Cherreads

Perpisahan yang Menyedihkan

Rony_Bejo_
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
409
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Favorit Tailor

Di pinggir jalan Mantang, sebuah plang kayu tua bertuliskan huruf kapital, cat putih sudah mulai terkelupas:

"FAVORIT TAILOR"

Aku masih ingat suara mesin jahit itu. Dentingannya, desis benangnya, dan desahan napas Bapak saat memotong pola. Aku biasa duduk di bawah meja kerja, memainkan sisa-sisa kain warna-warni, membentuknya jadi boneka atau bendera kecil.

"Nanti kalau gede, kamu mau jadi tukang jahit juga, Le?" tanya Bapak, sambil menyesuaikan setelan kancing di jas pesanan pelanggan.

"Enggak ah, Pak. Jahitannya susah."

"Lho kok?"

"Aku maunya jadi... guru! Atau... pengendara motor besar!"

Bapak tertawa pelan.

"Wah, cita-cita tinggi. Tapi jangan lupa ya, kerja apapun yang penting halal dan bikin orang senang."

Aku mengangguk meski belum paham benar maksudnya.

Hari itu, pelanggan Bapak banyak. Ada seorang ibu datang membawa setumpuk kain batik.

"Pak, ini mau dijahit buat seragam hajatan bulan depan."

"Wah, seragam hajatan ya... Ada ukurannya?"

"Ada, saya catat di kertas ini. Yang satu pinggangnya agak melar. Itu Pak RT."

Bapak menyambut semua dengan sabar. Senyumnya tipis, tapi hangat. Tangannya terus bekerja, matanya penuh konsentrasi. Di antara kesibukan itu, sesekali Bapak menoleh padaku.

"Le, ambilin meteran di rak, ya."

"Yang kuning?"

"Iya. Nah, kamu sudah bisa bantu sekarang."

Aku bangga luar biasa. Rasanya seperti jadi asistennya. Bapak tidak pernah marah kalau aku salah ambil atau menjatuhkan jarum pentul. Tapi dia selalu menegur pelan.

"Hati-hati, jarum itu kecil tapi bisa bikin sakit."

"Iya, Pak..."

"Sama kayak kata-kata."

Aku tak mengerti waktu itu. Tapi sekarang, aku tahu maksudnya dalam sekali.

---

Sore hari, langit mulai jingga. Kios ditutup setengah. Bapak duduk di kursi kecil rotan sambil minum teh manis. Aku duduk di sebelahnya, mengayun-ayunkan kaki.

"Pak, kenapa sih namanya Favorit?"

"Karena harus jadi tempat favorit orang. Bapak pengen, orang datang ke sini pulang dengan senyum."

"Biar kayak toko baju di mall?"

"Nggak harus kaya, yang penting berkah. Rejeki itu nggak selalu uang. Bisa juga doa."

Kata-kata itu menempel di ingatanku. Apalagi saat malam, ketika semua tenang, dan kami hanya bertiga di rumah kecil: aku, Bapak, dan Mama. Waktu itu, dunia terasa utuh.

Tapi waktu terus bergerak, dan hari-hari seperti itu menjadi langka. Aku tumbuh, dan rumah itu perlahan kehilangan satu suara.

Namun kenangan tentang "Favorit Tailor" tak pernah benar-benar hilang. Di sanalah tempat aku belajar arti kerja keras, ketekunan, dan cinta diam-diam seorang ayah kepada anaknya.