Cherreads

For Once, I Want to Choose Myself

HanaArai_1990
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
143
Views
Synopsis
Erika punya hidup yang "sempurna"—karier yang cepat menanjak, pasangan ideal, dan restu dari ibunya. Tapi saat keinginannya untuk mencoba hal baru justru dipadamkan oleh orang-orang terdekatnya, Erika mulai mempertanyakan: apakah ini hidup yang ia inginkan? Lalu datanglah John. Bukan sosok penyelamat, bukan juga cinta pada pandangan pertama. Tapi bersamanya, Erika bisa tertawa, bisa jujur, bisa jadi dirinya sendiri. Ini adalah kisah tentang keberanian memilih, luka yang tidak terlihat, dan cinta yang terasa seperti pulang. Saat dunia menuntutmu jadi sempurna, apakah kamu berani menjadi... dirimu sendiri?
VIEW MORE

Chapter 1 - For Once, I Want to Choose Myself

Bab 1 – Rencana yang Terlalu Sempurna

Pukul 08.45.

Erika berdiri di depan cermin toilet kantor, memoles lipstik sambil mengulang dalam hati isi presentasinya. Matanya sedikit sembap karena tidur larut malam, menyelesaikan revisi yang kesekian untuk slide pitching produk baru.

Dia menarik napas panjang. "Senyum. Tegas. Tegang boleh, tapi jangan kelihatan."

Erika keluar dari toilet dan berjalan cepat menuju ruang meeting. Di tangannya ada folder hitam, berisi naskah presentasi yang dia tahu sudah direvisi tujuh kali. Karena satu kata salah ketik saja bisa membuat Pak Arifin, atasannya, menaikkan alis dan berkata "revisi, ya."

Saat masuk ke ruang meeting, ia disambut dengan senyum tipis dari rekan-rekannya. Mereka tahu, Alice akan memimpin presentasi ini. Dan seperti biasa, mereka percaya dia bisa.

Tapi Erika tahu, kepercayaan itu bukan berarti dia tidak boleh gagal. Justru karena dipercaya... dia tidak boleh jatuh.

Satu jam kemudian, ruangan hening. Hanya suara slide yang berpindah.

Erika memaparkan tren kosmetik baru yang diprediksi akan booming tahun depan, strategi pemasaran untuk dua produk unggulan, dan campaign sosial media yang melibatkan micro influencer. Suaranya tenang, wajahnya meyakinkan.

Tapi di dalam dadanya, degupnya seperti alarm yang tidak henti.

Selesai presentasi, Erika kembali ke mejanya. Rena, rekan satu timnya, menepuk pundaknya sambil berbisik, "Keren banget, Er. Kamu tuh kayak CEO baru."

Erika hanya tertawa kecil, lalu membuka laptop dan pura-pura fokus membaca email. Di layar, ada notifikasi chat dari Ryan. Ryan adalah pacar Erika yang sudah berpacaran selama 3 tahun.

Ryan: "Gimana presentasinya?" 

Erika: "Selesai. Kayaknya lancar." 

Ryan: "Harusnya lancar dong. Kamu udah kerja keras. Besok malam dinner ya. Aku reservasi di tempat yang biasa." 

Erika: "Oke."

Erika tidak langsung membalas. Jari-jarinya menggantung di atas keyboard. Di meja seberang, Rena sibuk memotong kertas untuk mood board, wajahnya santai. Erika menatap layar kosong di depannya, lalu ia melanjutkan mengetik.

"Oke. Sampai ketemu malam."

Pagi itu, Erika tiba di kantor lima belas menit lebih awal dari biasanya. Matanya langsung tertuju ke layar laptop. Slide demi slide ia cek ulang—bahkan untuk kesalahan yang mungkin tidak akan dilihat siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Saat ia sedang mencocokkan hex code warna di background presentasi, Rena menyembul dari balik kubikel sambil membawa dua gelas kopi.

"Er, kamu lagi bikin presentasi atau merancang strategi perang sih?" 

Alice menoleh, mengangkat alis. "Kenapa memang?" 

Rena duduk di tepi meja Erika, menyerahkan satu gelas kopi. "Kamu tuh kayak jenderal mau nyerang wilayah baru. Tegang banget mukanya. Aku sampe takut lewat belakang kamu tadi." 

Erika menghela napas pendek lalu tersenyum. "Kalau presentasi ini gagal, aku bisa dicopot jadi Jendral. Jadi wajar aku pakai strategi perang." 

"Oke, Jenderal Erika," Rena menepuk dada gaya hormat. "Pasukan kopi siap mendukung."

Mereka tertawa kecil. Suara tawa itu mungkin hanya bertahan sepuluh detik di tengah bisingnya telpon dan tuts keyboard, tapi cukup untuk membuat pagi terasa sedikit lebih manusiawi.

Beberapa jam setelah presentasi, Erika berjalan ke pantry. Di sana, ia melihat Lala—staf magang—panik membuka-buka file di laptop. Wajahnya tegang, bibirnya komat-kamit seperti sedang doa darurat.

"Lala?" tanya Alice, mendekat. "Kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak mau lomba cepat baca skripsi."

Lala melirik dengan mata penuh rasa panik. "Kak... maaf, aku tadi salah kirim file ke Bu Dita. Harusnya laporan minggu lalu, malah yang bulan lalu. Dan beliau bilang 'cepat koreksi'. Cepatnya tuh... sekarang."

Erika tersenyum. Ia duduk di sebelah Lala, menggeser kursi tanpa basa-basi.

"Tenang. Tarik napas dulu. Kalau kamu panik, file-nya juga ikutan ngumpet."

Lala tertawa kecil, tapi masih gugup. Erika mengambil alih mouse laptop dan berkata lembut, 

"Tuh, folder kamu rapi kok. Ini laporan minggu lalu, kan? Kita edit bagian header, kasih penjelasan, terus kirim ulang. Nggak sampai 5 menit."

"Kak Erika, makasih ya. Aku kira Kak Erika nggak sempat bantuin…"

Erika tersenyum. "Kalau aku biarin kamu meledak di sini, aku nggak punya partner beli kopi besok."

Mereka berdua tertawa. Suasana terasa ringan, seperti ada udara segar masuk di tengah tumpukan deadline.

Rena lewat dan melihat mereka, lalu berkomentar sambil mengangkat alis, 

"Lis... kamu bantuin Lala, atau kamu buka kelas privat stres di pantry?"

Erika hanya mengangkat bahu. "Stres itu menular. Jadi harus dicegah sejak dini."

Erika memang terkenal sebagai rekan kerja yang baik, pekerjaannya rapi, detail dan bisa diandalkan.

Lala akhirnya menutup laptopnya, napasnya mulai lega. Ia menatap Erika dengan tatapan penuh rasa syukur, lalu mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum.

Lala: "Kak Erika penyelamat banget deh. Serius. Aku kira tadi laptopku bakal dikubur bareng reputasiku."

Erika tertawa, lalu berdiri sambil meregangkan bahu.

Rena: "Eh, ngomong-ngomong… hari ini kamu ada dinner lagi ya sama Ryan?"

Erika: "Hmm… iya. Dia udah reservasi tempat dari kemarin."

Rena (melirik Lala, lalu kembali ke Erika): "Duh. Cowok mana sih yang bisa setel reservasi kayak agenda kantor? Ryan tuh bener-bener... tipe idaman. Ganteng, mapan, sopan, romantis lagi. Kamu tuh beruntung banget, Er."

Erika (tersenyum kecil): "Iya… dia memang orangnya terencana banget."

Lala (menyandarkan kepala ke tangan): "Wah... kayak pasangan apel ya, Kak."

Rena (bingung): "Apel? Maksud kamu…?"

Lala (nyengir): "Kayak dua sisi dari satu buah apel. Belah dua, terus cocok pas disatuin lagi. Kak Erika cantik, pinter, punya karier. Ryan mapan, kalem, dan sopan. Mereka kayak pasangan di film dan novel-novel. Pasangan sejati yang sempurna lalu serasi sampai punya cara pikir dan selera yang sama.." (Kagum dengan mata berbinar-binar)

Erika tertawa, tapi suaranya tidak setinggi biasanya. Ia tidak menjawab langsung. Tangannya hanya memainkan gelas kopi yang mulai dingin.

Rena (iseng, setengah berbisik): "Kamu tuh, Lis... eh maksudku, Er... beneran hidup di cerita drama. Cuma kurang soundtrack-nya aja."

Lala: "Atau kurang satu episode konflik plot twist." (tertawa pelan)

Erika ikut tertawa lagi. Tapi kali ini, tawanya lebih seperti refleks.

Dalam hati, ia ingin berkata:

 "Lucunya, yang tahu skripnya bukan aku."

 

Malamnya, Ryan menjemput seperti biasa. Mobilnya bersih dan beraroma kayu manis. Ia mengenakan kemeja abu-abu dan jam tangan baru yang ia beli di Singapura.

"Presentasimu gimana?" tanyanya sambil menyetir. 

"Lancar," jawab Erika. 

"Kamu hebat. Tapi kamu tahu kan, jangan terlalu stres. Mending kamu pikirkan posisi lebih tinggi. Jangan terus di bagian produk. Branding atau strategik itu lebih... elegan." 

"Nanti kupikirkan." 

Mereka makan malam di tempat yang sama seperti biasanya. Lampu temaram, musik jazz pelan. Semua terasa... nyaman. Tapi entah kenapa, Erika merasa seperti sedang menjalankan ulang peran yang sudah ditentukan sebelumnya.

Seusai makan, Ryan menggenggam tangannya. "Kita jalan sebentar, yuk. Ada yang mau aku obrolin."

Alice menoleh. "Obrolan berat?"

Ryan tertawa kecil. "Tenang. Nggak akan bikin kamu stres. Nanti aja, pas kamu udah nggak sibuk."

Erika tersenyum. Tapi hatinya berkata lain.

Karena bahkan ketika dia tidak sedang sibuk... dia tidak pernah benar-benar tenang.

Erika menjalani hidup yang penuh rencana. Pekerjaan, pasangan, bahkan akhir pekannya. 

Tapi yang tidak ada dalam rencana itu adalah pertanyaan yang pelan-pelan muncul setiap malam: 

Kalau semua ini sudah benar... kenapa rasanya seperti ada yang hilang?