Api membakar langit. Batu-batu mencair. Pasukan kocar-kacir. Tapi di tengah kekacauan itu, Vilma mengepakkan sayapnya sekali lagi dan terbang tinggi, melesat menembus awan kelam seperti panah api yang melarikan diri dari dunia yang membencinya.
Tubuhnya gemetar. Luka di punggungnya menganga, darah mengalir hangat. Tapi lebih dari segalanya, hatinya yang terasa perih. Ia tak tahu ke mana harus pergi. Ia hanya tahu satu hal: ia tidak akan jatuh... bukan sekarang.
---
Di Perkemahan Pasukan Rubelion, malam menjelang. Para prajurit merawat luka, dan sisa-sisa api masih mengepul. Di tenda utama, Kapten Kael Voren berdiri sendiri, menatap peti kecil berisi pecahan sisik naga yang ia kumpulkan dari tempat Vilma mengamuk.
Jari-jarinya menyentuh sisik itu dengan penuh hormat, seperti seorang seniman menyentuh karya agung.
"Dia bukan hanya naga... dia adalah kunci," bisiknya.
Kael bukan hanya penyihir api. Ia adalah anak dari keluarga bangsawan yang dulu dikorbankan oleh naga dalam Perang Api Tiga Puluh Tahun. Ayah dan ibunya terbakar hidup-hidup. Tapi yang tertinggal dalam ingatannya bukan rasa takut—melainkan keindahan api itu. Api yang liar, indah, dan tak bisa dikendalikan.
Sejak kecil, Kael mempelajari naga. Obsesinya bukan hanya ingin membunuh mereka—ia ingin menjadi seperti mereka. Abadi. Kuat. Bebas. Tapi manusia punya batas, dan Kael membencinya. Maka ketika ia mendengar tentang Vilma, darahnya mendidih.
"Jika aku tidak bisa menjadi naga… maka aku akan mengikat naga untuk menjadi bagian dari kekuatanku."
---
Sementara itu, di benteng Rubelion, Komandan Elreth menerima laporan tentang kegagalan Kael.
"Jadi, Kapten itu gagal menangkap gadis itu?" tanyanya dingin, wajahnya tak tergoyahkan. Elreth adalah pria tua, tubuhnya penuh bekas luka. Dahulu ia adalah pahlawan perang yang mengalahkan dua naga dalam satu malam. Namun dalam pertempuran itu, ia kehilangan anaknya—seorang bayi perempuan.
Sejak saat itu, Elreth menyimpan kebencian murni pada semua naga, dan siapa pun yang mencoba menyentuh mereka.
"Elreth," ujar penasihatnya, "bagaimana jika gadis itu bukan ancaman? Mungkin dia hanya—"
"Tidak ada 'mungkin'. Setengah naga, setengah manusia—itu hanya berarti dia dua kali lebih berbahaya."
Ia berdiri dan mengambil pedang besarnya.
"Kita telah memberi Kael terlalu banyak tali. Sekarang saatnya aku sendiri turun tangan."
---
Di langit utara, Vilma akhirnya mendarat di puncak gunung es, tubuhnya gemetar dan matanya sayu. Tapi ada sesuatu yang baru dalam dirinya: keyakinan. Ia tahu... dunia tidak akan pernah menerimanya sebagai manusia.
"Kalau begitu," gumamnya, menatap bulan yang bersinar, "aku akan menjadi sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya."
Bukan naga. Bukan manusia. Tapi Vilma—api yang tak bisa dipadamkan.