Cherreads

Chapter 16 - Malam Penghakiman

Langit malam menggantung muram di atas desa itu. Awan kelabu berarak lambat, seolah enggan menyaksikan apa yang akan terjadi. Solor melangkah pelan di antara bayangan rumah-rumah, tubuhnya yang pendek membuatnya sulit menembus kerumunan. Ia menyelinap, mencari celah, hingga akhirnya berdiri di tepian kerumunan yang lebih longgar. Wus Wus ia tambatkan di tempat aman, sementara dadanya berdegup keras. Ada sesuatu di udara malam ini — sesuatu yang lebih pekat dari sekadar ketegangan.

Tiba-tiba, ledakan memecah keheningan.

Cahaya menyilaukan menyambar dari sebuah rumah yang dijaga ketat para prajurit Aliansi. Orang-orang tersentak mundur, wajah mereka menyiratkan kecemasan yang sama. Solor menyipitkan mata, menatap kilatan itu. Ia tahu pasti — itu bukan sekadar cahaya. Itu adalah pusaka yang dihancurkan. Setiap ledakan yang menyusul membuat langit berpendar suram, seolah semesta sendiri berduka. Tiang Cahaya yang menjulang perlahan meredup… lalu mati.

Solor menarik napas panjang. Dingin malam terasa menyesak. Di tengah kerumunan yang gamang, ia melangkah lebih dekat. Warga berkumpul dengan wajah muram, cahaya obor memantulkan sorot mata mereka yang dipenuhi ketakutan dan harapan yang remuk.

Di depan, seorang pria jangkung berseragam Aliansi naik ke atas panggung kecil. Suaranya lantang memecah kerumunan:

"Wahai warga Sanajayan, dengarkan dengan khidmat dan penuh pengertian! Hari ini, kita menyaksikan akhir dari pelanggaran yang mengoyak tatanan hukum dan keseimbangan dunia kita. Pemakaian benda pusaka tanpa pengabdian pada hukum adalah pengkhianatan — bukan hanya pada jiwa kita sendiri, tapi pada tanah dan leluhur kita. Hukum Aliansi adalah perisai dunia ini, dan perisai harus tetap berdiri, meski darah harus menetes."

Suara pria itu bergema. Setiap kata adalah palu yang menghantam hati mereka.

"Hukuman ini bukan kehendak kami, melainkan kewajiban. Dalam setiap kejahatan ada akibat. Dalam setiap pelanggaran, ada ganjaran. Hari ini akan menjadi peringatan abadi: tidak ada ambisi yang lebih besar dari kebenaran, dan tidak ada kekuatan yang lebih berharga dari kesetiaan pada hukum."

Kerumunan terdiam. Hanya isak tangis yang tersisa di udara.

Di atas panggung, seorang pemuda berdiri. Tubuhnya lemah, luka-luka menggores lengan dan wajahnya — bekas longsor yang ia selamatkan nyawanya untuk menyelamatkan yang lain. Namun, di balik kelelahan itu, ia tersenyum. Tangan pemuda itu terikat di belakang, tapi matanya masih menyala.

"Semoga jiwa yang akan pergi menemukan jalan terang dalam kegelapan. Dan semoga perbuatannya menjadi pelajaran yang abadi bagi kita semua."

Pria di atas panggung menutup pidatonya dengan suara berat.

"Kepada Anda yang melanggar, kami ucapkan: semoga kedamaian mengiringi langkah akhir Anda, meski dunia telah menutup pintunya."

Pemuda itu mengangkat wajahnya, suaranya bergetar namun tegar:

"Aku cuma ingin menyelamatkan mereka… tolong jaga Ibu dan adik-adikku."

Seorang wanita berteriak di tengah kerumunan. Tangisannya pecah, gemetar dan parau.

"Kalian tidak punya hati! Dia bukan penjahat, dia hanya ingin melindungi desa ini!"

Ia mencoba menerobos ke panggung, tapi prajurit menahannya. Wanita itu meronta, air matanya bercucuran. Suaranya adalah luka yang terbuka di malam yang sudah berdarah.

Lalu seorang pemuda lain melangkah dari kerumunan. Suaranya meledak:

"Hei, kalian tidak lebih baik dari yang kalian hukum! Kalian tahu apa itu keadilan?!"

Ia berusaha maju, namun tubuhnya didorong mundur.

"Kalau kalian berani gantung dia, hukum kami juga!"

Kerumunan mulai bergejolak. Amarah yang ditahan selama ini meledak. Warga bergerak maju, suara mereka menyatu jadi gelombang yang melawan prajurit Aliansi.

Solor berdiri di sisi kerumunan. Dadanya terasa semakin berat. Di atas panggung, pemuda itu dipandu menuju tiang gantungan.

Seorang lelaki tua, berjalan tertatih menghampiri Solor, suaranya lirih namun penuh luka:

"Dia lebih baik daripada semua dari kita... Tapi hukum Aliansi lebih kuat dari keadilan."

Tanpa perlawanan, tali melingkar di leher pemuda itu.

Sekejap...

Tubuhnya tergantung, bergoyang pelan di tengah angin malam.

Tangisan memecah udara. Jeritan wanita dan pemuda tadi menyatu dengan riuh amarah dan ketidakberdayaan.

Di langit, awan terus bergerak lambat, menutup bulan.

Malam terasa semakin gelap. Dan Solor tahu, dunia Chandraklana tak akan pernah sama lagi.

—-----------

Solor berdiri kaku, matanya terpaku pada tubuh yang tergantung itu. Di dalam hatinya, berbagai pertanyaan dan dugaan saling bertabrakan. 

Solor masih berdiri di tempatnya, tubuhnya terasa seberat batu. Matahari malam bersembunyi di balik awan kelabu, seolah ikut menolak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Tubuh pemuda itu tergantung diam, berayun pelan di tengah cahaya obor yang bergetar tertiup angin. Jeritan dan tangisan perlahan mereda, berganti dengan keheningan yang lebih menyesakkan. Suara api dari obor yang berderak kecil terasa lebih nyaring daripada bisikan orang-orang yang mulai menjauh.

Di hatinya, Solor merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan — bukan hanya marah atau sedih, tapi semacam kekosongan yang pahit. Cahaya Sakadian kini telah padam, namun bayangan kilatannya masih terbayang di pelupuk mata. Kata-kata lelaki tua tadi terus bergema di benaknya. "Dia lebih baik daripada semua dari kita... Tapi hukum Aliansi lebih kuat dari keadilan."

Solor memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ada suara di hatinya yang berbisik pelan namun tajam:

"Kalau hukum lebih kuat dari keadilan… lalu untuk apa kita hidup dan berjuang?"

Saat membuka matanya kembali, tatapan Solor berbeda. Dingin. Tajam. Seperti bara api yang menyala diam-diam di balik abu. Di kejauhan, ia melihat para prajurit Aliansi berbaris kembali ke pos mereka, kepala mereka tegak, tapi sorot mata sebagian dari mereka tampak gelisah.

Solor tahu, malam ini bukan hanya menandai kematian seorang pemuda. Malam ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Dan ia merasa, entah bagaimana, dirinya akan terlibat lebih dalam dari yang seharusnya.

More Chapters