirahat telah berakhir. Semua budak dan pekerja kembali ke tugas mereka masing-masing. Drevyn juga bergegas mengambil beliungnya dan melanjutkan pekerjaannya, begitu juga dengan Sera, Aisyah, dan yang lainnya. Suasana tambang kembali riuh oleh suara logam menghantam batu dan desahan napas para pekerja yang kelelahan.
Saat Drevyn sedang membawa batu hasil tambang ke tempat pengumpulan, matanya tanpa sengaja menoleh ke sudut yang agak gelap. Di sana, dia melihat Gavin dan dua rekannya sedang mengerubungi seseorang. Seorang anak berambut hitam—Aisyah.
Wajah Aisyah tertunduk, dan dari kejauhan, Drevyn bisa melihat air mata menetes dari pipinya. Gavin dan teman-temannya tertawa pelan sambil mendorong-dorong tubuh mungil Aisyah. Tidak ada yang menghentikan mereka. Semua orang tampaknya terlalu sibuk atau memang tidak peduli.
Seketika, dada Drevyn terasa sesak. Ingatannya melayang ke masa lalu—saat dia masih hidup di dunia sebelumnya. Ia pun dulu pernah mengalami hal yang sama. Dirundung, dipermalukan, dan tidak ada satu pun yang membela. Saat itu, dia hanya bisa diam. Tak berani melawan.
Awalnya Drevyn berniat untuk mengabaikan, namun hatinya menolak. Tubuhnya bergerak sendiri. Dengan langkah cepat, dia menghampiri Gavin dan menghentikan aksi mereka.
“Cukup,” ucap Drevyn dengan nada dingin.
Gavin menoleh, kaget, lalu mendecakkan lidahnya. “Apa sih? Urusanku, bukan urusanmu.”
“Udah cukup,” ulang Drevyn lebih tegas.
Gavin mengepalkan tinjunya, jelas dia ingin memukul Drevyn. Namun saat dia menoleh sedikit, dia melihat seorang penjaga sedang berdiri tidak jauh dari mereka. Wajah Gavin berubah seketika. Dengan kesal, dia mendengus dan langsung pergi, diikuti teman-temannya.
Drevyn menoleh pada Aisyah yang masih menunduk dan terduduk lemas. Dia berjongkok dan membantu Aisyah berdiri.
“Gak apa-apa?” tanya Drevyn pelan.
Aisyah mengangguk sambil menyeka air matanya. “Terima kasih…”
“Kenapa gak lawan aja?” tanya Drevyn. “Kamu bisa teriak atau dorong balik, setidaknya.”
Aisyah menggigit bibirnya dan menjawab lirih, “Aku takut. Kalau aku melawan… mereka bakal makin jahat. Aku gak berani…”
Jawaban itu menghantam hati Drevyn. Dia terdiam, membeku di tempat. Itu kalimat yang sama seperti yang dulu sering ia ucapkan pada dirinya sendiri saat masih hidup sebagai bocah lemah. Hatinya mencengkeram kenangan itu erat—pahit, namun membangkitkan sesuatu dalam dirinya.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa parau dari belakang. Drevyn menoleh dan melihat seorang pria dewasa berusia sekitar lima puluh tahun sedang berdiri sambil bersandar pada dinding batu. Rambutnya sudah memutih, kulitnya kusam, tubuhnya tampak lelah, tapi sorot matanya tajam dan penuh pemahaman—berbeda dari para pekerja lainnya.
“Hahaha… lucu juga kau, anak muda,” ucap pria itu dengan senyum kecil.
Drevyn mengernyit. “Apa yang lucu?”
Pria itu mengangkat tangan, seolah meminta maaf. “Maaf, maaf… bukan maksudku menghina. Aku cuma… jarang melihat seseorang melakukan itu. Di tempat seperti ini, kebaikan itu hampir punah.”
Drevyn tetap menatapnya. “Kau bilang itu lucu?”
“Bukan lucu dalam arti menertawakanmu,” kata pria itu sambil perlahan mendekat. “Lucu karena... berani bersikap manusiawi di tempat yang sudah kehilangan rasa kemanusiaan. Itu langka, anak muda.”
Ia berhenti di hadapan Drevyn dan menatapnya lebih dalam. “Namamu siapa?”
“Drevyn,” jawab Drevyn singkat.
Pria itu mengangguk pelan. “Nama yang bagus. Aku dipanggil banyak sebutan di tempat ini, tapi kau boleh panggil aku Rovan. Kalau kau bertahan cukup lama di sini, mungkin kita akan sering bertemu.”
“Kenapa kau memperhatikan kami?” tanya Drevyn curiga.
“Aku mengamati semua yang menarik perhatianku,” jawab Rovan tenang. “Dan kau… sangat menarik.”
Drevyn tidak menanggapi. Ia hanya membantu Aisyah kembali berdiri dan bersiap untuk kembali bekerja.
Namun sebelum mereka berpisah, Rovan menambahkan, “Dunia ini keras, Drevyn. Tapi jika kau tetap seperti ini… mungkin, kau bisa mengubah sesuatu. Atau… mungkin, kau akan hancur lebih cepat. Aku penasaran akan seperti apa nasibmu.”
Seketika, Rovan berbalik, berjalan perlahan menyusuri lorong tambang yang gelap. Bayangannya memanjang di dinding, seperti menyisakan tanda tanya.
Aisyah menatap Drevyn penuh kebingungan. “Siapa dia…?”
Drevyn menggeleng. “Entahlah…"
Drevyn masih menatap ke arah pria tua itu berjalan pergi. Langkahnya perlahan tapi pasti, seolah sudah terlalu biasa dengan kerasnya dunia tambang ini. Setelah sosoknya menghilang di balik lorong, Drevyn menghela napas pelan.
Aisyah menarik lengan bajunya pelan. “Dia... terlihat menyeramkan, tapi sepertinya juga... baik, ya?”
Drevyn mengangguk. “Entah kenapa aku juga merasa begitu.”
Mereka pun berjalan kembali ke tempat kerja. Aisyah berjalan sedikit lebih dekat dari sebelumnya, seolah merasa lebih aman di samping Drevyn. Tidak ada yang mereka katakan, tapi suasananya terasa sedikit lebih hangat.
Drevyn kembali menggenggam beliungnya dan mulai bekerja, sesekali melirik ke arah Aisyah yang juga mulai fokus dengan tugasnya. Di antara suara dentingan logam dan debu tambang yang tebal, Drevyn merasa untuk pertama kalinya—meskipun sedikit—ia tidak sepenuhnya sendiri di tempat ini.
Dan entah kenapa, kata-kata pria tua tadi terus terngiang di benaknya.
"Jika kau tetap seperti ini… mungkin, kau bisa mengubah sesuatu."