Cherreads

Chapter 17 - BAB 16

Bab 16

"Petunjuk dari Langit, Cobaan dari Bumi"

Malam-malam istikharah yang panjang itu akhirnya berbuah ketenangan.

Seperti embun yang turun perlahan,

Allah hadirkan jawabannya di hati Naya —

sebuah ketetapan tanpa kegelisahan,

sebuah pilihan yang terasa ringan walau berat dalam pandangan manusia.

Ia memutuskan untuk menerima.

Bukan karena lemah,

bukan pula karena cinta dunia,

tetapi karena keyakinan bahwa setiap ketetapan yang disandarkan kepada-Nya,

pasti mengandung kebaikan yang tersembunyi.

Namun, manusia...

tak semuanya mengerti bahasa langit.

Rumor itu mulai berhembus.

Seperti asap tipis yang lama-lama menjadi api kecil,

membakar kepercayaan orang-orang.

"Ah, Naya itu... katanya sudah dekat dari dulu dengan Ustadz Arkha..."

"Benarkah? Bukankah dia baru saja ditinggal mati suaminya?"

"Jangan-jangan... selama ini mereka memang sudah ada apa-apa."

Bisikan-bisikan itu menyusup ke lorong-lorong pesantren,

mengendap di antara dinding kelas,

melayang-layang di sela doa para santri.

Ustadz-ustadz pun mulai berbincang,

sebagian dengan nada prihatin, sebagian dengan nada mencela.

Padahal, tak ada satupun dari mereka yang tahu sumbernya.

Naya mendengar semua itu.

Awalnya hanya sepenggal, lalu semakin nyata.

Setiap langkahnya di halaman pesantren,

seolah dipenuhi mata-mata yang menghakimi.

Tapi Naya...

hanya tersenyum lirih.

Dalam hatinya, ia berbisik:

> "Ya Allah, Engkau saksiku...

di jalan ini aku melangkah bukan untuk mempermalukan namaku,

bukan pula untuk mencari pujian manusia.

Aku melangkah semata-mata karena ingin menjagamu di atas bumi ini,

karena ingin menjaga sunnah-Mu dalam cinta yang halal,

karena ingin beribadah melalui jalan yang tak semua orang berani tempuh."

Fitnah itu terasa pedih,

lebih pedih daripada luka fisik.

Tapi Naya belajar dari keteguhan para wanita shalihah sebelum dirinya —

Asiyah, Maryam, Khadijah, Fatimah —

semuanya pernah diuji dengan fitnah dan kesendirian,

namun tetap mulia di sisi Tuhannya.

Di dalam keheningan kamarnya,

Naya menatap langit-langit, lalu berbisik:

> "Biarlah dunia bersuara,

asalkan langit membungkamnya dengan ridha-Mu."

Dan di antara malam-malam panjangnya,

Naya terus menguatkan hatinya:

bahwa di balik badai fitnah ini,

akan lahir pelangi yang tak bisa dilihat oleh mata manusia,

hanya bisa dirasakan oleh hati yang tetap bersandar pada Allah.

---

More Chapters