Langit musim gugur menggantung kelabu di atas kota. Udara dingin menusuk perlahan, namun tak menghentikan suara bambu saling beradu dari balik sebuah bangunan tua yang sederhana—dojo kendo di ujung jalan kecil yang hampir tak dilirik orang.
Di dalamnya, seorang anak laki-laki berdiri sendirian. Napasnya teratur, kakinya menapak ringan di atas lantai kayu, dan tangan kirinya memegang shinai—pedang bambu latihan. Namanya Kuroda Ren.
Ren bukan siswa yang menonjol. Di sekolah, dia seperti bayangan: hadir, tapi sering luput dari perhatian. Nilainya biasa saja, sikapnya tenang, bahkan cenderung dingin. Tapi di dalam dojo itu, Ren adalah dirinya sendiri. Setiap gerakan ayunan pedang, setiap hentakan kaki, seolah mengukir jejak eksistensinya yang tak bisa dia tunjukkan di tempat lain.
Dia jatuh cinta pada kendo sejak pertama kali memegang shinai di usia delapan tahun. Baginya, kendo bukan sekadar seni bertarung. Itu adalah jalan hidup. Saat teman-temannya bermain atau pulang cepat, Ren tetap di dojo, berlatih hingga senja menelan langit. Bahkan ketika hujan mengguyur kota, dia akan tetap datang, tubuhnya basah kuyup tapi matanya tetap menyala.
Namun, dedikasinya itu tak selalu mendapat balasan yang adil.
Di sekolah, Ren menjadi sasaran empuk. Bukan karena dia lemah—justru sebaliknya. Karena dia kuat dalam diam. Karena dia tak pernah ikut bergosip, tak pernah mencari perhatian, dan tak pernah menjilat guru. Tapi yang paling membuat mereka kesal, adalah rumor—bahwa seorang gadis populer di kelas diam-diam menyukai Kuroda Ren.
Rumor itu, entah benar atau tidak, menjadi awal dari segalanya.
Mereka mulai memalak. Menyembunyikan sepatunya. Menyindirnya di depan umum. Awalnya, Ren diam. Tapi suatu hari, ketika mereka mencoba mengambil dompetnya, dia melawan. Namun jumlah tak sebanding. Lima orang melawan satu.
Pukulan menghujani tubuhnya. Hidungnya berdarah, pelipisnya membiru. Dunia berputar. Tapi dia tidak menangis.
Hari berikutnya, mereka semua dipanggil ke ruang guru. Para pembully mendapat teguran ringan, dan disuruh meminta maaf. Ren hanya menunduk. Dia tidak berkata banyak. Guru menyuruh mereka berjabat tangan. Semua seolah selesai.
Tapi kenyataannya, belum.
Sore itu, Ren berjalan pulang sendirian melewati gang sempit dekat taman. Langit mulai gelap. Angin berembus membawa aroma musim gugur yang menyakitkan. Dan di sanalah mereka—lima orang itu, berdiri menunggu. Salah satunya mendekat, wajahnya penuh amarah.
"Kau pikir kau siapa, hah?" katanya.
Ren tak menjawab.
"Kau sok polos, ya? Padahal si Ayaka itu naksir kau."
Ren menatap mereka bingung. Dia bahkan hampir tak pernah bicara dengan Ayaka.
Tanpa peringatan, pukulan pertama mendarat di rahangnya.
Tubuhnya ambruk. Dunia menjadi kabur. Tapi di benaknya, dia hanya berpikir satu hal: "Kenapa?"
Ketika akhirnya dia sampai di rumah, tubuhnya babak belur. Ibunya berteriak panik, menggenggam wajah anaknya sambil menahan air mata.
"Ada apa, Ren?! Siapa yang melakukan ini?!"
Ren hanya diam. Dia melangkah ke kamarnya tanpa menjawab.
Di balik pintu, dia menangis. Bukan karena sakit, tapi karena ketidakberdayaan. Dia ingin marah. Ingin membalas. Tapi tak bisa. Dunia terlalu berat, dan dia terlalu kecil.
Malam itu, setelah berjam-jam duduk dalam diam, Ren mengenakan jaketnya dan keluar rumah.
"Jangan terlalu lama, dan hati-hati" kata ayahnya pelan dari ruang tengah. Mereka mengerti. Mungkin udara malam bisa menenangkan hati anak mereka.
Ren berjalan menyusuri trotoar kota. Lampu jalan menyala redup. Jalanan tak terlalu ramai. Dia hanya berjalan, membiarkan pikirannya kosong. Mencoba melupakan rasa sesak di dada.
Ketika lampu hijau menyala di zebra cross, Ren melangkah pelan. Tapi saat itu jugalah, dia mendengar suara.
Klakson. Teriakan. Cahaya.
Dia menoleh ke kanan—dan sekejap setelahnya, tubuhnya terlempar. Darah berceceran. Dunia terbalik.
Orang-orang berlari mendekat. Suara gemuruh panik terdengar dari segala arah. Tapi Ren tak bisa lagi mendengar jelas. Pandangannya kabur. Suara ibunya, senyum ayahnya, dan aroma dojo yang ia cintai, semua berkelebat seperti film yang diputar terlalu cepat.
"Ayah.... Ibu.... Aku minta maaf..." bisiknya, hampir tak terdengar.
Lalu semuanya menjadi gelap.
Tidak ada rasa sakit. Tidak ada suara. Hanya kehampaan.
Namun, di tengah kekosongan itu, perlahan terdengar sesuatu. Suara... samar... seperti bisikan.
"...dia selamat, kan?"
"...bernapas... tolong..."
Ren tak bisa melihat apa-apa, hanya kegelapan yang menyelimuti. Tapi suara-suara itu—meski jauh dan tak jelas—terus berdengung. Perlahan, dari kegelapan itu, sebuah cahaya kecil muncul. Cahaya itu tumbuh, seperti bintang yang menghangatkan malam kelam.
Cahaya itu perlahan menerangi pandangan Ren. Suara yang tadinya samar kini terdengar sedikit lebih jelas. Itu suara seorang pria... dan wanita. Lembut, namun tergesa-gesa. Suara wanita itu terdengar cemas tapi penuh kasih, sementara suara pria itu terdengar berat namun menggetarkan.
Ren berusaha membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat, seperti baru bangun dari tidur panjang.
Dan akhirnya—ia berhasil.
Pandangan pertamanya kabur. Tapi yang jelas, dia tidak berada di dunia yang ia kenal. Langit-langit di atasnya bukan langit-langit rumahnya. Bukan kamar rumah sakit. Ada ukiran aneh di sana, dan cahaya lilin temaram bergetar lembut. Suara jantungnya berdetak cepat.
Tiba-tiba, wajah seorang pria muncul dalam pandangannya. Mata Ren melebar.
Pria itu sangat besar. Bukan hanya tinggi, tapi juga lebar, seperti raksasa. Matanya tajam tapi tidak jahat. Ren terkejut. Ia ingin mundur, ingin mengangkat tangannya, namun... sesuatu terasa aneh.
Tangannya kecil.
Sangat kecil.
Dia menatap telapak tangannya yang mungil, gemetar. Itu bukan tangan seorang remaja. Itu... tangan bayi.
Ren panik. Jantungnya berdegup semakin kencang. Dia menoleh ke sekeliling, kebingungan, dan saat itulah dia melihat seorang wanita yang terbaring lemah di ranjang besar. Wanita itu tampak kelelahan, tapi senyumnya begitu hangat. Rambut hitam panjangnya tergerai, wajahnya pucat tapi cantik, dan yang paling mencolok adalah matanya—merah bagaikan batu rubi yang bersinar dalam cahaya lilin.
Wanita itu membuka mulutnya pelan, dengan suara sangat lembut, hampir seperti bisikan angin.
"Namamu... Drevyn Ashkar."
Ren—atau mungkin sekarang, Drevyn—memandangnya dengan bingung. Ia tak bisa berkata apa-apa, mulutnya hanya bisa mengeluarkan suara-suara kecil yang tidak jelas. Tapi di dalam kepalanya, pikirannya bergejolak.
"Apa... yang terjadi...?"
Dia berusaha merangkai pikirannya. Kecelakaan. Zebra cross. Truk. Darah. Lalu gelap.
Dan sekarang...
Dia menoleh ke tangannya lagi. Tangannya yang mungil. Suara-suara asing. Wajah-wajah yang tak dikenalnya. Nama baru.
Tiba-tiba, kenangan tentang manga yang sering ia baca terlintas di benaknya. Reinkarnasi. Dunia lain. Anak dari pasangan bangsawan atau pahlawan. Awal kehidupan baru.
"Jangan bilang... aku... bereinkarnasi?"
Kesadaran itu menghantamnya perlahan.
Dia bukan lagi Kuroda Ren.
Sekarang... dia adalah Drevyn Ashkar.
Dan dunia di sekelilingnya—bukan dunia yang ia kenal.