Cherreads

Chapter 19 - BAB II.VIII : Blame Yourself

Langkah-langkah Blaze terdengar pelan dan berat ketika ia tiba di depan pintu penginapan. Senja hampir habis, dan langit mulai menutup dirinya dengan selimut kelam. Wajahnya kusam, tubuhnya kelelahan, dan sorot matanya jauh dari semangat yang biasa terpancar. Ia mendorong pintu dengan satu tangan lemah.

"Aku kembali," gumamnya lirih.

Zai, pemilik penginapan yang sedang membersihkan meja, menoleh sambil tersenyum tipis.

"Yo, kau kembali, Blaze," sapanya ringan. Namun ia segera menyipitkan mata, memperhatikan perubahan pada tamunya itu.

"Kenapa kau terlihat tidak seperti biasanya?"

Blaze tidak menjawab langsung. Ia hanya menunduk, menghela napas pendek, lalu menggumam, "Aku tidak apa-apa."

Zai menatapnya sesaat, lalu mengangguk. "Baiklah." Ia tidak menahan lebih jauh. Ia tahu, jika Blaze ingin bicara, ia akan datang sendiri.

Di lorong menuju kamarnya, Blaze berpapasan dengan Gorgon Pvesoveus, pria jangkung dengan senyum menyebalkan yang kerap jadi bahan tawa di penginapan itu.

"Yo... Blaze! Sudah lama tidak kelihatan," serunya sambil menyenggol bahu Blaze dengan gaya khas bercandanya. "Kau sudah jadi orang kuat, atau malah jadi pecundang?"

Blaze berhenti sejenak, menunduk. Suaranya keluar lirih namun menusuk.

"Aku... adalah pecundang yang tak bisa menyelamatkan kelompokku sendiri."

Ia melangkah masuk ke kamarnya dan membanting pintu sekuat tenaga. Dinding penginapan bergetar.

Gorgon berdiri terpaku. Wajahnya kehilangan senyum. Ia tahu itu bukan lelucon biasa hari ini.

Beberapa detik berlalu sebelum ia berjalan pelan ke depan pintu kamar Blaze. Ia mengetuk lembut.

"Blaze...! Kau tidak apa-apa? Kau baik-baik saja, kan?"

Dari dalam terdengar suara Blaze, tajam dan penuh luka.

"Pergilah...! Biarkan aku sendiri! Pergi ke kamarmu dan lanjutkan kemalasanmu seperti biasa!"

Gorgon mengernyit, kesal namun juga bingung.

"Yasudah kalau begitu! Lagipula aku juga tidak peduli!" bentaknya sebelum membanting pintunya sendiri.

---

Keesokan harinya, Blaze keluar dari penginapan. Udara pagi masih segar, namun pikirannya penuh kabut. Ia berjalan tanpa arah, membiarkan langkah membawanya ke tengah pasar yang perlahan mulai ramai.

Di antara keramaian, matanya tertuju pada seorang kakek tua yang sedang kesulitan membawa tas besar di punggungnya. Tak seorang pun menoleh, seolah keberadaan sang kakek tak berarti.

Dengan langkah cepat, Blaze menghampirinya.

"Kakek," panggilnya.

"Iya, ada apa, Nak?" sahut si kakek, menoleh dengan senyum lelah.

"Biar saya bantu bawa barang-barangnya," ucap Blaze.

"Benarkah kau tidak keberatan?"

"Sama sekali tidak, Kek," jawab Blaze sambil mengangkat tas itu. Ternyata beratnya luar biasa.

"Rumah Kakek jauh?" tanya Blaze sambil menyesuaikan posisi tas.

"Seratus kilometer dari sini," jawab si kakek santai.

Blaze tertegun.

"Seratus kilometer?! Jalan kaki?"

"Sudah biasa," sahut kakek sambil tersenyum penuh kedamaian.

Mereka berjalan bersama, menyusuri jalan yang lama-kelamaan berubah menjadi setapak hutan. Blaze sempat ragu, tapi si kakek meyakinkan bahwa mereka harus melewati hutan untuk mencapai rumahnya.

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di kaki gunung yang menjulang tinggi.

"Ini gunung Altissimum," ujar si kakek. "Kau mau dengar legenda tentangnya?"

Blaze mengangguk. Ia butuh cerita. Sesuatu untuk mengalihkan pikirannya.

Kakek itu pun mulai bercerita, tentang Dewa awal mula, Dewi bumi, anaknya yang diculik Dewa alam kematian, dan kesepakatan yang mengubah takdir dewa dan manusia. Tentang cinta, amarah, dan kompromi yang pahit. Gunung Altissimum sendiri, kata sang kakek, terbentuk dari amukan sang Dewi bumi—gunung yang mereka injak sekarang adalah warisan dari hati yang kecewa.

Blaze mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia merasakan kedalaman dalam cerita itu—seolah mewakili luka dan perjuangannya sendiri.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah kayu sederhana di lereng gunung.

"Maaf ya kalau rumah Kakek jelek," ucap si kakek sambil tertawa pelan.

"Tidak apa-apa, Kek. Barangnya saya letakkan di depan sini, ya?"

"Iya, terima kasih banyak, Nak." Kakek membuka gulungan dari sakunya.

"Ambillah ini."

"Apa ini?" tanya Blaze.

"Peta. Cuma ini yang bisa Kakek berikan sebagai ucapan terima kasih."

Blaze menerima peta itu. Kulitnya tua dan rapuh, namun di baliknya... ada sesuatu yang memanggil.

"Terima kasih, Kek. Saya pulang dulu, ya."

"Iya. Hati-hati di jalan, Nak."

---

Blaze kembali ke penginapan menjelang senja. Ia tak bicara pada siapa pun, langsung masuk ke kamar. Di dalam, ia menaruh peta di atas meja. Ia menatapnya beberapa saat, lalu berbaring. Untuk pertama kalinya sejak hari itu, ia bisa tidur—meski hanya sejenak—tanpa dihantui bayangan yang sama.

More Chapters