Cherreads

Chapter 2 - CHAPTER 02 NOSTALGIA MASA KECIL

Ghadah sedang bercermin di meja rias miliknya. Memoles make up tipis di wajahnya agar terlihat lebih segar. Brantley yang baru selesai mandi, keluar hanya dengan menggunakan celana bokser dan handuk yang ia dipakai untuk mengeringkan rambut. Senyum tersungging di bibirnya mengingat kejadian semalam. Ghadah betulan menepati janjinya. Masih terbayang-bayang bagaimana Ghadah pasrah di bawah kungkungan Brantley. Bagaimana desahan-desahan manja keluar dari bibir manis milik istrinya. Itulah kenapa Brantley sangat bersemangat pagi ini. Dia mendekati istrinya yang tengah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Dia peluk istrinya lalu menghujani pipi Ghadah dengan ciuman.

Ghadah : "Mas, aku udah dandan, loh. Mau diberantakin lagi?" protes Ghadah. Karena ulah suaminya, jilbab yang sudah rapi jadi agak sedikit naik ke atas. Ghadah terpaksa membetulkan posisi jilbabnya lagi.

Brantley : "Makasih buat semalem, ya. Nikmat banget," ucap Brantley yang membuat muka Ghadah bersemu merah. Semalam mereka melakukan aktivitas hubungan suami istri.

Berbeda dengan malam-malam sebelumnya saat Ghadah masih tampak kaku dan belum begitu lihai. Wanita itu tampak belajar dengan cepat, meskipun belum seratus persen mahir.

Ghadah : "Udah, mas. Ihhh... pagi-pagi kok manja banget. Nanti telat, loh. Hari ini kan mas berangkat kerja. Itu seragamnya udah aku setrika, tinggal pakai," ucap Ghadah seraya melerai tangan suaminya dari tubuhnya.

Brantley : "Aduh, perhatian banget sih, istriku tersayang. Beruntung deh aku nikah sama kamu. Apa-apa dah disiapin," gombal Brantley.

Sekali lagi dia mengecup ujung bibir Ghadah lama. Kali ini wanita itu pasrah dan diam saja. Tapi bola matanya menatap pojok ruangan dengan raut jengah. Memang suaminya yang satu ini paling ngeyel kalau sudah dibilangin. Untung saja hanya dicium, bukan diunyel-unyel. Bisa berantakan make up-nya.

Ghadah : Udah, mas. Nanti gak selesai-selesai, loh. Aku bisa terlambat nanti.

Brantley : Ah, kalo ditegur tinggal bilang aja lagi melayani suami yang perkasa ini. Mereka pasti maklum kan pengantin baru.

Mata Ghadah sontak membulat mendengar ucapan Brantley. Kalau itu sampai terjadi bisa-bisa dia jadi bahan tertawaan rekan kerjanya sampai satu minggu ke depan.

Brantley : "Iya deh, iya. Tapi nanti malem lagi, ya?" kata Brantley kemudian setelah mendapatkan lirikan tajam dari Ghadah. "Hmm..." Karena malas mendebat, wanita itu pun bergumam sambil mengangguk kecil yang membuat senyum di bibir Brantley semakin lebar.

Setelah sama-sama berpamitan, Ghadah berangkat menggunakan motor miliknya yang sudah setia menemani selama tiga tahun ini. Nafasnya berlangsung lega setelah berhasil lepas dari cengkraman macan yang sedang buas-buasnya. Ternyata Ghadah berangkat tidak terlalu kesiangan. Terbukti secara kebetulan saat memarkirkan motor dirinya bersebelahan dengan Brendan memarkirkan motor. Entah kebetulan atau memang disengaja oleh lelaki itu.

Brendan : "Assalamualaikum, Dah. Selamat pagi," sapa Brendan ramah.

Ghadah menoleh sekilas sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Waalaikumusalam," balasnya sekilas

Dia buru-buru menaruh helmnya di spion sebelah kanan lalu dengan cepat turun dari motornya dan beranjak dari situ.

Ghadah : "Duh, kenapa sih bisa pas banget datengnya!" gerutu Ghadah dalam hati. Dia kembali berjalan lebih cepat.

Tapi rupanya Brendan pantang menyerah. Dia berlari kecil hingga mampu meraih pergelangan tangan Ghadah. Wanita itu sontak terkejut menghadapi kelakuan Brendan yang amat nekat itu. Ghadah dengan kasar menarik tangannya lepas dari Brendan.

Ghadah : "Apa-apaan sih, pak Brendan! Jangan kurang ajar!" Ghadah murka. Bagaimana tidak, dia sudah menikah. Seenaknya saja pegang-pegang tangannya, apalagi ini di lingkungan sekolah. Pasti orang lain akan berpikiran negatif.

Brendan : Maaf, Dah. Bukan maksud aku kurang ajar sama kamu. Tapi kenapa kamu jadi seolah menghindar dari aku?

Ghadah : "Harusnya bapak tau kalo saya ini sudah menikah. Sudah sewajarnya saya jaga jarak dengan pria lain," omel Ghadah yang berubah jadi formal agar Brendan sadar, mereka tidak sedekat dulu lagi.

Wajah Brendan berubah nelangsa. Hatinya penuh nestapa. Ghadah yang semula marah menjadi kasihan. Tapi apa boleh buat, dia tidak punya pilihan lain. Dia tidak akan bersikap seperti ingin memberikan kesempatan pada Brendan. Dia ingin menegaskan pada lelaki itu jika dirinya sudah milik orang lain. Ghadah kemudian melangkah meninggalkan Brendan yang terdiam putus asa. Seperti kehilangan harapan untuk hidup. Wanita itu masuk ke kantor guru dengan perasaan yang kacau. Tidak dipungkiri jika ada rasa yang masih tersisa untuk pria yang baru saja ia tinggalkan. Meski sempit, tetapi di sudut ruang hatinya masih ada nama laki-laki itu.

Bu Rahimah : "Assalamualaikum, mba Ghadah. Kok mukanya ditekuk begitu. Enggak habis marahan kan sama misua? Masa pengantin baru marahan," sapa Bu Rahimah. Seperti biasa sikapnya penuh percaya diri dengan polesan make up sedikit over.

Ghadah : "Waalaikumusalam, Bu Rah. Enggak kok. Saya baik-baik aja." Ghadah menaruh tasnya di kursi meja tempatnya bekerja.

Bu Rahimah : "Oh, ya syukur kalo enggak papa. Barusan dicariin sama pak Brandon." Ghadah langsung mengangkat kepalanya setelah mendengar nama itu.

Ghadah : Kapan?

Bu Rahimah : Barusan, sekitar beberapa menit yang lalu, lah. Ditunggu di ruangannya, yah.

Ghadah : "Oh, makasih infonya, Bu. Habis ini saya ke sana." Ghadah membungkuk sebentar sambil menarik sudut bibirnya, lalu mengeluarkan Barang-Barang bawaannya yang dibutuhkan untuk mengajar. "Duh, pak Brandon mau apa, ya pagi-pagi begini nyariin aku?" Pikirannya terus bercabang. Suaminya, Brendan, kini pak Brandon.

Setelah semuanya rapi di atas meja, Ghadah pergi ke ruangan kepala sekolah. Dia mengetuk pintu lebih dahulu.

Pak Brandon : "Masuk!" ucap dari dalam sana.

Ghadah membuka knop pintu. Wajah pak Brandon yang biasanya sangat melunak ketika melihat siapa yang masuk. Ukiran wajah Ghadah benar-benar indah, membuat siapa saja pasti akan terkesima jika melihatnya.

Ghadah : "Ada apa bapak memanggil saya?" Ghadah kembali menutup pintu ketika sudah berada di dalam.

Pak Brandon : "Ah, duduk dulu, Dah," suruh pak Brandon. Ghadah langsung melaksanakan perintahnya. "Sengaja bapak panggil kamu pagi-pagi, soalnya bapak mau ngobrol soal ibu sama kamu."

Dahi Ghadah berkerut. "Ada apa sama ibu, pak?" Ghadah mulai menajamkan pendengarannya. Berharap semoga itu bukan kabar buruk.

Pak Brandon malah terkekeh. "Gak usah tegang gitu, Dah. Ibu gak papa kok."

Ghadah menghela nafas dalam. "Kemarin bapak bilang sama ibu kalo bapak ketemu sama kamu. Dia kaget tapi seneng. Katanya dia pengin ketemu sama kamu," ucap pak Brandon.

Ghadah : "Gitu, ya pak?" Ghadah meringis memamerkan giginya yang putih dan rapi.

Pak Brandon : Jadi?

Ghadah : Emm... kemarin juga saya udah minta ijin sama suami mau jenguk Bu Ghina. Katanya boleh.

Pak Brandon menegakkan posisi duduknya. Wajahnya terlihat senang. "Beneran? Alhamdulillah kalo gitu. Nanti pulang kerja kamu bisa mampir dong?" Ghadah mengangguk sembari tersenyum. "In syaa Allah bisa pak."

Pak Brandon : Ya udah. Kamu nanti ikut sama mobil bapak aja. Motormu biar ditinggal di sini aja. Biar nanti kamu gak usah repot-repot ngikutin mobil bapak dari belakang.

Ghadah : Eh, jangan pak. Saya gak enak masa dianterin bolak-balik.

Pak Brandon : "Gak papa, Dah. Bapak gak keberatan, kok." Namun Ghadah tetap kekeh tidak ingin merepotkan. Pak Brandon hanya pasrah. "Ya udah, Dah. Nanti sore kamu kabarin kalo udah selesai. Kita ke rumah bapak sama-sama." Ghadah hanya mengangguk.

Setelahnya, Ghadah kembali ke meja kerjanya sendiri untuk mempersiapkan mata pelajaran matematika yang dia ampu. Seharian para guru berkutat dengan pekerjaan mereka. Beruntung Ghadah sedang kebagian kelas yang muridnya cukup patuh. Jadi tidak terlalu makan hati. Setelah menyelesaikan kelas terakhirnya di hari itu, Ghadah mengambil ponselnya. Mengirim pesan kepada pak Brandon. "Saya sudah selesai, pak. Ini lagi beres-beres bentar," katanya di chat tersebut.

Hanya berselang beberapa detik, notifikasi pesan balasan dari pak Brandon muncul di layar ponselnya. "Ditunggu. Bapak udah di mobil, lagi manasin mesin."

Ghadah tidak membalas lagi. Dia kembali memasukkan Barang-Barangnya ke dalam tas. Sesudah beres, dia beranjak pergi ke tempat parkir.

"Dah." Ghadah melirik ke kanan ketika namanya dipanggil. Brendan, dia sudah ada di atas motornya juga bersiap untuk pergi ke rumah pak Brandon.

Ghadah mendesah kasar. "Kenapa sih harus ketemu sama Brendan lagi? Kebetulan yang di luar prediksi BMKG!"

Ghadah tidak menggubris. Dia pakai helm lalu menstarter motornya. Tidak ingin berlama-lama di situasi seperti ini. Namun lagi-lagi Brendan ngeyel. Dia malah menahan dashboard motor milik Ghadah.

Brendan : Dah, please. Bisa gak kita kayak biasa lagi. Jangan menghindar.

Ghadah menatap tajam. "Kayak biasa gimana maksudnya? Kayak dulu lagi? Kamu tau kan aku udah nikah. Kalo hubungan yang kamu maksud itu hubungan antar sesama rekan kerja, oke, aku mau. Tapi yang kamu lakuin ini udah kelewatan!"

Terlihat wajah Ghadah menahan emosi. Berbanding terbalik dengan Brendan yang wajahnya menampakkan seseorang yang sedang bersedih. "Dah, aku masih cinta sama kamu. Tolong kasih aku kesempatan lagi," kata Brendan dengan suara parau.

Tangan Ghadah sudah bergetar, namun berakhir dia memejamkan mata dan menghela nafas dalam. Emosinya hampir saja meledak.

Ghadah : "Mohon maaf pak Brendan yang terhormat. Tolong jangan pernah bilang seperti itu lagi. Kesempatan itu tidak akan pernah ada. Apa yang anda harapkan dari seorang perempuan yang sudah menikah? Menunggu itu sesuatu yang tidak pasti itu melelahkan. Asal bapak tau!" ujar Ghadah penuh sindiran.

Brendan : "Maafin aku, Dah. Bukan maksud aku buat gantungin kamu. Aku cuma lagi memantaskan diri untuk bisa bersanding sama kamu. Tapi aku janji, Dah. Mulai sekarang aku udah siap. Aku gak akan menunda-nunda lagi."

Ghadah memutar bola matanya malas. Brendan berbicara seolah-olah dia masih memiliki kesempatan. Ghadah malas mengurusi orang yang suka mengemis cinta seperti itu. Tidak mau ambil pusing lagi, Ghadah segera menarik gas motornya tanpa memperdulikan Brendan.

Pak Brandon tersenyum ketika melihat Ghadah muncul dari pantulan spion mobil Pajero-nya. Wanita itu berhenti di sebelah mobil. Pak Brandon membuat kaca mobilnya. "Udah siap?" tanya lelaki paruh baya itu.

Ghadah mengangguk. "Jangan cepet-cepet ya, pak," katanya sambil tersenyum menampilkan lesung pipi yang amat manis.

Mereka kemudian mulai melaju. Beberapa kali pak Brandon mengecek spionnya guna memastikan Ghadah tidak tertinggal. Setelah melalui perjalanan sekitar empat puluh menit, mereka akhirnya sampai di depan rumah yang cukup megah. Ghadah terkesima melihat desain rumah yang rapi dan enak di pandang, juga kesan klasik yang begitu kuat.

Pak Brandon : "Ayo masuk, Dah?" ajak pak Brandon ketika Ghadah masih sibuk mengedarkan pandangannya ke rumah itu.

Ghadah : "Iya, pak." Ghadah pun mengikuti langkah pak Brandon. Respon Ghadah saat masuk ke dalam rumah itu begitu takjub. Interiornya sungguh berkelas. Sudah bisa dipastikan jika itu bukan Barang murah. "Pak Brandon kerja apa, sih? Jadi kepala sekolah doang bisa bikin rumah sebagus dan semewah ini, atau punya usaha lain, ya?" batin Ghadah.

"Dah?!" Tubuh Ghadah tersentak saat merasa ada tangan yang mendarat di bahunya. "Eh, iya pak?"

"Kok bengong?" tanya pak Brandon. Ghadah menggeleng. "Gak papa, pak. Rumahnya bagus, hehehe..." jawab Ghadah canggung.

Pak Brandon hanya mengangguk sebagai respon. Dia lalu membawa bahu Ghadah yang dia rangkul untuk berjalan masuk. Ghadah tidak protes sama sekali.

Pak Brandon : "Ini kamar ibu," ucap pak Brandon saat berada di depan pintu sebuah kamar. Dia pun membukanya.

Di dalam ternyata Bu Ghina, istri pak Brandon tidak sendirian. Dia bersama tetangganya yang sering membantu. Setelah dipersilahkan pulang, pak Brandon baru masuk ke dalam kamar diikuti oleh Ghadah yang berada tepat di belakangnya sehingga tertutup badan besar pak Brandon.

Pak Brandon : "Bu, gimana, ada yang dirasa?" tanya pak Brandon penuh perhatian. Terlihat pria paruh baya itu begitu mencintai istrinya.

Bu Ghina : Ibu baik-baik aja, pak. Tadi agak nyeri di bagian leher tapi udah gak papa.

Pak Brandon kemudian memutar tubuhnya sedikit. "Bu, coba tebak bapak bawa siapa?"

Di situ Ghadah muncul dengan senyum khasnya. Menatap wanita yang sedang berbaring lemah di atas tempat tidur.

Ghadah : "Apa kabar, Bu Ghina? Masih kenal sama saya?" Ghadah mendekati ranjang, lalu berlutut di samping Bu Ghina.

Awalnya Bu Ghina bingung siapa yang suaminya bawa. Tapi dia ingat kemarin suaminya sempat mengatakan telah bertemu dengan sahabat putrinya.

"Kamu Ghadah?" tebak Bu Ghina. Ghadah tersenyum seraya mengangguk. "Iya, Bu. Aku Ghadah."

Mereka pun lantas berpelukan penuh keharuan. Ghadah mencondongkan tubuhnya karena Bu Ghina dalam posisi tiduran.

Bu Ghina : "Ya ampun, Ghadah kamu udah gede banget. Ibu pangling sama kamu," ujar Bu Ghina sembari mengusap punggung Ghadah.

Air matanya mengalir karena begitu bahagia. Perempuan yang semasa kecil ia rawat seperti anak sendiri kini tumbuh menjadi wanita yang amat sangat cantik.

Ghadah : "Iya, Bu. Kan aku sebaya sama Hayah, jadi udah gede juga, hehehe..." gurau Ghadah masih dengan rasa harunya. Hampir satu menit mereka belum melepaskan pelukan. Rasanya sayang momen nostalgia ini berlalu begitu saja.

Setelah pelukan itu terlepas, Ghadah duduk di tepi ranjang Bu Ghina. Mereka langsung larut dalam obrolan asik sampai-sampai pak Brandon diabaikan begitu saja. Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk keluar demi memberikan dua wanita berbeda generasi itu saling mengungkapkan rindu mereka. Pak Brandon pergi ke taman belakang rumah untuk sekedar merokok. Dua jam tidak terasa Ghadah sudah mengobrol panjang lebar dengan Bu Ghina. Kini Bu Ghina sudah tertidur. Awalnya Bu Ghina bersikeras meminta agar Ghadah menginap di sini, tapi setelah dijelaskan kalau ada yang menunggunya di rumah, akhirnya wanita paruh baya itu hanya bisa pasrah. Ghadah pun keluar dari kamar Bu Ghina mencari keberadaan pak Brandon untuk berpamitan pulang. Lelaki itu sudah ada di ruang tengah.

"Pak," panggil Ghadah. Pak Brandon menoleh. "Eh, Ghadah. Sini bentar deh." Ghadah terpaksa mengurungkan niatnya untuk pamit. Dia pun menghampiri pak Brandon.

Pak Brandon : Ibu lagi ngapain?

Ghadah : "Ibu udah tidur barusan." Pak Brandon mengangguk. Dia lalu menepuk-nepuk sofa di sebelahnya agar Ghadah duduk di sana.

Wanita itu juga penasaran dengan apa yang sedang dipegang oleh pak Brandon. "Apa itu, pak?" tanya Ghadah seraya duduk di sebelah pak Brandon.

Lelaki paruh baya itu membuka lembaran pertama. "Ini album foto pas kalian masih kecil." Ghadah memperhatikan foto pertama. "Ini foto kamu sama Hayah pas lagi di Dufan. Liat kalian mirip banget, kan?"

Secara wajah memang berbeda, tapi secara dandanan mereka berdua sama persis. Bahkan pakaian mereka adalah pakaian couple. Sama-sama dikuncir dua, gelang yang sama, bahkan sepatu yang sejenis. Ghadah tertawa melihat foto itu. Dia waktu masih kecil gayanya narsis. Beda sekali dengan sekarang yang agak malu-malu kucing. Foto kedua menampilkan dirinya yang tengah disuapi oleh Bu Ghina bersama dengan Hayah. Terlihat Bu Ghina benar-benar tulus menyayanginya seperti putrinya sendiri.

Pak Brandon : Yang ini pas lagi tamasya ke kebun teh. Waktu itu kamu habis berantem sama temenmu terus kamu disuapin lahap banget sama ibu.

Ghadah tersenyum sambil mengangguk ingat. Di dalam foto masih terlihat air mata di pipinya yang telah mengering ketika disuapi oleh Bu Ghina. Foto ketiga ketika mereka sudah masuk sekolah dasar. Ghadah dan Hayah saling berangkulan dengan memakai seragam SD.

Pak Brandon : "Ini foto hari pertama kalian masuk SD. Katanya kamu sempet ngambek karena gak dapet bangku di samping Hayah," ucap pak Brandon sambil terkekeh.

Ghadah pun menatap protes. "Ih, siapa bilang aku ngambek, pak? Bukan gitu kejadiannya. Jadi waktu itu si Brennus yang katanya naksir sama Hayah tiba-tiba ngerebut bangku aku terus aku disuruh pindah, ya aku protes dong, pak!"

Ucapan Ghadah justru membuat tawa pak Brandon semakin keras dan menggelegar. Ghadah pun terkejut plus malu karena ucapannya sendiri. "Hak... hak... hak... anak kecil masih SD udah pada naksir - naksiran."

Ghadah secara reflek mencubit perut bulat pak Brandon. "Ih, pak! Namanya juga cinta monyet. Tapi Hayah kan nolak dan lebih milih duduk sama aku."

Pak Brandon kesulitan menghentikan tawanya. Ternyata tawa renyah pak Brandon menular ke Ghadah. Terbukti Ghadah ikutan tertawa mengingat hal konyol yang terjadi di masa lalu. Bahkan itu kali pertama dia bisa tertawa lepas setelah beberapa tahun lamanya sampai air matanya ikut keluar. Pak Brandon memindahkan tangan kanannya ke belakang kepala Ghadah lalu menarik bahunya agar duduk semakin mendekat dengannya hingga lengan kiri Ghadah menyentuh dada bergelambir milik pak Brandon. Mungkin karena tensinya yang cukup dekat membuat Ghadah sama sekali tidak risih dengan posisi itu. Malah dia sengaja merebahkan badannya ke arah pak Brandon. Kaki kanannya ia silangkan di atas paha kirinya membuat posisi duduknya condong ke kiri. Lembar berikutnya dibuka. Foto keempat itu menampilkan Ghadah yang tersenyum lebar sedang dibopong dan dicium pipinya oleh pak Brandon, sedangkan Hayah, sahabatnya menangis memeluk kaki ayahnya.

Pak Brandon : "Tuh liat. Waktu kecil kamu usil banget. Suka banget bikin Hayah iri pas kamu dapet bagian dicium bapak." Wajah Ghadah memerah karena malu.

Ghadah menelan ludahnya susah payah. Kalau dibayangkan sekarang terasa sangat menggelikan. Ghadah tertawa sendiri mengingat hal itu.

Pak Brandon : "Nah disebelahnya kamu yang nangis pas bapak cium Hayah, hak... hak... hak..." Pak Brandon kembali tertawa diselingi tawa kecil dari Ghadah.

Ghadah : "Aduh, pak. Jangan diingat-ingat lah, pak. Kan malu..." Ghadah menutupi mulutnya sendiri dengan telapak tangan agar tawanya tidak kentara.

Tiba-tiba tanpa diduga kepala Ghadah yang dibalut jilbab coklat dicium oleh pak Brandon. Ghadah sedikit terkejut. Namun sejurus kemudian pak Brandon mengusap-usap bahu kanan Ghadah lalu berkata. "Bapak jadi kangen sama kamu yang dulu, yang suka minta cium, minta gendong. Sekarang kamu udah besar. Udah nikah juga, bentar lagi punya anak."

Suara pak Brandon terdengar lembut, pelan. Membuat suasana menjadi hening. Matanya berkaca-kaca. Sekali lagi, bahkan dua kali pak Brandon kembali mencium kepala Ghadah. Kali ini sedikit lebih ke bawah.

Pak Brandon : "Mungkin sekarang kamu udah besar. Tapi bagi bapak kamu masih Ghadah kecil kesayangan bapak." Lagi, pak Brandon mencium Ghadah lebih ke bawah. Sekarang sudah berada di pipi kirinya.

Ghadah mencoba melengos tapi dagunya ditarik ke arah pak Brandon sehingga Ghadah tidak bisa menghindar. Tangannya ia letakkan di atas paha pak Brandon demi menahan tubuhnya. Ghadah hanya bisa meneguk saliva sambil menatap ke langit-langit rumah. Dia membiarkan pak Brandon mencium pipinya lama. Dia berpikir pak Brandon hanya rindu dengan masa lalu mereka yang selalu bersama. Bahkan Ghadah mulai merasakan ciuman itu bukan hanya mengecup tapi juga mengendus, menghirup aroma wajah Ghadah dengan suara aliran angin masuk melalui lubang hidung pak Brandon yang cukup besar.

Ghadah memaksa menghentikan pak Brandon ketika ciuman lelaki itu sudah sampai di ujung bibirnya. "Ehmm... pak." pak Brandon tersadar lalu menjauhkan bibirnya dari wajah Ghadah.

"Maaf, Dah. Bapak cuma kangen. Pengin nostalgia pas kamu masih kecil. Berasa baru kemarin kejadiannya." Ghadah mengangguk. "Iya gak papa, pak." Dia masih memaklumi, meskipun di dalam hatinya dia merasa agak janggal.

Terus mereka melihat lagi album foto tersebut. Mata Ghadah nyaris melompat ketika melihat foto berikutnya. Di foto itu memperlihatkan dua orang anak kecil sedang dimandikan oleh seorang wanita dewasa.

Ghadah : "Loh, pak. Kok ada foto ini? Kapan ngambilnya?" Sungguh Ghadah merasa sangat malu. Mukanya sudah merah padam. Pasalnya saat itu dia tengah bergaya sambil telanjang bulat. Gayanya narsis sekali.

Pak Brandon : Hahaha... itu kamu gak inget? Itu pas kalian berdua habis main hujan-hujanan terus sama ibu disuruh mandi. Bapak sendiri yang fotoin, kok.

Ghadah memegangi pipinya yang merah. "Aduh, pak. Malu-maluin banget. Kek gitu pake acara difoto."

Pak Brandon : "Malu-maluin gimana? Orang kamu aja keliatan pede gitu. Hehehe... kalo inget waktu itu, bapak jadi pengin mandiin kamu lagi, hehehe..." canda pak Brandon.

Ghadah : "Bapak!" kesal Ghadah. Tapi jujur, dalam hati dia tidak marah sama sekali. Karena dia tahu kalau pak Brandon hanya bercanda.

Pak Brandon mengusap-usap kepala Ghadah lalu kembali mendekatkan wajahnya untuk mencium pipinya. Tapi kali ini Ghadah bergerak lebih cepat. Dia menahan bibir pak Brandon dengan telapak tangannya.

Ghadah : "Udah, pak. Nanti pipi Ghadah jadi bakpao kalo diciumin terus," kekeh Ghadah.

Tiba-tiba Ghadah sadar jika dia sudah berada di sana terlalu lama. "Eh, pak. Udah jam berapa sekarang? Aduh. Suami Ghadah pasti udah pulang."

Ghadah bangkit dan berpamitan. Namun saat membuka pintu rumah pak Brandon. "Loh, ternyata lagi hujan. Gak kedengaran dari dalam. Mana aku gak bawa mantel lagi," keluh Ghadah. Wajar saja. Di dalam rumah cukup kedap suara. Jadi apa yang terjadi di luar tidak akan terdengar dari dalam.

Pak Brandon : Ya, udah. Kalo gitu bapak anter aja kamu pake mobil. Motor kamu masukin ke garasi. Besok kamu berangkat sama suami kamu atau kalo suamimu enggak bisa bapak yang jemput.

Ghadah : "Jangan, pak. Aku gak mau ngerepotin," tolak Ghadah.

Pak Brandon menarik tangan Ghadah secara sepihak. "Kamu ini udah bapak anggap seperti anak bapak sendiri. Mana mungkin bapak ngerasa direpotin."

Akhirnya Ghadah mengalah. Tapi itu bukan ide yang buruk juga. Besok dia akan minta suaminya untuk mengantarkan ke sekolah. Daripada harus hujan-hujanan, bisa-bisa seragamnya basah dan tidak bisa dipakai lagi besok.

Bersambung…

JANGAN LUPA KOMEN, VOTE DAN FOLLOW, AYOO MARI BANTU ADMIN SUPAYA BISA LANJUTIN KARYA INI...

KALO ADA LEBIH REJEKI BOLEH DONASI KE ADMIN SUPAYA LEBIH SEMANGAT LAGI UPDATE NYA...

JANGAN LUPA JUGA FOLLOW SOSIAL MEDIA ADMIN

INSTAGRAM : @WIDASU.ID

INFORMASI!!! NANTI AKAN ADA KONTEN PREMIUM BERGENRE : NTR, GANGBANG, PEMERKOSAAN, CUKOLD DLL DARI KARAKTER YANG UDAH GW BUAT DI KARYA INI...

JADI BUAT KALIAN YANG MINAT BELI KONTEN PREMIUM GW, BISA KONTAK SOSIAL MEDIA GW ATAU KE PLATFORM SEBELAH YAITU KARYAKARSA!!!

TERIMAKASIH KEPADA PEMBACA YANG SUDAH DUKUNG KARYA INI...

More Chapters