Cherreads

Chapter 4 - Core

Waktu berlalu dengan cepat. Drevyn kini berusia lima tahun—anak kecil yang cerdas, ceria, dan selalu haus akan pengetahuan. Hari ini adalah hari yang ia nantikan selama berminggu-minggu. Hari ketika ia akan mengetahui kekuatan yang dianugerahkan kepadanya oleh para dewa.

Pagi itu, matahari bersinar hangat di atas desa. Burung-burung berkicau, dan angin berhembus lembut membawa aroma rerumputan segar. Drevyn melangkah keluar rumah sambil melompat-lompat kecil, tangannya menggenggam jari ibunya, Elena. Di sebelahnya, sang ayah, Gerald Ashkar, berjalan dengan tangan di belakang, sesekali tersenyum melihat tingkah anaknya yang menggemaskan.

"Tenang, Sayang. Jangan terlalu bersemangat, nanti kamu capek duluan," ujar Elena sambil terkekeh.

"Tapi aku mau tahu sekarang kekuatanku, Ma!" balas Drevyn dengan mata berbinar. "Kira-kira aku bisa mengeluarkan api? Atau punya sihir angin?"

Gerald tertawa pelan. "Apa pun itu, Ayah yakin kekuatanmu akan luar biasa."

Perjalanan mereka tidak terlalu jauh. Bangunan ordo itu berdiri megah di ujung desa—bangunan batu tua dengan dinding dipenuhi sulur tanaman merambat, dan jendela kaca patri yang berkilau dalam cahaya pagi. Di depan pintu besar yang diukir simbol-simbol suci, Drevyn berhenti, menatap penuh takjub.

"Wow…"

Saat pintu dibuka, udara dingin menyambut mereka. Ruangan dalamnya luas dan sunyi, diterangi cahaya dari obor-obor yang menyala tenang di dinding. Patung-patung dewa berdiri megah di sekeliling ruangan, masing-masing memancarkan wibawa dan ketenangan. Di tengah ruangan itu, sebuah altar batu berdiri kokoh, dan di atasnya tertanam kristal bening seukuran kepala manusia.

Seorang lelaki tua dengan jubah putih berlapis emas melangkah menghampiri mereka. Matanya tajam namun lembut, dan janggut peraknya tergerai rapi di dada.

"Aku adalah Cardinal Veylor Zecht. Kalian datang untuk menjalani Uji Berkah?" tanyanya.

Gerald mengangguk sambil mendorong lembut punggung Drevyn ke depan. "Ini putra kami, Drevyn Ashkar."

Cardinal mengangguk, lalu menuntun Drevyn ke altar. "Berdirilah di sini, Nak. Tutup matamu. Biarkan dirimu menyatu dengan cahaya di sekelilingmu."

Drevyn mengikuti arahan dengan taat. Ketika Cardinal mulai membacakan mantra dalam bahasa kuno, suasana ruangan berubah. Udara menjadi berat, dan cahaya obor bergetar pelan. Drevyn merasakan tubuhnya hangat, lalu ringan… dan gelap.

Dalam kegelapan itu, muncul cahaya terang—terlalu terang hingga menyilaukan. Sosok samar muncul di dalam cahaya itu, tinggi dan agung. Tapi sebelum Drevyn bisa melihat lebih jelas, sosok itu ditelan bayangan gelap yang muncul dari segala arah.

"Eh…?" gumamnya pelan. Tapi sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, ia kembali sadar.

Di luar, kristal altar menyala terang—warna merah tua yang menyala kuat, tapi anehnya dikelilingi semburat kehitaman yang berdenyut lembut seperti napas. Semua orang di ruangan itu menahan napas.

"Special Core…" bisik salah satu pendeta yang berdiri tak jauh dari sana.

Cardinal Veylor menunduk sejenak, matanya menyipit menatap kristal itu. Ia lalu memanggil salah satu bawahannya dan membisikkan sesuatu di telinganya. Sang pembantu mengangguk cepat lalu segera pergi meninggalkan ruangan.

Gerald dan Elena saling pandang, lalu menoleh ke arah Cardinal yang kembali berdiri tegak. "Ritual telah selesai. Kalian bisa pulang sekarang," ucapnya dengan senyum samar.

Gerald membungkuk hormat. "Terima kasih, Cardinal."

Saat mereka berjalan pulang, Elena terus menggenggam tangan kecil Drevyn, tak bisa menyembunyikan senyum harunya.

"Kau luar biasa, Sayang. Special Core… itu sangat langka," katanya lembut.

"Ayah juga bangga padamu," tambah Gerald sambil mengusap kepala anaknya.

Namun Drevyn berjalan sedikit lebih pelan dari biasanya. Ia masih memikirkan sosok cahaya dan bayangan tadi… dan juga, kenapa Cardinal membisikkan sesuatu dengan wajah serius. Perasaan aneh menyelinap di dadanya—campuran penasaran, sedikit takut, dan juga rasa bahwa sesuatu yang lebih besar sedang menantinya di masa depan.

Namun saat ia melihat senyum hangat ibunya, semua itu sedikit memudar.

Untuk saat ini… ia masih seorang anak kecil. Dan dunia, seberapa pun luas dan gelapnya nanti, masih bisa ditatap dari pelukan keluarga.

Keesokan harinya, langit masih gelap ketika embun belum sempat menguap dari rerumputan. Angin berhembus pelan, membawa aroma pagi yang segar.

Di halaman belakang rumah keluarga Ashkar, sesosok kecil tengah berdiri tegap, memegang sebatang kayu lurus yang sudah ia bentuk sendiri menyerupai pedang. Drevyn berdiri diam sejenak, menenangkan napasnya… lalu mulai bergerak.

Tangannya mengayun perlahan—gerakan yang teratur, indah, dan penuh keseimbangan. Ia melangkah ringan ke depan, lalu mengayun ke samping, menekuk lutut dan kembali berdiri lurus. Gerakannya terlihat seperti tarian, tapi dalam tiap ayunan terdapat kekuatan dan keteguhan.

Meskipun usianya baru lima tahun, dalam pandangan sekilas ia tampak seperti seorang pendekar muda yang tengah menapaki jalan panjang seorang pejuang.

Di dalam rumah, Elena baru saja terbangun. Ia menguap kecil, berjalan ke dapur untuk membasuh muka dan mulai menyiapkan sarapan pagi. Saat ia melewati jendela yang menghadap ke halaman, matanya menangkap sosok kecil di luar. Ia berhenti.

Drevyn.

Anak kecil itu sedang berlatih… atau lebih tepatnya, tengah mengayunkan kayu seperti seorang pendekar sejati. Elena terdiam, terpaku. Setiap gerakan yang dilakukan Drevyn terlihat begitu alami, begitu terlatih. Tapi siapa yang mengajarinya? Di keluarga mereka tak ada yang pernah mengajarkan kendo… Gerald sendiri lebih banyak mengajarkan pertanian dan teknik kayu.

Namun yang ia lihat sekarang bukan permainan anak kecil. Itu adalah latihan.

Elena hanya bisa menatap, tak berani bersuara. Hingga akhirnya, Drevyn mulai kelelahan dan berhenti sejenak. Ia menoleh ke arah rumah… dan terkejut melihat ibunya sedang mengamati dari balik jendela.

"Ah! M-Ma…!" serunya sedikit panik. Ia buru-buru masuk ke dalam rumah, masih membawa kayu di tangannya.

"Aku… tadi cuma main, Ma. Itu bukan serius, cuma… aku pengen latihan aja. Karena aku tahu aku punya kekuatan spesial, jadi aku—"

"Drevyn."

Suara Elena memotong penjelasan panik putranya. Ia menatap lembut, lalu membungkuk sedikit dan menyentuh bahu anak itu.

"Kalau memang kamu suka… dan kamu merasa itu jalanmu, maka Ibu harap kamu jadi apa pun yang kamu inginkan. Ibu akan selalu mendukungmu."

Drevyn terdiam. Matanya sedikit membesar, lalu perlahan senyumnya merekah. Ia segera memeluk ibunya erat-erat.

"Terima kasih, Ma…"

Elena mengelus punggung anaknya dengan penuh kasih sayang, lalu berkata, "Ayo duduk. Ibu baru mau masak. Kita duduk sebentar sambil nunggu air mendidih."

Drevyn mengangguk cepat, lalu duduk di kursi kayu kecil di dekat meja makan, sambil masih memeluk kayu latihannya. Matanya bersinar penuh semangat.

Tak lama kemudian, langkah berat terdengar dari tangga kayu. Gerald turun dengan rambut masih berantakan dan mata yang belum sepenuhnya terbuka. Ia menguap sambil duduk di kursinya.

"Hm… pagi. Kok pagi-pagi kamu senyum lebar gitu, Nak?" tanyanya sambil mengusap mata.

Drevyn hanya tertawa kecil, wajahnya berseri-seri.

Gerald memiringkan kepala, bingung, tapi tidak bertanya lebih jauh. Dalam hatinya, ia tahu, mungkin hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar dalam hidup anaknya.

Dan pagi pun terus berjalan, dengan aroma masakan yang mulai mengisi rumah, suara tawa ringan, dan mimpi kecil yang perlahan tumbuh dalam diri seorang anak bernama Drevyn Ashkar.

---

Setelah sarapan pagi yang sederhana namun penuh kehangatan itu, Drevyn tidak serta-merta bermain seperti biasanya. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendesak keluar, rasa penasaran yang membara setelah kemarin mengetahui bahwa ia memiliki sesuatu yang istimewa—sebuah Special Core yang bahkan membuat Cardinal terkejut.

Drevyn membawa kembali batang kayu yang ia gunakan untuk latihan tadi pagi, tapi kali ini ia tidak berniat hanya sekadar mengayunkannya. Ia ingin membuat ulang, menyempurnakan bentuknya, menjadikannya lebih menyerupai katana sungguhan—meskipun dari kayu. Tangannya yang kecil namun cekatan mulai mengupas permukaan batang kayu, menghaluskannya perlahan dengan pisau ukir kecil milik ayahnya. Ia tahu dia harus berhati-hati. Ia tidak mau membuat ibunya khawatir, apalagi sampai melukai dirinya sendiri.

Ia duduk di bawah pohon dekat gudang kecil, tempat ayahnya biasanya memotong kayu. Cahaya matahari pagi yang lembut menyinari rambut cokelat tuanya yang mulai berkeringat. Lidah kecilnya menjulur sedikit keluar karena ia terlalu fokus. Ia mengerjakan kayu itu perlahan, mengukir bagian-bagian tipis untuk menyerupai lengkungan khas pedang katana. Meskipun belum sempurna, hasilnya mulai terlihat.

Gerald, yang saat itu hendak mengambil alat pertukangan di gudang, memperhatikan ada sosok kecil yang duduk diam sambil bekerja keras di sudut halaman. Ia menyipitkan mata, mencoba mengenali apa yang sedang dilakukan anaknya. Ketika ia melihat Drevyn sedang mengukir sesuatu dengan pisau kecil, nalurinya sebagai ayah langsung membawanya mendekat.

"Hei, Nak!—"

"AAH!"

Suara Gerald yang mendadak membuat Drevyn terlonjak kaget. Pisau kecil di tangannya hampir saja melukai jari, tapi untungnya ia segera menarik tangan.

"Maaf! Maaf!" ujar Gerald cepat-cepat sambil mendekati dan memeriksa tangan putranya. "Kamu nggak apa-apa?"

Drevyn mengerutkan kening, sedikit kesal. "Ayah! Jangan ganggu kayak gitu! Hampir aja aku kena!"

Gerald mengangkat tangan, ekspresi wajahnya sungguh-sungguh menyesal. "Iya, iya, maaf. Papa cuma kaget aja lihat kamu serius banget."

Ia lalu duduk di samping Drevyn dan mengamati benda yang sedang dikerjakan anaknya. "Kamu bikin apa sih?"

Drevyn berpikir sejenak. Ia ingin bilang bahwa ia sedang membuat pedang, tapi ia takut nanti dilarang. Akhirnya, ia menjawab singkat. "Mainan."

Gerald menaikkan satu alis. "Mainan ya? Hmm… kok mainannya mirip pedang, ya?"

Anak kecil itu menunduk sebentar, menggigit bibirnya, lalu akhirnya menjawab cepat, "Aku pengen main pedang-pedangan sama Ayah."

Gerald menatap anaknya beberapa detik, lalu tertawa pelan. Ia mengacak-acak rambut Drevyn cukup kencang, membuat rambutnya berantakan.

"Haha! Ya udah, sini, Ayah bantuin bikin. Ayah dulu juga jago bikin mainan dari kayu!"

Drevyn tersenyum lebar, senangnya bukan main. Ia berpikir bahwa ayahnya benar-benar terlalu baik… atau terlalu bodoh untuk menyadari bahwa 'mainan' itu bukan sekadar mainan baginya.

Dan di bawah sinar matahari yang hangat, dua ayah dan anak itu mulai bekerja bersama—memahat, mengukir, tertawa, dan berbagi momen yang mungkin sederhana, tapi akan jadi kenangan indah yang membekas selamanya di hati keduanya.

More Chapters