Bab 15
"Istikharah di Malam Penuh Doa"
Malam turun perlahan,
seperti tirai tipis yang menutupi wajah bumi.
Bintang-bintang bertaburan malu-malu di langit,
dan di sudut kecil kamarnya,
Naya sujud panjang,
mencari jawaban dari Pemilik Hati.
Di hadapannya terbentang tiga jalan,
semuanya membawanya pada muara takdir yang berbeda.
Menjadi istri sahabat Arkha,
yang mungkin menawarkan perlindungan namun belum tentu kebahagiaan?
Menjadi istri kedua Arkha,
membagi cinta, menahan cemburu,
menguji kesetiaan dan kesabaran di setiap hela nafasnya?
Atau tetap teguh,
berjalan sendiri dalam kenangan,
mengharap kelak menjadi ratu bidadari Fathan,
suami yang telah mendahuluinya,
menunggu di taman-taman abadi?
Naya berwudhu,
air mengalir membasuh wajah, tangan, kening, kaki —
membersihkan tidak hanya debu dunia,
tetapi juga gelisah yang menyesaki dada.
Dia berdiri dalam sunyi malam,
mengangkat tangan,
dan dengan suara yang bergetar, berdoa:
> "Ya Allah...
Tuhan yang membolak-balikkan hati manusia...
Jika jalan ini membawa aku pada ridha-Mu,
kuatkanlah kakiku untuk melangkah.
Jika pilihan ini lebih dekat pada murka-Mu,
patahkanlah aku sebelum aku sampai.
Ya Rabb,
Engkau yang menggenggam semua rahasia,
Engkau yang tahu, di balik keteguhan ini, ada hati yang rapuh,
ada luka yang sembunyi dalam tawa,
ada cinta yang masih mencari dermaga pulang.
Ia terisak, namun melanjutkan:
> "Jika menikah kembali menjadi jalan untuk meraih surga,
lapangkan dadaku, hilangkan semua keraguan.
Jika setiaku pada yang telah tiada lebih mulia di sisi-Mu,
kokohkan aku dalam kesendirian ini,
hingga kelak Engkau satukan kami di taman keabadian,
di bawah naungan cahaya-Mu."
Air mata mengalir membasahi sajadah.
Setiap tetesnya membawa rasa pasrah,
membawa luka yang dikembalikan kepada Tangan yang Maha Menyembuhkan.
Dalam sujud panjangnya,
Naya menyerahkan seluruh dirinya —
tidak lagi sebagai wanita yang memilih karena dunia,
tetapi sebagai hamba kecil yang tunduk,
yang hanya ingin apa yang Allah pilihkan,
bukan apa yang diinginkan oleh hatinya yang lemah.
Dan di tengah malam itu,
ketika semua manusia lain terlelap,
hanya ada ia dan Rabbnya berbicara,
tanpa kata, tanpa suara,
hanya dengan air mata yang menjadi saksi:
bahwa cinta sejati adalah mencintai Allah lebih dari mencintai dunia.
---