Kerajaan Arvendel berdiri megah di antara perbukitan hijau yang luas. Istana kerajaan, dengan menara-menara tinggi dan tembok marmer putihnya, bersinar di bawah cahaya matahari sore. Burung-burung beterbangan di langit biru, sementara bendera kerajaan berkibar anggun di puncak menara tertinggi.
Di dalam aula istana, suara tawa anak-anak menggema.
"Pangeran Reno! Kembalikan sepatuku!"
Seorang gadis berusia sepuluh tahun dengan rambut perak panjang berlari mengejar seorang bocah laki-laki yang tertawa jahil. Itu adalah Liza, putri kedua kerajaan dan kakak tiri Reno.
"Kalau mau, ambil sendiri!" Reno berlari lebih cepat, menggenggam sepatu yang ia rebut dari tangan Liza.
Di belakang mereka, dua gadis lain mengamati dengan ekspresi berbeda.
"Kalian ini... seperti anak kecil," gumam kakak tertua mereka, Elvira, yang berusia empat belas tahun. Rambut putihnya yang elegan tergerai rapi, dan matanya yang hijau menunjukkan ketenangan khas seorang calon ratu.
"Aku juga ingin ikut bermain!" seru yang paling kecil, Freya, gadis berusia enam tahun dengan rambut hitam panjang seperti Reno.
"Kalau begitu, ayo kejar Reno!" Liza berseru.
Reno langsung menyesal karena menantang mereka. Dalam sekejap, ketiga kakaknya mengejarnya di aula istana.
Dari singgasana, Raja Edric dan Ratu-ibu kandung Reno, Elvira, dan Freya-menyaksikan dengan senyum lembut.
"Anak-anak kita begitu ceria hari ini," ujar sang Ratu.
Raja Edric mengangguk. "Biarkan mereka menikmati masa kecil mereka. Sebentar lagi, kehidupan mereka akan berubah."
Namun, mereka tidak menyadari bahwa tawa anak-anak mereka hari itu akan menjadi kenangan terakhir yang tersisa sebelum segalanya hancur.
Malam itu, Reno terbangun oleh suara ledakan yang mengguncang seluruh istana.
Tanah bergetar, kaca jendela bergetar hingga beberapa di antaranya pecah berkeping-keping. Dengan jantung berdebar, ia melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke jendela.
Matanya membesar melihat pemandangan di luar.
Langit malam yang biasanya gelap kini diterangi oleh cahaya keemasan yang muncul dari sebuah pusaran raksasa di angkasa. Dari portal itu, muncul makhluk-makhluk yang belum pernah ia lihat sebelumnya-beberapa tampak seperti manusia berjubah hitam, sementara yang lain memiliki tubuh raksasa dengan mata merah membara.
Suara pertempuran menggema di seluruh penjuru kota. Para prajurit kerajaan berusaha mempertahankan istana, tetapi makhluk-makhluk itu terlalu kuat. Api berkobar di berbagai sudut, menerangi bayangan yang bergerak dengan cepat.
Tanpa pikir panjang, Reno berlari keluar dari kamarnya. Ia harus menemukan keluarganya.
Di lorong istana, ia hampir bertabrakan dengan Freya, yang berlari dengan wajah ketakutan.
"Reno!" seru Freya, matanya berkaca-kaca. "Di mana Ibu dan Ayah?"
"Aku tidak tahu!" Reno menggenggam tangan adiknya. "Ayo cari mereka!"
Mereka terus berlari, hingga akhirnya tiba di aula utama-dan di sanalah mereka melihatnya.
Raja Edric, Ratu, dan saudari mereka yang lain sedang bertarung.
Elvira berdiri di samping Raja, pedangnya berkilauan di bawah cahaya api. Liza mengangkat tangannya, mengeluarkan sihir perlindungan untuk menahan serangan lawan. Ratu berusaha melindungi Freya, tetapi ekspresinya penuh kekhawatiran.
Dan di hadapan mereka berdiri pria berjubah hitam dengan rambut keperakan dan mata licik.
"Ah... keluarga kerajaan yang lengkap." Suaranya tenang, tetapi aura gelapnya bergetar mengerikan. "Sayang sekali, malam ini kerajaan kalian akan lenyap."
Tiba-tiba, portal raksasa di atas istana mulai menyebarkan cahaya yang lebih terang.
Dan dalam sekejap-
Elvira, Liza, dan Freya mulai tersedot ke dalam cahaya itu.
"Ibu! Ayah! Tolong!" Freya menjerit, tubuhnya berubah menjadi partikel emas sebelum menghilang.
Reno mencoba meraih tangan kakaknya, tetapi cahaya itu terlalu kuat. Dalam hitungan detik, seluruh keluarganya-orang tua dan ketiga saudari yang ia cintai-lenyap ke dalam portal.
Hanya Reno yang tertinggal.
Dua tahun telah berlalu.
Sekarang, Reno berusia sepuluh tahun.
Ia masih berada di reruntuhan Arvendel, hidup seorang diri di kerajaan yang telah hancur.
Di siang hari, ia berburu di hutan, mencari makanan untuk bertahan hidup. Di malam hari, ia membaca buku-buku sihir kuno, mencari jawaban tentang apa yang terjadi.
Satu hal yang ia ketahui dengan pasti: keluarganya tidak mati.
Mereka telah dipindahkan ke suatu tempat-ke masa depan.
Dan suatu hari nanti, Reno akan menemukan mereka.
Tak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Di Antara Reruntuhan
Reno menyesap air dingin dari sungai kecil di tepi hutan, membiarkan kesejukannya meresap ke tenggorokan yang kering. Dua tahun telah berlalu sejak dunia yang dikenalnya hancur dalam sekejap. Sekarang, ia bukan lagi pangeran kecil di dalam istana yang megah, melainkan seorang bocah yang hidup sendirian di antara reruntuhan, bertahan dengan pedang tumpul dan kemampuan berburu seadanya.
Angin sore berembus lembut, menggoyangkan dedaunan hijau yang tumbuh liar di antara puing-puing yang dulunya adalah rumahnya. Reno menggenggam gagang pedang yang tergantung di pinggang-satu-satunya peninggalan yang masih tersisa darinya.
"Aku tidak bisa terus di sini," gumamnya pelan. "Sudah waktunya pergi."
Dengan langkah mantap, ia meninggalkan tempat itu, menuju desa terdekat. Ia tidak tahu apa yang menunggunya di sana, tapi satu hal yang pasti: ia harus bertahan.
Desa kecil itu lebih ramai dari yang Reno bayangkan. Anak-anak berlarian di jalan berbatu, para pedagang sibuk menawarkan dagangan mereka, dan aroma makanan menguar dari warung-warung kecil.
Saat Reno berjalan menyusuri desa, perutnya berbunyi pelan. Ia mengabaikannya dan terus berjalan, sampai tiba-tiba sebuah tangan merangkul bahunya.
"Hei, anak baru!"
Reno menoleh dan mendapati seorang bocah berambut merah dengan senyum lebar. Di sampingnya, seorang anak lain berambut cokelat menyeringai.
"Apa kau sendirian?" tanya bocah berambut cokelat.
Reno mengernyit. "Memangnya kenapa?"
Bocah berambut merah menepuk dadanya dengan bangga. "Aku Leo, dan ini Kain! Kami ahli bertahan hidup di desa ini. Kalau kau butuh bantuan, kau bisa mengandalkan kami!"
Kain menyeringai. "Ya, tentu saja, dengan sedikit biaya, hahaha!"
Reno diam sebentar, menatap mereka berdua dengan ekspresi datar. "Aku bahkan tidak punya uang."
Leo dan Kain saling berpandangan, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Kami bercanda!" Leo mengacak rambut Reno. "Tapi kau harus berhati-hati. Di desa ini, orang-orang bisa licik."
Reno menghela napas. Entah bagaimana, dua anak ini terlihat konyol tapi... tidak berbahaya.
"Kau tinggal di mana?" tanya Kain.
"Aku baru tiba di desa. Belum punya tempat tinggal," jawab Reno.
Leo melipat tangan di belakang kepalanya, berpikir. "Kalau begitu, ayo ikut kami! Arkas pasti mau membiarkanmu tinggal!"
Sebelum Reno bisa bertanya siapa Arkas, Leo dan Kain sudah menariknya berlari melewati gang-gang desa.
Mereka tiba di sebuah rumah sederhana di pinggir desa, dikelilingi pepohonan tinggi. Di depan rumah, seorang pria tua kekar dengan luka di wajah duduk di kursi, mengunyah sesuatu dengan santai.
"Arkas! Kami bawa orang baru!" seru Leo.
Pria tua itu mengangkat alisnya, menatap Reno tajam.
"Anak ini?" Arkas menghela napas. "Kalau dia mau tinggal, dia harus bekerja. Aku bukan dermawan."
Reno mengangguk. "Aku bisa berburu dan berlatih pedang."
Arkas menyipitkan matanya, lalu tertawa kecil. "Hah! Anak sepertimu? Menarik. Baiklah, kau boleh tinggal. Leo, Kain, cari kamar untuknya."
Leo mengangguk. "Baik, Guru!"
Mereka pun masuk ke rumah dan memberikan Reno kamar kecil di sudut. Setelah makan malam yang penuh kehebohan, mereka akhirnya beristirahat untuk latihan esok pagi.
Pagi harinya, halaman belakang dipenuhi suara hentakan kaki dan kayu beradu.
"Leo! Posturmu seperti udang rebus!" teriak Arkas.
"Aku masih ngantuk!" balas Leo, menangkis serangan Kain dengan pedang kayu.
Reno mengayunkan pedangnya dengan mantap, mengikuti instruksi Arkas. Peluh menetes dari dahinya, tapi tubuhnya terasa lebih hidup.
"Bagus, Reno," gumam Arkas. "Setidaknya ada yang tahu cara berdiri."
Kain terpeleset, membuat Leo tertawa. Reno pun ikut tersenyum kecil.
Siang pun datang, dan setelah latihan selesai, mereka bertiga rebahan di rerumputan, menikmati angin sepoi-sepoi.
"Ayo ke taman!" seru Leo tiba-tiba.
"Setuju! Aku dengar pohon apel di sana lagi berbuah," tambah Kain.
Reno mengangguk. "Aku ikut."
Taman itu sejuk dan teduh. Kolam kecil di tengahnya memantulkan cahaya matahari, dan angin lembut berhembus tenang.
Mereka baru saja duduk, mencelupkan kaki ke air, saat suara keras menghentak.
"LEO! KAIN!"
Leo dan Kain langsung menegang.
Dua gadis berdiri di jalan setapak. Satu berambut cokelat panjang dengan wajah kesal, satu lagi berambut pirang pendek dengan tatapan tajam.
"JANJINYA JAM SEBELAS! SUDAH JAM BERAPA INI?" bentak yang cokelat.
"KALIAN BILANG MAU LATIHAN BARENG!" tambah si pirang.
"Eh, kami... membawa orang baru!" jawab Leo cepat.
Kain menunjuk Reno. "Kenalin, ini Reno! Baru datang kemarin!"
Kedua gadis itu menatap Reno.
"Aku Mira," kata yang berambut cokelat.
"Lian," sahut si pirang, masih cemberut.
"Aku Reno," jawabnya pendek.
"Kalau begitu, ayo mulai latihan sore ini," ujar Mira.
Leo dan Kain saling berpandangan dan mengeluh bersamaan, "Latihan lagi...!"
Sore itu, mereka berlima berlatih di bawah pohon besar di taman. Mira dan Lian sama sekali tidak mau mengalah, membuat Leo dan Kain terus mengeluh.
Setelah latihan, mereka duduk di bawah pohon sambil beristirahat.
"Aku ingin membaca," ujar Reno tiba-tiba.
Mira mengangkat alis. "Kau suka membaca?"
Reno mengangguk.
Lian menyerahkan sebuah buku kecil. "Ini. Aku membawanya dari rumah."
Reno menerima buku itu, membuka halamannya, dan mulai membaca.
Leo bersandar pada pohon. "Hah... latihan, lalu baca buku. Hidupnya Reno terlalu serius."
Kain tertawa. "Setuju. Tapi ini menyenangkan!"
Mira dan Lian hanya tersenyum kecil, menikmati momen tenang setelah latihan yang melelahkan.
Untuk pertama kalinya, Reno merasa seperti bagian dari sesuatu.
Hari mulai gelap saat Reno masih tenggelam dalam buku yang dipinjam dari Lian. Halaman-halaman itu penuh dengan kisah petualangan dan strategi bertahan hidup, sesuatu yang menarik perhatiannya.
Leo berbaring di rumput dengan tangan di belakang kepala, menatap langit yang mulai dihiasi bintang. "Ahh... ini waktu yang paling santai. Seharian latihan, lalu berbaring seperti ini. Sempurna!"
Kain mendengus sambil menggigit apel yang mereka petik sebelumnya. "Bicaramu seperti orang tua."
"Aku setuju dengan Leo," ujar Mira. "Kadang, setelah latihan berat, duduk tenang seperti ini adalah yang terbaik."
Lian, yang sedang membersihkan pedangnya, melirik Reno. "Jadi, kenapa kau datang ke desa ini?"
Reno mengangkat wajahnya dari buku, terdiam sejenak. "Aku hanya... mencari tempat untuk tinggal."
Leo dan Kain saling berpandangan, lalu tersenyum kecil. Mereka tidak menekan Reno untuk berbicara lebih lanjut.
"Kalau begitu, kau datang ke tempat yang tepat!" seru Leo dengan penuh semangat. "Kami akan memastikan kau tidak bosan di sini!"
Kain menepuk bahu Reno. "Benar! Siap-siap saja, hidupmu akan lebih seru sekarang!"
Mira dan Lian hanya menghela napas melihat tingkah dua bocah itu. Namun, Reno tersenyum tipis. "Aku akan mengingatnya."
Angin malam berhembus lembut, membawa kehangatan yang jarang ia rasakan dalam dua tahun terakhir.
Setelah cukup lama mengobrol di taman, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah Arkas. Langit sudah gelap, dan suasana desa mulai sepi.
Saat mereka tiba, Arkas sudah menunggu di depan rumah dengan tangan bersilang di dada. "Kalian lambat. Sudah waktunya tidur."
Leo dan Kain saling menyenggol dengan senyum jahil. "Kami sedang memperkenalkan Reno ke kehidupan yang lebih seru, Guru!"
Arkas hanya mendengus. "Cepat masuk."
Begitu mereka masuk, masing-masing langsung menuju kamar mereka. Reno masuk ke kamar kecilnya dan duduk di atas tikar yang diberikan Leo dan Kain kemarin.
Ia memandang langit-langit kayu yang sederhana, berbeda jauh dari kamar mewah yang dulu ia tinggali. Namun, entah mengapa, ia merasa lebih nyaman di sini.
Di kamar sebelah, suara Leo dan Kain masih terdengar samar, bercanda dan tertawa kecil. Mira dan Lian juga sudah kembali ke rumah mereka, tapi Reno tahu mereka akan bertemu lagi besok.
Perlahan, matanya mulai terasa berat. Hari ini terasa panjang, tapi tidak buruk.
Sebelum terlelap, ia menggenggam pedangnya, satu-satunya peninggalan dari masa lalunya.
"Aku masih punya jalan panjang."
Dengan perasaan yang lebih ringan, Reno akhirnya tertidur, bersiap menghadapi hari baru di tempat yang mulai ia sebut sebagai rumah.