Hari-hari setelah pertemuan itu terasa berbeda.
Arsya tidak datang setiap hari, tapi setiap kehadirannya membawa udara yang lebih ringan, lebih hangat. Ia tak pernah bertanya tentang masa lalu Rina dan itulah yang paling menyentuh. Ia memperlakukannya seperti manusia, bukan cerita tragis.
Suatu sore, saat Rina sedang membawa keranjang hasil panen ke pasar desa, ia melihat kepadatan. Suara orang-orang mulai berbisik pelan.
"Itu dia jandanya sekarang dekat-dekat sama orang kota."
"Perempuan seperti dia tidak pantas sama orang kaya."
Bisikan itu menusuk seperti duri di bawah kulit. Rina menggenggam erat keranjangnya, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi sebelum dia bisa berbalik, suara lantang terdengar dari arah belakang.
"Kalau kalian mengenalnya seperti aku mengenalnya, kalian akan malu dengan ucapan kalian."
Semua mata menoleh. Arsya berdiri di sana, wajahnya tenang, tapi matanya tajam.
"Wanita ini," lanjutnya, "lebih jujur, lebih pekerja keras, dan lebih berani daripada siapa pun yang pernah saya temui. Dan aku datang ke desa ini bukan untuk menilai, tapi untuk belajar dari orang seperti dia."
Keheningan menggantung. Bisikan sirna. Rina hanya berdiri di atas panggung, jantungnya bergetar hebat. Bukan karena dipermalukan tapi karena ada seseorang yang akhirnya berdiri untuknya, bukan melawan.
Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak, Rina menulis di halaman belakang buku orang tuanya:
"Aku pernah menjadi tanah yang diinjak-injak. Tapi sekarang, aku mulai tumbuh. Dan mungkin aku layak untuk dicintai, bukan dikasihani."
"Kadang, yang kita butuhkan bukanlah pahlawan tapi seseorang yang melihat nilai kita bahkan saat kita sen
"diriku hampir melupakannya."
Malam itu hujan deras turun. Petir menyambar dari kejauhan, dan angin mengguncang genting tua rumah Ibu Rahayu. Rina duduk memeluk lututnya di dekat jendela, memandangi gelap yang bergemuruh di luar. Tapi bukan hujan yang membuat jantungnya berdegup cepat melainkan perasaan asing yang kini tumbuh di dada.
Perasaan yang dia takuti. Perasaan yang dulu mengantarkannya pada luka.
Cinta.
Apakah jantungnya berdebar-debar?
Tiba-tiba, pintu rumah diketuk keras. Rina dan Ibu Rahayu saling memandang. Siapa yang datang malam-malam begini, dalam hujan lebat?
Rina membuka pintu dengan ragu.
Arsya berdiri di sana, basah kuyup. Napasnya terengah-engah, wajahnya tegang.
"Ada yang menyebarkan kabar ke kota," katanya cepat. "Bahwa kamu wanita murahan yang sedang mendekatiku untuk uang."
Rina membeku. "Apa…?"
"Ada foto kalian di pasar. Kata mereka kamu memikatku." Ia menunduk sejenak, lalu menatap matanya. "Kamu harus tahu… aku tidak peduli. Tapi keluargaku perusahaanku mereka akan menyeret nama kamu. Aku hanya ingin kamu tahu sebelum semua ini berubah jadi badai."
Rina menahan napas. Dunia di sekitarnya seperti runtuh lagi.
Dia ingin lari. Ingin kembali jadi tak terlihat. Tapi kemudian suara Ibu Rahayu dari dalam menyela.
"Kalau kamu pergi sekarang, kamu sama seperti yang dulu. Tapi kamu bukan wanita itu lagi, Nak."
Rina menatap Arsya. Dengan suara yang bergetar, ia bertanya, "Dan kamu? Kamu akan tetap berdiri di sisiku?"
Arsya mendekat. Mata tak gentar.
"Bukan hanya berdiri. Aku akan melindungi kamu. Karena yang aku lihat adalah wanita yang pantas diperjuangkan."
Dan saat itu, meski hujan terus mengguyur dunia, Rina merasa hangat di dalam dadanya.
"Hujan boleh turun, tapi jika hatimu sudah kuat tidak ada badai yang bisa menggoyahkan langkahmu."
Keesokan harinya, kabar itu meledak seperti api menyambar jerami kering.
Situs gosip mulai memuat foto Rina dan Arsya di pasar desa. Judul-judul kejam bermunculan.
"Pengusaha Muda Terjebak Wanita Desa?"
"Skandal Baru: Janda Misterius Mengguncang Dunia Bisnis!"
Ponsel Arsya tak berhenti berdering. Ibunya berbunyi berkali-kali, tapi ia tak menjawab. Ia tahu apa yang akan dikatakan: peringatan, larangan, ancaman atas warisan dan reputasi keluarga.
Sementara itu, Rina kembali menjadi bahan meliputi warga desa.
"Sudah kubilang, perempuan seperti itu pasti ada niat buruknya," kata seorang ibu sambil mencuci baju di sungai.
Namun, Rina tidak menangis kali ini.
Ia hanya diam. Lalu menyembunyikan bayangannya di air sungai yang keruh. "Aku bukan siapa-siapa dulu tapi aku tahu siapa diriku sekarang."
Sakit itu, Arsya datang. Wajahnya lelah, tapi tekadnya utuh.
"Mereka memintaku memilih. Antara kamu atau perusahaan yang kubangun selama bertahun-tahun."
Rina mengangguk pelan. "Lalu kamu pilih apa?"
Hening. Angin menggambarkan kencang. Lalu Arsya menjawab, suaranya tenang:
"Aku memilih kebenaran. Dan kebenarannya adalah aku mencintaimu."
Rina menggeleng, air mata mulai jatuh. "Tapi aku hanya wanita biasa. Aku punya masa lalu. Aku tidak punya apa-apa."
Arsya menggenggam tangannya. "Justru karena itu. Karena kamu mencintai tanpa pamrih, bertahan tanpa sandaran, dan bangkit tanpa bantuan. Kamu segalanya."
Dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, Rina menangis. Bukan karena luka. Tapi karena dia percaya mungkin dia layak bahagia.
"Cinta sejati bukan datang saat semuanya mudah, tapi tetap hidup saat dunia mencoba menghancurkannya."
Tiga hari berlalu sejak pengakuan cinta itu.
Tiga hari yang penuh ketegangan, bisik-bisik, dan keputusan besar.
Rina tetap bekerja seperti biasa menyapu halaman Ibu Rahayu, menyiram kebun, dan menyusun hasil panen. Tapi hatinya tidak lagi hampa. Ada sesuatu yang tumbuh di sana harapan.
Di sisi lain, Arsya kembali ke kota untuk menghadapi keluarganya. Di ruang tamu rumah mewahnya, ibunya duduk dengan penuh wibawa, menatap Arsya tajam.
"Kamu ingin menghancurkan masa depanmu hanya karena wanita desa yang bahkan tak punya nama?"
Arsya menghela napas. "Nama bukan soal gelar, Bu. Tapi tentang nilai. Dan dia lebih berharga dari semua yang pernah saya kenal."
Ibunya menampar meja. "Kamu tidak tahu latar belakangnya! Dia janda, penuh luka, dan dunia akan mengolokmu!"
"Tapi aku kenal hatinya. Dan itu cukup."
Malam itu, Rina duduk di beranda rumah Ibu Rahayu. Langit bertabur bintang. Udara dingin menusuk kulit, tapi dada terasa hangat. Dia tidak tahu bagaimana akhir cerita ini, tapi untuk pertama kalinya, dia tidak takut lagi.
Tiba-tiba, suara langkah terdengar di jalanan tanah.
Rina menoleh. Arsya berdiri di sana. Wajahnya lelah, tapi senyumnya masih sama teduh dan jujur.
"Aku sudah bicara pada keluargaku," katanya pelan. "Aku kehilangan banyak. Tapi aku tidak kehilangan diriku sendiri."
Rina berdiri, matanya menatap dengan bingung. "Kamu memilih aku sepenuhnya?"
Arsya mengangguk. "Aku memilih kita. Walau berat. Walau penuh luka. Karena kamu rumahku."
Rina menangis. Tapi kali ini, tidak ada rasa malu. Tidak ada ketakutan.
Hanya rasa… diterima.
"Kadang cinta tidak datang dengan bunga dan janji indah. Kadang ia datang dengan luka dan kesediaan
untuk menyembuhkannya bersama."
Pagi itu, matahari seolah lebih hangat dari biasanya. Rina mengenakan kebaya sederhana berwarna krem, rambutnya dikuncir rapi, dan senyumnya meskipun masih gugup tetapi tampak seperti bunga yang baru mekar.
Hari ini, untuk pertama kalinya, Rina dan Arsya berjalan berdua melewati jalan desa tanpa sembunyi-sembunyi.
Beberapa orang masih berbisik, sebagian mencibir, tapi kali ini Rina tidak tunduk. Ia menatap lurus ke depan. Di sisinya, Arsya bertekad memegang teguh.
"Kita tak bisa mengubah semua orang," kata Arsya pelan. "Tapi kita bisa mengubah cara kita berjalan di dunia ini."
Di tengah perjalanan, seorang anak kecil menyapa Rina, "Kak Rina hari ini cantik ya."
Rina tersenyum dan mengelus kepala anak itu. Untuk pertama kalinya, pujian tak membuatnya takut. Ia tak merasa pura-pura. Ia merasa layak.
Mereka sampai di balai desa. Di sana, Arsya berdiri di depan warga dan kepala desa, lalu berbicara dengan suara lantang.
"Saya tidak datang ke sini hanya untuk mencari lahan. Saya datang untuk menemukan rumah, dan saya diarahkan ke hati seorang perempuan desa bernama Rina."
Semuanya bisa dibayangkan. Rina menahan napas.
Arsya melanjutkan, "Saya akan membuka program pertanian organik di sini. Tapi bukan hanya itu. Saya ingin warga desa ini tahu, bahwa perempuan seperti Rina bukan untuk dikasihani. Tapi dicontoh."
Tepuk tangan perlahan terdengar. Disusul lebih banyak lagi. Bahkan dari mulut-mulut yang dulu menghina.
Hari itu menjadi hari di mana Rina, untuk pertama kalinya, tidak hanya dicintai tapi dihormati.
Kita tidak harus sempurna untuk pantas dicintai. Kita hanya perlu jujur dengan luka dan tetap memilih berjalan.