Cahaya matahari pagi menyusup masuk lewat celah jendela, menyinari lantai kayu rumah Arkas yang hangat. Udara masih lembap dengan embun, dan aroma hutan yang segar menggantikan bau darah dan tanah dari malam sebelumnya.
Reno duduk di pinggir tempat tidurnya, memegangi kepala dengan satu tangan. Keringat dingin membasahi pelipisnya meskipun udara pagi begitu sejuk. Ia baru saja terbangun dari mimpi yang aneh dan menghantui—bertemu dirinya sendiri, mengenakan mahkota, dengan tatapan kosong dan suara penuh tanya.
"Siapa aku sekarang...?"
Bisikan dari mimpinya itu masih menggema di benaknya. Ia belum punya jawaban. Mungkin karena ia sendiri belum tahu apakah dirinya masih seorang pangeran... atau hanya anak lelaki yang tersesat jauh dari waktu dan tempat yang ia kenal.
Suara langkah kaki berat mendekat dari arah dapur. Suara khas sepatu Arkas yang sedikit berderit tiap kali menyentuh lantai kayu. Reno menenangkan napasnya dan bangkit, lalu membuka pintu kamar.
"Sudah bangun?" tanya Arkas sambil menyendok bubur dari panci besar ke dalam mangkuk tanah liat. "Kau tidur seperti batu setelah semalam."
Reno tersenyum kecil. "Mimpi buruk."
"Bagian dari pelatihan mental," jawab Arkas santai sambil duduk di meja. Ia menunjuk mangkuk kedua. "Sarapan dulu. Setelah itu kita bicara."
Reno mengambil tempat duduk dan mulai makan dalam diam. Beberapa luka kecil di lengannya masih terasa perih, tapi tidak terlalu mengganggu. Tubuhnya pegal, tapi dia tahu itu adalah hasil dari pertarungan mereka melawan beast malam itu.
Arkas makan dengan tenang, matanya sekali-sekali menatap Reno. Setelah mereka selesai, lelaki tua itu meletakkan mangkuknya dan bersandar di kursi.
"Ada yang ingin kau tanyakan, Reno?"
Reno menatapnya, agak terkejut. Tapi kemudian ia mengangguk pelan. "Tadi malam... makhluk itu. Kenapa bisa muncul di dekat desa? Apa itu hal biasa?"
Arkas menghela napas panjang. "Tidak. Bahkan aku belum pernah melihat beast jenis itu muncul sedekat ini dari pemukiman. Biasanya mereka hanya muncul jauh di dalam hutan, atau di batas pegunungan. Tapi yang ini... dia seolah sengaja datang."
"Apakah itu berarti... sesuatu sedang terjadi?"
"Sesuatu sudah terjadi," jawab Arkas serius. "Aku belum tahu apa, tapi sejak beberapa minggu lalu, hewan-hewan kecil pergi, udara berubah, dan makhluk liar jadi lebih agresif. Ada desas-desus tentang retakan di ruang antara."
"Ruang antara?"
Arkas menatap Reno, lalu bangkit dan mengambil sepotong arang dari perapian. Ia menggambar di lantai—lingkaran besar, dengan dua dunia yang saling bersisian, dipisahkan oleh garis tipis.
"Ada dunia kita," katanya sambil menunjuk sisi kiri. "Dan ada yang lain. Tempat asal sebagian besar beast itu. Dunia antara dunia. Biasanya tertutup rapat. Tapi kadang, kalau ada 'gangguan besar', batas itu bisa retak sedikit."
"Dan beast masuk ke dunia kita?"
"Ya. Tapi mereka tidak hanya tersesat. Yang kuat akan merasa tertarik ke titik-titik tertentu—tempat di mana energi atau kekuatan tidak biasa mengalir."
Reno terdiam. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya—apakah dirinya adalah salah satu dari titik yang dimaksud? Ataukah kemunculan beast itu hanya kebetulan?
Tapi ia menahan pertanyaan itu. Ia tidak ingin membiarkan Arkas tahu siapa dirinya sebenarnya.
"Kalau begitu... bagaimana desa ini? Apakah aman?"
Arkas tersenyum miring. "Untuk sekarang, ya. Tapi jika lebih banyak beast seperti semalam datang, kita harus mempertimbangkan untuk mengevakuasi sebagian penduduk ke kota tetangga. Itu juga alasan aku ingin kalian siap."
Reno menunduk. "Aku... tidak sekuat itu."
Arkas tidak menjawab seketika. Ia hanya menatap Reno dengan pandangan yang tidak menghakimi, tapi penuh penilaian.
"Kau tahu, Reno... kekuatan itu bukan soal seberapa keras kau memukul, atau seberapa besar ledakan yang bisa kau buat. Tapi soal seberapa banyak yang bisa kau lindungi ketika semuanya runtuh."
Reno mengangkat wajahnya, bertemu pandang dengan pria tua itu.
"Aku lihat itu di matamu semalam," lanjut Arkas. "Kau ketakutan, tapi kau tetap berdiri. Itu cukup."
Reno mengerjap. Dadanya terasa hangat dan berat dalam waktu bersamaan.
Arkas berdiri, lalu menuju rak kayu dan menarik keluar gulungan peta tua. Ia membentangkannya di meja.
"Beberapa hari ke depan, kita akan melakukan perjalanan ke kota terdekat, Karden. Kita butuh pasokan, senjata baru, dan mungkin sedikit informasi tentang apa yang sedang terjadi."
Reno mendekat, menatap peta itu. Karden ditandai dengan lingkaran kecil berwarna merah di bagian selatan. Di antara desa dan kota itu, terlihat barisan pohon dan kontur berbukit. Jalan yang menghubungkan keduanya tampak sederhana—hanya satu jalur kecil melewati hutan dan satu lembah sempit.
"Apa kota itu besar?" tanya Reno.
"Cukup," jawab Arkas. "Bukan ibu kota, tapi pusat dagang dan tempat berkumpulnya informasi. Banyak orang dari luar datang dan pergi. Jika ada yang tahu lebih banyak soal pergerakan beast atau retakan ruang, kemungkinan ada di sana."
Reno masih menatap peta itu. Tapi pikirannya melayang.
"Apa... perjalanan seperti ini yang biasa kalian lakukan dulu?"
Arkas terkekeh. "Bukan biasa. Tapi sering. Dulu, sebelum aku menetap di sini, hidupku hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dari kota ke reruntuhan, dari hutan ke pegunungan. Mencari pengetahuan, melawan musuh, atau sekadar bertahan hidup."
"Dan kau tidak lelah?"
Arkas menoleh dengan tatapan sedikit lembut. "Tentu. Tapi kau tahu, Reno... dalam perjalanan, kau tidak hanya belajar tentang dunia. Kau juga belajar tentang dirimu sendiri."
Reno mengangguk pelan.
"Setiap tempat yang kau kunjungi, setiap orang yang kau temui—mereka membawa cerita. Dan kau akan mulai menyadari bahwa dunia ini lebih luas dari yang bisa kau bayangkan. Masalahmu yang terasa besar hari ini... bisa jadi kecil sekali dibanding apa yang menanti di luar sana."
Reno menggigit bibirnya. "Aku... tidak tahu harus jadi apa."
"Tak ada yang tahu, Nak," ucap Arkas pelan. "Kadang, bahkan orang paling kuat pun tersesat. Tapi yang penting bukan seberapa cepat kau menemukan jawabannya. Yang penting adalah kau terus berjalan."
"Apa menurutmu... aku akan menemukan jawabanku di sana?"
"Entahlah," jawab Arkas jujur. "Tapi kau akan lebih dekat daripada jika hanya duduk diam di sini."
Reno menarik napas dalam. Hatinya sedikit lega. Entah mengapa, kata-kata Arkas—meski sederhana—terasa menenangkan. Seolah dunia ini tak seburuk yang ia kira, selama masih ada orang yang percaya padanya.
"Aku akan ikut," ucapnya.
Arkas mengangguk. "Bagus. Siapkan dirimu. Leo,Kain,Mira,dan lian juga akan ikut. Aku ingin kalian melihat lebih jauh dari batas desa ini. Bukan hanya untuk belajar bertarung, tapi untuk mengenal dunia ini lebih dalam."
Reno memandangi peta sekali lagi. Kini, ia tak hanya melihat garis dan simbol di atas kertas. Ia melihat kemungkinan. Petualangan. Dan harapan baru.
Dan di kejauhan, di balik bayangan peta itu... sesuatu menantinya.
Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.