"Batas yang Harus Dijaga"
Hari-hari berjalan seperti matahari yang malu-malu muncul di balik awan.
Di pesantren milik Fathan, Arkha mulai hadir lebih sering — mengisi ceramah, membantu membina santri, bahkan sesekali bertukar gagasan tentang pengembangan kurikulum keislaman.
Di luar mata banyak orang,
ada seutas benang tipis yang perlahan meregang —
menghubungkan dua hati yang dulu pernah saling mencari, kini bertemu kembali dalam keadaan serba salah.
Aku dan Arkha menjaga adab.
Senyum kami terbatas.
Kata-kata kami berhati-hati.
Namun dalam diam, ada riuh kecil yang menggerogoti keteguhan.
Malam-malam terasa lebih panjang.
Di layar ponsel, obrolan kecil sering mengalir —
tentang kitab kuning yang akan diajarkan,
tentang kisah para wali,
tentang visi besar membangun generasi.
Namun perlahan, kata-kata itu mulai melenceng.
Bukan pada isi,
tetapi pada rasa.
Ada tanya-tanya kecil yang terucap:
"Apakah kamu pernah merindukan masa lalu itu?"
"Apakah kau pernah membayangkan bagaimana kalau dulu kita diberi jalan berbeda?"
Pertanyaan-pertanyaan sederhana,
namun cukup untuk meretakkan benteng kesetiaan jika dibiarkan tumbuh.
Aku membaca pesan-pesan itu dengan jantung berdegup tak karuan.
Sekali, dua kali, aku membalas dengan kaku, berusaha tetap menjaga batas.
Namun aku tahu, jika terus dibiarkan, kami bisa tergelincir dalam dosa tanpa suara.
Malam itu,
di bawah langit yang penuh bintang, aku berdoa lebih lama dari biasanya.
"Ya Allah, peganglah hatiku... sebelum aku mengkhianati janji suci yang telah Kau saksi."
Esoknya, aku mengirim pesan terakhir kepada Arkha:
"Maafkan aku. Kita sudah berada dalam dunia yang berbeda.
Tali ukhuwah ini tetap kita jaga... tapi biarlah cinta yang tak pernah halal itu kita kuburkan dalam-dalam.
Demi Dia yang telah menitipkan janji dalam akad yang suci."
Tak ada balasan dari Arkha malam itu.
Hanya kesunyian yang terasa menggema di dada.
Tapi aku tahu, dalam sunyi itu, ada kesepakatan yang lebih mulia daripada seribu kata:
bahwa cinta yang sejati bukan hanya tentang memiliki,
tetapi tentang menjaga —
menjaga hati, menjaga iman, menjaga janji.
Dan aku memilih menjaga.
Biar cinta itu bersemayam,
bukan di dada manusia,
tetapi di bawah ridha Tuhan,
yang lebih tahu mana cinta yang harus diperjuangkan,
dan mana yang harus dilepaskan untuk menuju surga.