Kabut tipis bergelayut di atas desa, menyelimuti puing-puing bangunan yang remuk seperti kain abu-abu kusam. Langit mendung menggantung rendah, seolah menahan hujan yang ragu-ragu untuk turun. Udara terasa berat dan lembap, membawa aroma tanah basah bercampur abu. Seakan-akan alam sendiri sedang menahan tangis.
Solor melangkah perlahan, nyaris tanpa suara. Wus Wus mengikutinya dengan langkah tenang, tapak kakinya berdecak pelan di tanah berlumpur. Nafas Solor berembus pelan, hangatnya membaur dengan kabut. Dia tak menoleh lagi ke belakang.
Bayangan pemuda itu masih jelas di benaknya. Tatapan lelah tapi tanpa penyesalan, senyum samar yang terasa lebih menyakitkan dari cemoohan. Tangisan sang ibu juga masih menggema di telinganya, meski dunia di sekelilingnya kini tenggelam dalam kesunyian.
"Maaf…" bisik Solor lirih, suaranya nyaris hilang dalam kabut. Entah pada siapa kata itu ditujukan. Pada pemuda itu? Ibunya? Atau pada dirinya sendiri?
Hukum tetap hukum. Itu yang selalu ia yakini. Hukum Aliansi telah berdiri ribuan tahun, lebih tua dari penderitaan siapa pun. Ia tahu, meski hatinya berontak, tak ada yang berhak menentangnya. Termasuk dirinya.
Tapi kenapa rasa bersalah ini menolak pergi?
Wus Wus mendengus pelan, embusan napasnya beruap di udara dingin. Seolah ia pun merasakan kegelisahan tuannya. Solor mengusap leher kuda setianya dengan lembut.
Perjalanan ke Warung dan Pondok Kecot terasa lebih panjang dari biasanya. Kabut yang kian menebal membuat jalan setapak di depannya samar, tapi Solor terus melangkah. Dia harus bertemu seseorang — bukan sekadar teman, tapi orang yang bisa dia percayai. Seseorang yang tak akan memandangnya sebagai pahlawan gagal atau pengkhianat.
—-------------
Di bawah naungan dahan-dahan pohon raksasa yang tertutup lumut lembap, dunia terasa membeku dalam hening. Dari balik kelabu yang pekat, secercah cahaya temaram merayap di kejauhan, menyelinap di antara celah, tebing batu putih yang gagah namun bisu.
Perlahan, kabut yang membungkus hutan mulai menyingkap pemandangan di depannya — dataran luas terhampar bagaikan lautan rumput yang bergoyang pelan, diterpa angin dingin yang berbisik lirih. Di tengah bentangan hijau itu, sebuah batu tebing menjulang tinggi yang sendiri, berdiri angkuh di kesunyian, seolah menantang langit yang mendung.
Di puncak tebing itu, samar-samar terlihat cangkang keong keemasan lancip menusuk langit. Cahaya redupnya berkedip hangat, melawan kabut yang terus bergulung. Seperti lentera kecil yang menolak padam.
Cahaya itu tampak rapuh, tapi cukup untuk memandu langkah Solor yang goyah. Meski dadanya masih sesak, setidaknya kini ia punya tempat untuk dituju.Hanya saja… apakah tempat itu akan memberi jawaban, atau justru menambah beban baru?