Tiga hari berjalan kaki ke arah ibu kota Liang bukanlah perjalanan ringan bagi seorang anak lelaki berusia dua belas tahun. Apalagi di sepanjang jalur selatan, setiap jengkal tanah masih menyimpan bara dari desa-desa yang dibakar. Tsun Zhu melintasi kebun-kebun hancur, ladang yang ditinggalkan, dan jembatan gantung yang tinggal separuh. Tapi ia tidak berhenti. Ia tidak menangis. Ia tidak bicara.
Ia hanya menggenggam erat kitab "Seni Keheningan" di dada dan kipas bambu di tangan—benda sederhana yang telah menemaninya sejak kecil. Tapi sore itu, ketika ia menyeberangi perbatasan luar Liang dan tiba di gerbang kota kecil bernama Wulan, kipas itu retak. Gagangnya patah. Daunnya sobek karena tertimpa batu saat Tsun Zhu tergelincir di lereng.
Ia terduduk di tepi jalan. Matanya tak berkedip memandangi kipas itu, seolah memandangi bagian dirinya yang ikut patah. Kipas itu bukan sekadar alat. Itu adalah satu-satunya peninggalan yang ia tahu berasal dari masa lalu—dari seseorang yang tak pernah ia ingat wajahnya, tapi sering muncul dalam mimpi: seorang pria dengan suara tenang dan tawa lembut, yang mengangkat kipas di hadapan matahari dan berkata, "Ini bukan hanya untuk angin, tapi untuk menyimpan kata-kata yang belum sempat diucapkan."
Seorang tukang kayu tua yang melintas memperhatikannya. Ia mendekat, memandangi kipas rusak di tangan Tsun Zhu.
"Rusak?" tanyanya.
Tsun Zhu mengangguk. Tapi tak berkata apa pun.
Tukang kayu itu duduk di sampingnya. "Kipas bambu seperti ini… biasanya dibuat untuk dua hal: menyejukkan pikiran, dan menyimpan rahasia."
Tsun Zhu menoleh pelan. "Kau tahu cara memperbaikinya?"
"Aku tahu cara membuat yang baru. Tapi kipas seperti ini…" tukang kayu itu mengambilnya hati-hati, "…punya pola ukiran yang tak biasa. Lihat garis halus di tengah daun ini. Itu bukan goresan biasa. Itu pola sandi."
Tsun Zhu tertegun.
Tukang kayu itu mengangguk. "Aku pernah melihat pola seperti ini di Lembah Cendekia, tempat para penyair dan mata-mata saling bertukar pesan lewat benda-benda biasa."
Ia menyerahkan kembali kipas itu, lalu bangkit. "Kalau kau ingin tahu apa artinya, temui seseorang bernama Ma Jin di distrik barat kota Liang. Ia buta, tapi bisa membaca kipas lebih tajam dari orang bermata dua."
Tsun Zhu berdiri. "Kenapa kau membantuku?"
Tukang kayu itu tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang jarang. "Karena anak yang membawa rahasia lebih besar dari tubuhnya, biasanya sedang menulis sejarah tanpa pena."
Tsun Zhu mengangguk. Ia memasukkan kipas ke balik jubah, lalu melanjutkan perjalanan. Hari mulai gelap ketika akhirnya ia melihat tembok ibu kota Liang menjulang seperti tembok langit—tinggi, kokoh, dan suram.
Setelah melewati pemeriksaan panjang dan menyembunyikan kitab serta kipas di bawah ikat pinggang, ia menyusup ke keramaian pasar malam kota. Bau arang, teriakan penjaja, dan sorakan judi jalanan menyambutnya. Tapi matanya hanya mencari satu hal: jalan ke distrik barat.
Butuh dua hari baginya untuk menyusuri lorong-lorong kecil, bertanya dengan kalimat sesingkat mungkin, dan menghindari pertanyaan balik. Hingga akhirnya, seorang pengemis tua di sudut gang memberinya arah ke sebuah rumah kecil di ujung jalan buntu, dengan lentera merah yang selalu menyala siang malam.
Tsun Zhu mengetuk pintu tiga kali.
"Masuk," suara dari dalam menggema.
Ia melangkah masuk. Seorang pria tua duduk bersila di lantai, matanya tertutup kain hitam, dan di hadapannya berjajar lusinan kipas dari berbagai bentuk.
"Ma Jin?" tanya Tsun Zhu.
Pria itu mengangguk. "Kau membawa kipas yang menangis?"
Tsun Zhu mengeluarkan kipasnya dan menyerahkannya dengan dua tangan.
Ma Jin menyentuhnya perlahan, lalu tersenyum tipis. "Ini… bukan sembarang kipas. Ini buatan tangan seorang jenderal yang memilih jalan sunyi. Ada tiga baris sandi di sini. Dan satu nama yang ditinggalkan."
"Ayahku?" tanya Tsun Zhu perlahan.
Ma Jin mengangguk. "Namanya… Tsun Jie. Dulu ia dijuluki 'Jenderal Seribu Jalan'. Tapi ia menghilang… setelah satu pertempuran yang tak pernah dicatat dalam sejarah. Ia menyembunyikan warisannya bukan pada pedang… tapi pada anaknya."
Tsun Zhu menunduk. Dunia seolah berputar pelan.
Ma Jin melanjutkan, "Kau sedang menuju tempat berbahaya, anak muda. Tapi jika kau ingin membaca pesan terakhir ayahmu… kau harus menyatukan kembali tiga bagian: kipas, kitab, dan satu suara dari masa lalu."
Tsun Zhu mengepal tangan.
"Satu suara itu… apa maksudmu?"
Ma Jin berdiri, membuka kain penutup matanya—dan tak ada apa-apa di baliknya. Kosong. Kulit tipis seperti tirai cahaya.
Ia tersenyum.
"Biksu pengembara yang menulis 'Seni Keheningan' tidak pernah pergi. Ia hanya diam di tempat yang tak terlihat—dalam bentuk doa, bisikan, dan jejak pada orang sepertimu."
Tsun Zhu menggenggam kipasnya yang diperbaiki dengan benang perak. Di sanalah, untuk pertama kalinya, ia merasakan warisan bukan sebagai beban… tapi sebagai kompas.
Dan langkahnya berikutnya… adalah menuju pusat kekuasaan: Balairung Jenderal Liang.
Tempat di mana strategi berubah menjadi perintah.
Tempat di mana sejarah ditulis bukan dengan tinta… tapi dengan darah.