Cherreads

Chapter 7 - BAB 7: SANG BAYANGAN DAN IBLIS YANG MEMBEKU

Mereka semua kini benar-benar terpojok. Nafas tersengal, tubuh lelah, dan sihir mereka hampir habis.

“Apa? Sudah kelelahan? Ayo, serang aku lebih kuat lagi!” seru Azazil sambil tertawa lebar, mempermainkan mereka yang mulai putus asa.

Namun, tawa Azazil perlahan mereda saat pandangannya jatuh pada satu sosok—Rion.

Wajah bocah itu… tetap tenang. Bahkan tidak menunjukkan sedikitpun ketakutan.

“Hm? Kenapa bocah itu tak terlihat gentar seperti yang lain?” gumam Azazil dengan mata menyipit.

Tiba-tiba, Azazil mengangkat tangannya. Sebuah busur kegelapan muncul, lalu ia menariknya dan melesatkan panah gelap tepat ke arah Elysia yang berdiri agak jauh dari kelompok!

“TIDAAAK!!”

Jeritan mereka menggema bersamaan.

Namun—

“Lumayan… untuk penguasa level 80.”

Sebuah suara datar terdengar dari depan Elysia.

Mata mereka membelalak. Rion kini berdiri di depan Elysia, tangan kanannya diselimuti energi es, memegang busur kegelapan itu hingga pecah berkeping-keping. Mata kirinya bersinar biru terang, penuh aura dingin.

“R-Rion?” ucap Elysia lirih, terkejut dan tak percaya.

Guru Leon ikut tercengang, “Apa?! Bukankah... dia barusan masih jauh di depan Elysia! Bagaimana dia bisa… secepat itu?”

Rion melangkah maju perlahan, sorot matanya tajam.

“Sepertinya... aku memang harus turun tangan sekarang.”

Satu mata birunya menyala terang. Senyum tipis terlukis di wajahnya.

“Hahaha! Ini baru perlawanan!” Azazil tertawa puas, menantikan pertarungan sebenarnya.

Kini keduanya berdiri saling berhadapan. Aura membunuh mereka meledak keluar. Udara di sekitar terasa berat dan mencekik. Bahkan batu-batu di lantai mulai retak karena tekanan sihir yang dilepaskan.

“A-apa ini… hawa membunuh macam apa ini…?!” Leon gemetar, matanya tak bisa lepas dari mereka.

Elysia dan yang lainnya pun mundur satu langkah tanpa sadar, peluh membasahi dahi mereka.

“Saatnya... membalas kesenangan dengan kesenangan,” ucap Rion dengan senyum dingin.

“HAHAHAHA! Ayo kita mulai pertarungan ini!” Azazil tertawa lepas.

Pertarungan pun dimulai.

Rion melesat seperti kilat, menghantam Azazil dengan pukulan es yang membekukan udara sekitarnya. Azazil menangkis dengan tombak bayangan, menciptakan gelombang kejut yang merobek tanah.

Keduanya saling menyerang cepat, serangan sihir es dan kegelapan bertabrakan dalam dentuman hebat. Ruangan dungeon bergetar, dindingnya runtuh sedikit demi sedikit.

“I-itu… Rion?!”

Aiko menutup mulutnya, matanya membelalak.

“Dia... bahkan belum memakai sihir sebelumnya...” Rin bergumam, terkesima.

“B-Bagaimana bisa seorang murid... bertarung melawan iblis level 80... dan menang?!”

“Luar biasa...” gumam Haruto yang tak berkedip.

Elysia menatap Rion dengan mata berkaca. “Dia... benar-benar berbeda.”

Guru Leon bergetar hebat. “Makhluk macam apa... Rion sebenarnya...?”

Rion mulai menekan Azazil dengan kecepatan yang terus meningkat. Serangannya semakin dingin, semakin tajam, hingga akhirnya—

“Kuh... Brengsek! Kalau begitu...!”

Azazil melompat ke belakang dan mengangkat tangannya ke udara.

“KEMARI, PARA PELAYANKU!!”

Teriaknya menggema seperti petir.

Seketika muncul gerombolan monster tingkat-S, tubuh mereka besar, bersisik, bermata merah. Mereka mengerang buas lalu mengarah ke teman-teman Rion yang kelelahan.

“Serang mereka yang di belakang!” perintah Azazil.

Aiko, Rin, Haruto, dan Elysia bersiap seadanya, tubuh mereka gemetar karena tak sanggup lagi bertarung. Guru Leon menghunus pedangnya, meski tangan kanannya sudah gemetar hebat.

“Jadi, bagaimana caramu melindungi mereka?” ejek Azazil. “Apa kau akan membiarkan mereka mati demi egomu?”

Rion menghela napas. “Cih… dasar pengecut.”

Ia menengadah ke atas.

“Ice Domain.”

Seketika itu juga—

DUNGEON YANG GELAP berubah menjadi dunia kristal es. Dinding, lantai, dan langit-langit bersinar kebiruan. Kristal menggantung seperti duri, suhu turun drastis.

Monster-monster yang menyerbu berhenti seketika. Tubuh mereka menggigil… lalu membeku.

“A-Apa ini...?”

Aiko mundur beberapa langkah, matanya membesar.

Rin nyaris tak bisa bicara. “Itu… kekuatan seperti itu...”

“Gila… ini… bukan level murid lagi!” Haruto berseru kagum.

Elysia hanya bisa menatap Rion, bibirnya bergetar. “Kau... siapa sebenarnya?”

Guru Leon menatap pemandangan itu, tubuhnya gemetar, “Itu... itu bahkan bukan sihir tingkat tinggi. Ini... di atasnya.”

Rion menatap Azazil dengan datar.

“Sepertinya hanya sampai di sini, ya.”

Ia mengangkat tangan.

“Frozen Execution.”

Sihir itu menyelimuti Azazil dalam sekejap. Iblis itu berteriak, tapi dalam beberapa detik, tubuhnya membeku sempurna—terperangkap dalam es kristal biru abadi.

Ding!

“Skill baru tercatat.”

Suara sistem terdengar di benaknya.

“Skill...?” gumam Rion. Ia membuka statusnya.

 

STATUS

1. Nama: Rion

2. Usia: 16 tahun

3. Ras: Manusia

4. Level: 100

5. Skill: Pengendali Bayangan

 

“Pengendali bayangan…?” bisiknya.

“Menarik... sepertinya aku akan mencobanya.”

Rion berjalan ke arah mayat Azazil yang membeku. Ia mengangkat satu tangan ke depan.

“Shadow Possession.”

Seketika, bayangan hitam pekat menyelimuti es Azazil. Dari tubuh yang beku itu, muncul sosok Azazil versi bayangan—berkulit hitam seperti kabut, bermata merah menyala, dengan aura dingin namun tunduk.

Sosok itu berlutut.

“Aku siap melayani Anda, Tuanku.”

Rion menatapnya datar.

“Tuanku...? Jadi... dia sekarang pelayanku?”

Semua hanya bisa memandangi kejadian itu dalam diam, tubuh mereka tak mampu bergerak karena syok.

 

Rion yang masih berdiri di tengah domain es yang mulai mencair perlahan, menyadari kalau dia telah menunjukkan terlalu banyak. Tatapannya berubah dingin kembali, dan langkahnya yang tenang mengarah ke tempat Aiko, Rin, Haruto, Elysia, dan guru Lion berdiri membeku dalam diam.

"Jangan katakan kejadian ini kepada siapa pun," ucap Rion, dengan suara yang datar tapi sarat tekanan. Tatapan matanya menusuk, tapi bukan karena amarah—melainkan karena permohonan.

"Ini... rahasia kita saja."

Semua terdiam. Suasana hening, hanya suara es yang retak dan tetesan air yang jatuh ke lantai dungeon menemani.

Guru Lion yang tadi hampir kehilangan semangat tempurnya kini menatap Rion dengan mata yang membelalak, keringat dingin masih mengalir di pelipisnya. "Anak ini... bukan sembarang murid. Kekuatannya—apa itu bahkan masih dalam ranah manusia?"

Rin yang biasanya cerewet hanya bisa menatap kosong ke arah Rion, bibirnya sedikit terbuka, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. "Dia... dia bukan hanya kuat... dia seperti—makhluk dari legenda..." bisiknya lirih.

Aiko menatap Rion dengan tangan gemetar. "Tadi... sihir itu... itu sihir tingkat tinggi yang bahkan guru besar pun tak bisa mengendalikan... siapa sebenarnya kamu, Rion...?"

Haruto yang biasanya rasional, menatap sahabat barunya itu dengan rasa kagum sekaligus cemas. "Tak kusangka... seseorang sekuat ini bisa tetap terlihat biasa... bahkan pendiam..."

Namun di antara mereka, Elysia-lah yang paling terpukul. Ia memegang dadanya yang berdebar kencang, bukan karena takut, melainkan karena rasa campur aduk dalam dirinya. Ketakjuban, kegelisahan... dan sebuah rasa yang sulit dijelaskan.

"Aku tak pernah melihat tatapan sekuat itu... tidak bahkan di antara para pahlawan..." gumam Elysia dalam hati. Ia lalu menunduk dan menggenggam erat rok gaunnya.

"Aku... ingin tahu siapa kamu sebenarnya, Rion."

 

Mereka pun memutuskan untuk kembali ke permukaan dungeon dengan bantuan sihir teleportasi milik guru Lion, setelah memastikan bahwa dungeon itu untuk sementara aman dari ancaman Azazil dan para pengikutnya. Bayangan Azazil, yang kini sepenuhnya tunduk pada Rion, menghilang dalam gelap—dipanggil kembali ke dalam tubuh bayangan Rion.

Saat mereka sampai kembali di akademi Astrea, malam telah turun. Langit gelap bertabur bintang, namun suasana hati mereka masih berat, terutama oleh pikiran yang berputar-putar tentang siapa sebenarnya Rion.

Elysia berjalan perlahan di belakang Rion, ingin berbicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Saat akhirnya Rion hendak kembali ke asramanya, Elysia memanggil dengan suara lembut:

"Rion… terima kasih… karena sudah melindungiku tadi."

Rion menoleh sedikit, tak sepenuhnya memalingkan wajahnya. "Itu bukan apa-apa."

"Tapi bagiku itu segalanya," gumam Elysia, hampir tak terdengar.

Rion hanya terdiam sebentar, lalu melanjutkan langkahnya. Tapi Elysia tahu… ada sesuatu yang sangat besar dan dalam tersembunyi di balik tatapan dingin anak laki-laki itu.

More Chapters