Langkah Solor terasa berat saat ia melangkah masuk ke dalam Warung dan Pondok Kecot. Aroma parem bercampur bau kayu bakar berputar putar diatas ruangan seperti kubah ini, hangat dan menenangkan, meski udara di dalam terasa lebih padat oleh kerumunan.
Alunan gamelan lirih mengalun dari panggung kecil di depan jendela besar melengkung yang menghadap teras, dimainkan oleh dua pengelana yang tampak letih namun tetap khusyuk. Irama yang syahdu bercampur riuh suara obrolan, tawa lepas, dan derit kursi yang bergeser. Suara-suara itu berbaur dengan dentang gelas dan piring dari meja besar berbentuk U di tengah ruangan dan meja mejai bundar yang tersebar di penjuru ruangan.
Beberapa orang tampak dibopong turun dari tangga melingkar, wajah mereka lusuh dan kehabisan tenaga, seperti baru saja menempuh perjalanan berat. Peluh membasahi baju mereka, sementara teman-temannya membopong dengan napas terengah.
Di sudut lain, sekumpulan pengelana duduk di meja melingkar, berbincang seru sambil menunjuk-nunjuk peta usang yang terbentang di meja. Di sebelah mereka, sekelompok saudagar dengan pakaian mewah dari kain tenun warna terang tertawa lebar sambil menunjukkan kantong-kantong berisi biji-bijian dan rempah yang baru mereka bawa dari pelabuhan.
Asap tipis dari dapur sesekali melayang rendah, teraduk dengan wangi wedang jahe dan tempe bacem yang baru diangkat. Pelayan berlalu-lalang, susah payah menyelip di antara kerumunan. Alindir tampak di belakang meja besar, cekatan mengaduk mangkuk besar sambil sesekali memanggil nama pemesan.
Lampu ublik berukir keong yang menggantung di balok langit-langit berayun pelan, diterpa angin dari jendela bundar. Cahayanya berpendar, menari di antara asap tipis dan bayangan tubuh yang berseliweran, memberi kesan ruangan seperti hidup — bergerak sendiri mengikuti riuh para tamu.
Di pojok dekat pintu, seorang pedagang tua menjajakan hiasan hiasan dan manik-manik kecil. Suaranya yang serak bersaing dengan hiruk pikuk, menawarkan dagangannya kepada setiap pengunjung yang lewat.
Solor melangkah lebih dalam, pandangannya menelisik, mencari celah di antara lautan manusia. Ia akhirnya menemukan bangku kayu bundar di dekat jendela.
Cahaya mentari sore masuk tipis-tipis, memantulkan kilau samar di rompinya yang bergaris keemasan yang sedikit kotor dan beberapa sobekan. Ia menghela napas, menurunkan kuncir rambutnya, membiarkan angin sejuk dari celah jendela menyapu peluh di tengkuknya.
Di tengah keramaian itu, Solor terasa seperti bayangan yang luput dari perhatian. Namun, ia tak keberatan. Untuk saat ini, ia hanya ingin duduk dan mengumpulkan pikirannya yang berat, meski di sekelilingnya dunia terus berputar tanpa henti.
"Kau dengar soal Tiang Cahaya tadi malam? Katanya langit di atas Desa Ngrawa terbelah cahaya putih yang menjulang… "
" Iya saya melihatnya dari jauh, Cahaya itu sangat menajubkan.."
"Akibat tanah longsor menelan setengah desa. Ada yang bilang itu ulah Lingkaran Kegelapan!" bisik seorang lelaki agak tua dengan suara parau.
"Lingkaran misteri itu? Ah, sudah seribu tahun lebih itu cuma legenda!" sahut seorang pemuda di meja sebelahnya.
"Legenda? Kau pikir longsor itu kebetulan? Aku dengar dari saudara di sana, orang-orang yang selamat katanya melihat sosok tinggi berselubung asap hitam di puncak bukit! Kau mau bilang itu juga kebetulan?"
Suara mereka merendah, seolah takut dinding warung bisa menguping.
"Aku juga dengar…" seorang lelaki lain menimpali pelan. "Ada yang bilang itu bukan kutukan, tapi tanda... tanda kalau Lingkaran Kegelapan bangkit lagi."
Solor membuka matanya lebih lebar sambil merundukan kepala tetapi kata kata percakapannya masih mudah terdengar melintas ditelinga. Sakadian. Kata itu terasa menyedihkan tapi sekaligus mengusik hatinya.
Di sudut lain warung, meja yang lebih ramai terdengar membahas hal lain.
"Kalian dengar hadiah Sayembara kali ini? Katanya Akik Kumenteng — cincin pusaka dari zaman Raja Gumandhar — bakal jadi hadiah utama!"
" Heii..Akik Kumenteng itu milik Wandarimo! bukan Raja Alingkukoh!!"
" Iya..Sebelumnya itu dari Lawas kemudian di turunkan kepada Raja Gumandhar.., aku tahu sejarahnya!"
Lainnya menjawab "Ah, pusaka? Bukannya Aliansi melarang semua pusaka? Kalau memang itu cincin dari Lingkaran Kegelapan, bisa-bisa yang menang sayembara langsung dihukum pancung!"
"Tapi ada yang bilang bukan pusaka kegelapan! Katanya cuma cincin pelindung, bukan pembawa kutukan. Lagipula, siapa peduli? Cincin itu bisa melemahkan, katanya cuma butuh satu angkatan setelah pakai cincin itu bisa meringankan batu gunung terkuat sekalipun. Bayangkan, cuma satu angkatan!"
"Heh, kalau benar cincin itu dari Lingkaran kegelapan? Bagaimana kalau itu benda dari ramalan Malapetaka Penutup?"
Bisik-bisik berubah tegang. Beberapa orang melirik ke kanan dan kiri, seolah takut ada telinga yang salah mendengar.
Solor merasakan kerongkongannya mengering. Nama Akik Kumenteng kembali terngiang di benaknya, menggema seperti gema langkah di lorong gelap. Entah kenapa, dadanya terasa berat, seolah firasat buruk merayap tanpa diundang. Sorot matanya perlahan mengamati setiap wajah yang membicarakan cincin itu — penuh rasa ingin tahu, waspada, tapi tetap berusaha tak menarik perhatian. Ia menahan diri agar tatapannya tak bertemu langsung dengan siapa pun.
Di sekelilingnya, warung yang ramai penuh sesak pengunjung seakan-akan tambah menyempit, semakin padat. Suara percakapan terdengar lebih tajam di telinganya, bisik-bisik tentang kutukan, pusaka terlarang, dan malapetaka penutup saling bertindihan. Solor menghela napas pelan, tapi kegelisahan itu tak kunjung reda. Dalam hatinya, ia tahu... Akik Kumenteng bukan sekadar isu. Ini lebih dari sekadar hadiah sayembara — sesuatu yang lebih gelap sedang bergerak di balik kabar burung ini.
Di sekelilingnya, warung tetap riuh rendah, tetapi kini obrolan yang terdengar terasa lebih berat — seolah setiap kata yang diucapkan bisa berarti hidup atau mati.
"Kalau memang hadiah kali ini cincin pusaka, apa yang sebenarnya sedang direncanakan Aliansi?" bisik seseorang di sudut ruangan.
Solor diam. Kepalanya tertunduk, tapi pikirannya melaju jauh. Ia bertanya-tanya hal yang sama