Cherreads

Chapter 17 - BAB 17: TANTANGAN DAN KONFLIK BARU

Pagi pun menyapa Akademi Astrea. Sinar matahari menembus tirai-tirai kelas, menyinari meja dan kursi yang mulai dipenuhi para siswa. Termasuk Rion, yang seperti biasa duduk di pojok belakang dekat jendela, tampak tenang dengan tatapan kosong menatap langit biru.

Di barisan depan, para pahlawan—Daiki, Haruto, Yui, Aiko, dan Rin—berdiskusi ringan sambil menunggu guru masuk. Tak lama, langkah sepatu hak terdengar dan seorang wanita elegan berambut putih masuk membawa beberapa dokumen.

Professor Maelis, salah satu guru utama Akademi Astrea, berdiri di depan kelas.

“Selamat pagi. Hari ini aku membawa kabar penting,” ucapnya sambil membuka gulungan kristal sihir. “Kita menerima tantangan dari Akademi Malgrim. Mereka mengundang kita untuk mengikuti Turnamen Antar-Akademi.”

Ruangan langsung riuh.

“Turnamen lagi?”

“Mereka itu keras kepala sekali…”

Namun Maelis mengangkat tangan untuk menenangkan suasana. “Namun… tahun ini berbeda. Mereka menuntut pertandingan khusus, duel langsung antara para pahlawan.”

Para siswa mulai berbisik khawatir, terutama karena duel terbuka antara pahlawan bisa sangat berbahaya.

“Perwakilan kita sudah jelas,” lanjut Maelis, “kelima pahlawan yang dipanggil ke dunia ini—Daiki, Haruto, Aiko, Yui, dan Rin.”

“Tidak hanya itu… mereka juga meminta satu peserta tambahan.”

Maelis memandangi seluruh kelas, lalu matanya berhenti pada Rion.

Ruangan langsung menjadi hening. Beberapa siswa mulai berbisik pelan.

“Kenapa harus dia?”

“Dia bahkan bukan pahlawan…”

“Tidak pernah melihat dia berlatih serius juga.”

Elysia langsung menoleh ke arah mereka dengan tatapan tajam, namun tak berkata apa-apa.

Daiki bangkit dari kursinya. “Aku yang merekomendasikan dia.”

Haruto ikut menambahkan, “Kalau dia ikut, kemungkinan menang kita meningkat.”

Maelis mengerutkan dahi. “Tapi Rion bukan murid yang terdaftar sebagai pahlawan… dia bahkan tak terdaftar di bagian ujian sihir.”

“Biar begitu,” ucap Yui dengan tenang, “dia tetap salah satu dari kami.”

Para guru tampak ragu, namun akhirnya Maelis menghela napas. “Baiklah… Rion, kau bersedia?”

Rion menoleh dengan mata setengah sayu dan mengangguk pelan. “Kalau itu yang kalian minta.”

Di luar kelas, sebelum sempat suasana tenang kembali, suara ledakan bergema dari arah gerbang akademi. Semua siswa bergegas keluar.

Tampak di depan gerbang lima sosok berjubah hitam berdiri dengan tenang. Aura tekanan kuat mengalir dari mereka. Di tengahnya, seorang pemuda berambut perak dan mata merah tersenyum sinis.

“Perkenalkan. Aku Zevran Nachtveil, Ketua Tim Akademi Malgrim,” katanya dengan nada santai namun menusuk. “Kami datang… untuk menyampaikan tantangan langsung.”

Tatapan Zevran tertuju pada para pahlawan, namun sesekali matanya melirik ke arah Rion.

“Dengar baik-baik,” lanjutnya, “kami tidak datang hanya untuk bertarung. Kami ingin menunjukkan siapa yang pantas disebut sebagai pahlawan sejati.”

Rion hanya diam di belakang, tanpa ekspresi. Elysia dan Seraphina berdiri di sisi Rion secara refleks. Para siswa Akademi Astrea tampak terintimidasi, tapi para pahlawan maju dengan langkah mantap.

Zevran tersenyum miring. “Sampai jumpa di arena. Kuharap kalian tidak kabur.”

Seketika, kelima sosok dari Akademi Malgrim menghilang dalam kilatan sihir teleportasi.

Maelis tampak serius. “Persiapkan diri kalian. Turnamen ini… bukan hanya pertandingan biasa.”

Rion hanya berdiri di belakang, dikelilingi oleh dua gadis yang mulai khawatir padanya namun tetap bersaing diam-diam. Di antara ketegangan dan persaingan, satu hal jelas—meski Rion dianggap remeh oleh banyak orang, kebenaran tentang dirinya… perlahan akan terungkap.

Dan konflik baru pun telah dimulai.

 

Senja mulai turun di langit Astrea. Di taman kecil belakang akademi, sinar jingga menyinari dedaunan dan rumput yang tertiup angin perlahan. Rion duduk di bangku batu di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran, tampak tenang seperti biasa. Tak lama kemudian, Elysia datang membawa dua gelas teh hangat.

“Aku tahu kau suka tempat ini,” katanya sambil duduk di samping Rion. “Tapi kau terlalu sering menyendiri, tahu?”

Rion menerima gelas teh dari Elysia dan tersenyum kecil. “Tempat ini tenang. Kadang terlalu ramai membuat pikiranku tak bisa diam.”

Elysia menatap wajah Rion dalam-dalam. “Kau tahu... Aku hanya ingin kau lebih terbuka. Tak peduli sekuat apa pun kau, kami tetap temanmu, Rion.”

Rion menoleh padanya, mata kelamnya terlihat lebih lembut. “Terima kasih, Elysia.”

Beberapa langkah dari mereka, Seraphina terlihat berdiri di belakang pohon sambil memperhatikan dari kejauhan. Dengan wajah agak cemberut, ia akhirnya berjalan mendekat.

“Apa kalian pikir adil tidak mengajakku minum teh bersama?” katanya sambil menyilangkan tangan.

Elysia mendesah. “Phina, aku cuma ingin waktu sebentar dengan Rion.”

“Begitu? Kalau begitu sekarang giliranku.” Seraphina langsung duduk di sisi lain Rion dan menyenderkan sedikit tubuhnya ke arah Rion.

“Ka-kau terlalu dekat!” ucap Elysia.

“Kenapa? Rion tak keberatan, kan?” kata Seraphina sambil memandang Rion.

Rion hanya mengangkat bahu dengan ekspresi netral. “Kalian berdua terlalu energik hari ini…”

Seraphina terkekeh. “Kalau aku terlalu dekat, mungkin karena aku tidak tahan kalau terlalu jauh darimu, Rion~.”

Elysia langsung membuang muka, wajahnya merah padam. “Kalau begitu aku juga... akan duduk lebih dekat!”

Dan kini, Rion berada di tengah dua gadis yang secara tak langsung bersaing. Rion menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Kalian berdua... menyusahkan.”

Namun di dalam hati, ia merasa... sedikit hangat.

 

Keesokan harinya. Lapangan latihan Akademi Astrea.

Matahari pagi memancar cerah. Debu dan keringat bercampur di udara saat para pahlawan—Daiki, Yui, Haruto, Aiko, dan Rin—berlatih keras menghadapi turnamen.

“Seranganmu masih terlalu terbuka, Haruto!” teriak Daiki sambil menangkis tebasan.

“Yui, bantuanku dari belakang!” Aiko berteriak saat menciptakan sihir pelindung.

Namun, di ujung lapangan, tampak Rion hanya berdiri diam, menyandarkan diri pada pohon, menatap semua dengan tenang. Ia tidak ikut berlatih. Bahkan saat Elyndor mengajaknya, ia hanya berkata:

“Aku lebih memilih mengamati untuk sekarang.”

Beberapa siswa yang memperhatikan langsung mulai berbisik.

“Dia bahkan tak latihan...”

“Benar-benar jadi beban, bukannya membantu.”

“Kenapa dia ikut turnamen ini, sih?”

Tak hanya murid, Professor Maelis pun tampak mengerutkan alis. Ia menatap Rion dari jauh sambil melipat tangan.

“Kalau dia terus begini... aku tak bisa menjamin keselamatan tim mereka.”

Namun Daiki, yang menyadari pandangan meremehkan itu, hanya berkata dalam hati, "Mereka tak tahu... bahwa Rion bukan hanya sekadar siswa biasa."

Elysia yang sedang membawa air untuk Rion mendekat. “Kau tak berniat latihan sedikit pun?”

Rion menggeleng. “Saat waktunya tiba, aku akan bertarung.”

Elysia terdiam sesaat, lalu mengangguk. “Kalau begitu... aku percaya padamu. Tapi hati-hati, mereka semua mulai meragukanmu.”

Rion hanya tersenyum tipis. “Sudah biasa.”

Langit perlahan berubah jingga, menandakan latihan hari itu hampir usai. Sementara semua murid tertatih lelah, Rion tetap berdiri dengan tenang, diam seperti bayangan... namun pandangannya tajam seperti pedang yang belum dihunus.

Dan tak ada yang tahu—bahwa saat badai datang nanti, bayangan itulah yang akan menjadi perisai terakhir mereka.

More Chapters