Milim terbangun dari kegelapan, tubuhnya terasa berat seolah tenggelam dalam lumpur. Saat matanya terbuka, ia melihat langit-langit kamar yang familiar—kamar yang dulu terasa biasa, kini terasa asing. Suara samar mesin penghitung waktu dari luar, kehangatan ruangan, dan aroma kopi yang lembut menyambutnya, seolah semuanya hanya sebuah mimpi.
Namun ini bukan mimpi.
Dengan gerakan ragu, Milim bangkit dari tempat tidur dan menoleh ke kalender di meja samping.
"12 Februari 2016," bisiknya.
Matanya membelalak. Setahun yang lalu, hidupnya penuh kegagalan dan penyesalan. Tapi kini, dia kembali ke masa lalu—sebuah kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
Di luar kamar, suara ayahnya terdengar, berbicara serius di ruang keluarga. Ibunya tengah sibuk menyiapkan sarapan, dan kakaknya, mengenakan seragam medis khas, bersiap-siap ke rumah sakit. Semua seperti yang ia ingat.
Milim menarik napas dalam-dalam. "Ini bukan kebetulan," pikirnya. "Aku kembali untuk memperbaiki semuanya."
Ia membuka pintu dan melangkah keluar. Di ruang keluarga, ayahnya, Alex Nava, duduk dengan ekspresi serius, mengenakan jas kerja rapi. Mantan engineer Google itu dikenal pekerja keras—dan Milim tahu betul tantangan besar yang akan menanti keluarganya.
"Ibu, sarapan apa hari ini?" tanya Milim, berusaha bertingkah sewajar mungkin.
Ibunya, Elena Nava, wanita Rusia yang lembut dan religius, tersenyum hangat. "Roti lapis coklat kesukaanmu, sayang. Kau tidur nyenyak semalam?"
Milim membalas senyum ibunya, menahan rasa haru. "Iya, sangat nyenyak," jawabnya sambil duduk di meja makan.
Roti lapis cokelat itu—cokelat leleh manis yang meleleh dalam roti hangat—mengisi perut dan hatinya dengan kenangan lama. Sederhana, tapi penuh arti.
Kakaknya, Dmitri Nava, berlari kecil sambil memasukkan dokumen ke dalam tas. "Aku berangkat dulu, banyak pasien hari ini," katanya sambil mengusap kepala Milim sekilas sebelum keluar rumah.
Milim menatap punggung kakaknya yang menjauh, merasa ada banyak hal yang perlu ia lindungi kali ini.
---
Setelah sarapan, Milim bergegas menuju kampus Harvard. Musim dingin yang menyelimuti kota membuat napasnya membentuk embun tipis. Ia mengenakan jaket tebal, tas punggung, dan langkah penuh tekad.
Di kampus, suasana seperti biasa: mahasiswa berlarian, beberapa mengobrol tentang tugas, beberapa lainnya duduk di halaman dengan laptop terbuka. Namun bagi Milim, semua terasa berbeda—karena ia tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
Di depan ruang kelas, ia bertemu dengan teman-temannya. Ada Rina, gadis periang dari jurusan ekonomi; Liam, mahasiswa jurusan hukum yang selalu serius; dan Emily, teman dekatnya yang hobi membuat ilustrasi digital.
Mereka semua menyambut Milim dengan obrolan ringan sebelum dosen datang.
Di sudut ruangan, Milim melihat Arvid—seorang pemuda berambut cokelat kusut, sibuk merapikan berkas di laptopnya. Arvid dikenal di kalangan mahasiswa karena keahliannya dalam mengedit video dan membuat konten visual. Ia bukan hanya cerdas, tetapi juga kreatif.
Milim menghampirinya.
"Arvid," panggil Milim, sedikit berdebar. "Aku sedang merencanakan sesuatu... mau tanya pendapatmu."
Arvid menoleh, tersenyum ramah. "Tentu, Milim. Apa itu?"
"Aku ingin mulai membuat channel YouTube... tentang gaming. Aku butuh editor video yang jago. Kamu mau kerja sama?" tawar Milim, langsung ke intinya.
Arvid tertawa kecil. "Gaming, ya? Sounds fun. Aku suka editing gameplay juga. Kita bisa atur konsepnya. Kapan mau mulai?"
"Segera," jawab Milim, matanya berbinar.
Ini adalah awal dari perubahan besar yang ia rencanakan: menghasilkan uang dari sesuatu yang ia sukai, memanfaatkan peluang yang ada sebelum orang lain mengetahuinya.
Saat itu, dosen masuk ke dalam kelas—seorang pria paruh baya dengan kacamata bundar dan suara berat. Ia mulai menulis di papan tulis dengan kapur putih, membahas tentang teori-teori manajemen waktu dan perencanaan karier.
Milim mencatat dengan teliti, namun pikirannya sibuk merancang masa depannya. Dia mencatat daftar perlengkapan yang harus dibeli: komputer gaming yang kuat, mikrofon yang jernih, kamera untuk merekam ekspresi wajah, dan peralatan editing dasar.
Di sela-sela kuliah, Milim berbisik ke Arvid, "Nanti setelah kelas, kita bahas lebih rinci soal proyek kita."
Arvid mengangguk, dan senyum di wajah mereka berdua mengisyaratkan hal yang sama: dunia baru sedang menunggu mereka.
Milim menatap ke depan dengan keyakinan. Kali ini, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.
---