Langit menggantung kelabu, mendung menutup cahaya mentari yang seharusnya menghangatkan siang. Di tengah hamparan savana yang luas, rerumputan bergoyang pelan, seperti lautan hijau yang berdesir diterpa angin. Solor, duduk di atas punggung Wus Wus, kudanya yang setia. Kuda pendek itu berlari dengan gigih, kaki-kakinya seperti menari di antara gelombang rumput yang menjulang hingga pinggang.
Nafas Solor seirama dengan langkah kudanya, dadanya naik turun perlahan. Pandangannya menatap ke depan, jauh ke kejauhan. Di sana, di ujung savana, menjulang sebuah tebing batu besar berbentuk lonjong tegak lurus, seperti pilar raksasa yang menyanggah langit. Di atas tebing itu berdiri sebuah bangunan yang aneh — berbentuk keong besar berwarna kuning pucat, mengerucut tinggi hingga ujungnya nyaris menusuk langit.
"Sebentar lagi, Wus Wus. Kita hampir sampai," bisik Solor sambil menepuk lembut leher kudanya.
Seolah memahami, Wus Wus melaju lebih cepat. Langkah kakinya semakin mantap menembus gelombang rumput yang kian tinggi. Setiap jejak kuda menciptakan pusaran kecil di lautan hijau, seakan mereka berdua tengah berenang di atas gelombang yang bergulung pelan. Angin bertiup menyapu wajah Solor, mengibarkan rambutnya yang dikuncir kuncung ke atas, sementara rompi hitamnya yang sobek dengan garis keemasan di pinggir berkilau samar terkena sinar mentari yang mulai menembus mendung.
Perlahan, awan-awan kelabu mulai tersibak. Sinar mentari menyelinap di sela-sela mendung yang surut, menyiram cahaya hangat ke savana. Rumput yang semula kusam kini memantulkan warna hijau keemasan. Solor menyipitkan mata, menatap ke depan dengan perasaan aneh yang mulai bangkit di dadanya — harapan.
Bangunan keong di atas tebing kini terlihat jelas. Permukaannya mengilap diterpa sinar mentari, seolah bangunan itu sendiri menyambut Solor dengan cahaya baru. Hatinya bergetar.
Ia mengangkat kepalanya, matanya menangkap tali-tali yang tersebar menggelantung dari daratan hingga ke puncak bangunan keong. Tali-tali itu menjuntai kuat, seperti urat-urat raksasa yang menghubungkan dunia bawah dengan tempat misterius di atas sana. Sepanjang tali, berderet lampu-lampu ublik kecil yang berayun pelan tertiup angin, memancarkan cahaya keemasan yang berpendar lembut di bawah sinar matahari. Cahaya itu memberi kesan magis, seakan menyelimuti tempat itu dengan aura kehangatan yang tak terjelaskan.
Jendela-jendela bundar yang melingkari bangunan keong tampak mencembung, kaca-kacanya menangkap dan memantulkan cahaya matahari yang semakin naik menuju puncak langit. Sekilas, pantulan itu berkilauan seperti riak air yang menari di permukaan danau. Seiring waktu, sinarnya semakin menyilaukan, memantul ke rerumputan savana dan menciptakan semburat keemasan yang menjalar ke sekeliling.
Di beberapa bagian bangunan keong itu, kain-kain berwarna marun kemerahan terpasang secara abstrak, sebagian diikat melilit pada cangkangnya yang mengilap, sebagian lainnya dibiarkan menjuntai sebagai tenda-tenda teduh yang mengelilingi area tersebut. Kain-kain itu berkibar pelan diterpa angin, seolah menjadi lapisan pelindung bagi bangunan unik yang berdiri megah di puncak tebing.
Solor menyapu pandangannya ke seluruh area. Kesan seolah bangunan ini menyatu dengan alam, menyerupai bentuk alami yang telah tumbuh dan berkembang. Tempat ini bukan sekadar bangunan asing yang berdiri sendiri—ada kehidupan yang tersembunyi di baliknya. Ia bisa merasakan denyut keberadaan sesuatu, entah apa, yang menanti di sana.