Cherreads

Chapter 20 - Papan Pengumuman

Suasana di depan warung terasa syahdu, dibalut semilir angin yang membawa aroma parem, hangat dan menenangkan. Beberapa pengelana berlalu lalang, sebagian pedagang sibuk menata dagangannya dengan suara sayup yang bercampur dengan alunan gamelan lirih dari dalam warung berirama lembut yang seolah menyatu dengan udara.

Solor melangkah perlahan. Pandangannya tertuju pada teras bangunan di depannya, seolah bangunan itu bukan sekadar buatan manusia, melainkan bagian dari alam yang tumbuh bersamanya. Atap warung melengkung anggun, berwarna kuning keemasan yang berkilauan lembut saat disentuh sinar mentari senja. Lengkungan itu mengalir indah, menyatu dengan puncak bangunan berbentuk cangkang keong raksasa — menjulang kokoh bagaikan penjaga abadi yang mengawasi sunyi dari ketinggian tebing. 

Ia melangkah menaiki tangga rendah dari batu putih yang membentang sepanjang beranda. Pegangan pagar di setiap sisinya melengkung naik, berkelok seperti spiral yang dihiasi pot-pot tanah liat berisi tanaman rendah berdaun lebar. Daunnya hijau segar, kontras dengan warna tembikar yang coklat kemerahan.

Sendal Solor menyentuh karpet lusuh yang melapisi anak tangga hingga teras. Serat-serat tua karpet terasa kasar di telapak kakinya. Matanya terpaku pada papan pengumuman di tengah teras yang tingginya tak sampai menutupi jendela melingkar di belakangnya, kayunya tua, namun kokoh, dihiasi ukiran lilitan daun berpilin dan ornamen keong di setiap sudut. Ia menatap papan pengumuman itu semakin mendekat. Poster dan selebaran menempel di sana, berlapis-lapis, ada yang baru, ada pula yang warnanya sudah pudar.

Namun, satu lembar poster di bawah wadah lilin yang berjelaga menarik perhatiannya. Tulisannya menggunakan aksara Jawa, terukir rapi dan mencolok di tengah keramaian kertas lain:

Huruf aksara Jawa tertera jelas dan rapi:

"NGALAM SURO: Bulan Pengelanaan Telah Tiba!

Siapapun yang berani menempuh perjalanan melatih diri dan jiwanya selama bulan ini diyakini akan dianugerahi kekuatan yang membawa mereka pada kemenangan di Sayembara Tujuh Tahunan nanti."

Solor mengulang bacaan itu dalam hati. Dadanya terasa sesak. Ngalam Suro... tradisi lama yang selalu ditunggu para pengelana. Dahulu, ia juga pernah percaya bahwa bulan ini membawa berkah bagi mereka yang berani melangkah. Tapi setelah semua yang ia lalui, setelah kegagalan yang membekas, ia tak tahu apakah itu masih benar... atau hanya harapan kosong yang diciptakan agar mereka yang kalah tetap berjalan.

Ngalam Suro selalu menjadi tahun yang ditunggu tunggu bagi para pengelana — dalam bulan bulan itu di mana mereka yang berani melangkah diyakini akan menerima berkah yang menguatkan jiwa dan raga.

Namun kini, keyakinan itu terasa jauh. Setelah bertahun-tahun mengejar bayangan ramalan yang tak kunjung terwujud, harapan yang dulu membara kini hanya terasa seperti bara dingin di hatinya. Apakah perjalanan kali ini akan berbeda?

Solor menarik napas panjang. Pandangannya beralih ke pintu warung yang terbuka sedikit, membiarkan cahaya temaram merembes keluar. Gamelan lirih terdengar semakin jelas, berpadu dengan bau masakan yang khas samar-samar melayang di udara.

Tanpa ragu lagi, Solor melangkah. Tangannya mendorong pintu perlahan. Daun pintu berderit halus, menyambut kedatangannya seperti sahabat lama.

Di balik pintu, kehangatan warung menyelimuti tubuhnya. Dan entah mengapa, meski hatinya masih dipenuhi keraguan, seberkas harapan kecil itu kembali menyala.

More Chapters