Setelah pertemuannya dengan Raka, Rangga makin yakin bahwa masa lalu bukanlah penghalang untuk berubah, tapi fondasi kuat untuk membangun masa depan. Bersama Abah, Mimih, dan teman-teman baru, ia mulai ikut pelatihan-pelatihan dari Telin tentang digitalisasi, data, dan pengelolaan usaha. Ia belajar cara mencatat pemasukan dan pengeluaran bengkel, promosi sederhana lewat media sosial, sampai bagaimana melayani pelanggan dengan baik.
Sore itu, setelah pelatihan digital, Abah memanggil Rangga ke ruangannya.
> "Rangga, ada kabar baik. Kamu dapat beasiswa pendidikan dari program Sahabat Pintar. Kamu bisa sekolah lagi, sambil terus kembangkan bengkelmu."
Rangga terdiam. Matanya berkaca-kaca. Dulu, waktu dikeluarkan dari sekolah karena berkelahi, ia kira itu akhir segalanya. Tapi hari ini, ia tahu itu cuma awal dari jalan panjang menuju mimpi.
> "Abah… makasih. Rangga nggak nyangka bisa sampai sejauh ini."
> "Kamu bisa lebih jauh lagi, Nak. Yang penting, tetap rendah hati dan jangan lupa ajak orang lain naik bareng."
Hari-hari selanjutnya, Rangga kembali ke bangku sekolah, kali ini dengan semangat yang berbeda. Ia bukan anak yang terpaksa belajar, tapi anak yang ingin tahu, ingin bisa, dan ingin tumbuh. Di luar jam sekolah, ia tetap membuka bengkelnya, membagi waktu antara ilmu dan karya.
Bengkel "Langkah Kecil" pun pelan-pelan dikenal orang. Ada yang datang bukan cuma untuk servis motor, tapi juga untuk ngobrol, curhat, bahkan belajar. Rangga menjadikannya ruang tumbuh—karena ia tahu, anak-anak seperti dirinya cuma butuh satu hal untuk berubah: kesempatan.
Dan ia bertekad, akan terus jadi bagian dari kesempatan itu untuk orang lain.
---
> "Gue nggak pengen jadi orang besar sendiri. Gue pengen semua yang pernah susah, bisa bareng-bareng berdiri."
– Rangga, 17 tahun.