Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Udara membawa aroma bunga dari kebun Ibu Rahayu yang mulai berbunga, dan Rina sedang menyiram tanaman ketika suara deru mobil terdengar dari jarak jauh sesuatu yang jarang terjadi di desa terpencil itu.
Sebuah mobil hitam mengkilap berhenti di depan rumah tetangga. Warga desa mulai berdatangan, penasaran. Dari dalam mobil keluar seorang pria muda berpakaian rapi, tampan, dengan wajah ramah dan mata yang terlihat lelah selama perjalanan.
Namanya Arsya, seorang pengusaha dari kota yang datang untuk mencari lahan pertanian organik untuk proyek sosialnya. Ia disambut dengan penuh hormat oleh kepala desa, namun tiba-tiba muncul pemberitahuan kepada arah Rina, yang masih memegang ember air di tangannya, keringat membasahi wajahnya.
Arsya memandang lebih lama dari yang seharusnya. Bukan karena penampilannya yang sederhana, tapi karena sorot matanya-mata yang menyimpan luka, namun juga kekuatan yang tak bisa dijelaskan.
Hari itu berlalu begitu saja, tapi kesan pertama sudah tertanam dalam hati Arsya.
Sementara itu, Rina kembali ke kebun, tidak menyadari bahwa takdir baru mulai membuka pintunya.
"Kadang, orang yang akan mengubah hidupmu datang saat kau sudah berhenti berharap pada siapa pun."
Hari berikutnya, Rina kembali ke kebun seperti biasa, namun pikirannya sedikit terganggu. Wajah pria kota itu Arsya terus terlintas dalam ingatan. Aku tak tahu kenapa. Ia bahkan tidak mengenalnya. Tapi muncullah mata pria itu seolah melihat sesuatu di dalam dirinya yang sudah lama terkubur.
Sementara itu, Arsya kembali ke rumah kepala desa untuk berdiskusi soal rencana kerja sama pertanian. Namun sebelum pertemuan dimulai, ia bertanya dengan hati-hati, "Perempuan yang kemarin bekerja di kebun itu siapa dia?"
Kepala desa terlihat ragu-ragu, lalu menjawab, "Oh, itu Rina. Janda malang dari desa sebelah. Dulu ditelantarkan suaminya, hidupnya berat. Tapi dia perempuan yang sangat rajin dan tidak pernah mengeluh."
Nama itu Rina menghujam dalam ingatan Arsya. Ia tak tahu kenapa, tapi ia merasa harus mengenalnya lebih jauh. Bukan karena kasihan. Tapi karena ada ketulusan yang begitu langka terpancar dari wanita itu.
Sore harinya, saat Rina sedang menyiangi rumput, suara lembut menyapanya dari belakang.
"Izin Rina, ya?"
Dia menoleh. Hatinya seketika mencelos. Arsya berdiri di sana, dengan senyum hangat dan tidak menghakimi sesuatu yang sangat jarang ia temui.
Rina mengangguk pelan, gelisah. "Iya, aku Rina. Ada yang bisa aku bantu?"
Arsya tersenyum lebih lebar. "Saya hanya ingin mengenal kamu kalau kamu tidak keberatan."
Untuk pertama kalinya sejak lama, jantung Rina berdetak karena sesuatu yang bukan rasa takut.
Rina tak tahu harus berkata apa. Ia hanya menunduk, tangannya masih memegang akar rumput yang belum dicabut. Hatinya bingung antara ingin membuka diri atau kembali berlindung di dinding yang selama ini ia bangun dari luka.
Arsya sepertinya mengerti. Ia tidak memaksa. Ia duduk di batu dekat pagar kayu dan mulai berbicara, bukan tentang dirinya sendiri, bukan tentang kota, tapi tentang tanah, petani, dan impiannya untuk membuat pertanian desa menjadi lebih maju.
"Bukan hanya bisnis," kata Arsya pelan. "Saya ingin membantu orang-orang yang jujur, yang berjuang dengan tangan mereka sendiri. Seperti kamu."
Rina menjawab. Tak ada yang pernah berbicara seperti itu. Tidak seperti orang yang penyayang, dan tidak seperti orang yang menganggap dirinya hina.
Beberapa menit berlalu dalam diam yang tidak canggung. Hanya suara angin dan gemerisik daun yang menemani.
"Aku tidak butuh belas belas belas kasihan," ucap Rina akhirnya, dengan suara pelan namun tegas. "Aku sudah cukup terluka oleh harapan."
Arsya memandang penuh hormat. "Aku tidak datang membawa harapan palsu. Hanya ingin mengenalmu. Mungkin berjalan bersama, meski hanya sebentar."
Hari itu mereka tidak berbicara banyak lagi, tapi ada sesuatu yang berubah. Sebuah pintu kecil mulai terbuka di hati Rina sebuah ruang di mana kepercayaan bisa tumbuh kembali.