Cherreads

Chapter 1 - Person

‎Namaku Ardan.

‎Di sekolah ini, aku punya tiga hal: kekuasaan, geng, dan tawa palsu. Bukan tawa karena bahagia—tapi karena puas ngeliat orang lain lebih hina dariku.

‎Setiap hari, selalu ada satu dua korban. Biasanya cewek-cewek pemalu. Mereka yang gak bisa melawan. Yang kalau aku hina, cuma bisa nangis. Yang kalau aku sentuh seragamnya, cuma bisa nunduk.liat orang yang nangis tuh seu banget.

‎Dan aku suka itu.

‎Sampai hari itu.

‎---

‎Jam istirahat siang, SMA Harapan Bangsa.

‎Koridor kelas dua kosong kecuali suara tawa geng kami. Aku duduk santai di atas meja, sementara dua temanku berdiri mengelilingi satu cewek cantik namnya Nayla. Murid kelas 11 yang terkenal pendiam dan culun.

‎Aku lempar komentar seenaknya, "Yuk senyum, Nay~ masa imut diem doang? Eh, jangan nangis dong... kan kita baru pemanasan."

‎Tawa meledak.

‎Rendy nyiram air dari botol ke rambut Nayla. "Rambutnya udah kayak sapu, sekalian kita bersihin lantai deh!"

‎Serbet bekas makanan dilempar ke mukanya. Kamera menyala. Video dimulai.

‎Saat itu aku ngerasa... biasa aja. Gak ada rasa bersalah. Yang aku tahu, Nayla cuma satu dari sekian nama dalam daftar panjang korban yang 'menyumbang' hiburan ke hidup kosongku.

‎Tapi dunia gak selamanya diem.

‎"ARDAAAN!!"

‎Suaranya keras. Panik. Marah.

‎Seorang wanita berlari ke lorong dengan wajah meledak-ledak. Di belakangnya, guru BK dan wakasek.

‎Itu ibu Nayla.

‎"Anak saya pulang dengan luka! Tangannya biru, pahanya lebam! Dan kalian... kalian memperkosanya dengan kata-kata!!"

‎Tanganku gemetar. Tapi bukan karena takut dimarahin.

‎Tapi karena Nayla, di tengah keributan itu... menatapku.

‎Bukan dengan takut. Bukan dengan marah.

‎Tapi dengan kosong. Kosong seperti kaca mati. Seolah aku bukan manusia. Seolah aku debu.

‎---

‎Hari itu aku dibawa ke ruang BK. Gengku bubar.

‎Dua hari kemudian, tiga temanku dikeluarin dari sekolah. Aku? Dikasih "kesempatan terakhir."

‎Tapi gak ada yang mau duduk satu meja denganku lagi. Bahkan guru ngajak ngomong pun seperlunya. Namaku jadi racun. Semua tahu aku brengsek, dan akhirnya, dunia berhenti pura-pura.

‎Nayla? Gak pernah lagi kulihat di kantin. Katanya pindah ke kelas homeschooling.

‎Aku... sendiri.

‎Dan untuk pertama kalinya, aku ngerasa sepi itu bukan tenang. Tapi menusuk.

‎---

‎Aku coba berubah. Awalnya... cuma karena terpaksa.

‎Tapi pelan-pelan, ada sesuatu dalam diri yang mulai kerasa ganjil.

‎Setiap kali aku ngeliat cewek nangis karena tugas, aku inget wajah Nayla.

‎Setiap kali aku denger tawa jahat dari anak lain, aku malah pengen diem.

‎Anehnya... aku mulai gak suka diriku sendiri.

‎---

‎Sampai akhirnya hari itu datang. Hari aku mutusin untuk jujur.

‎Kelas 11-B terasa seperti kuburan. Setiap kali aku masuk, semua orang diam. Pandanganku gak pernah mereka sambut. Kalau aku duduk, mereka pindah. Kalau aku buka mulut, mereka pergi.

‎Tapi hari itu, aku berdiri dari kursi. Langkahku berat, tapi pasti. Peluh dingin membasahi punggungku, tapi aku tahu... aku harus melakukannya.

‎Aku jalan ke depan kelas.

‎Semua murid mendongak. Beberapa ngelirik sinis. Beberapa mencibir. Tapi gak ada yang bicara.

‎Aku menarik napas panjang. Lalu...

‎"SEMUA DENGERIN GUE!!!"

‎Suara itu menggema. Tegas. Lantang. Sampai kelas yang lain ngelirik dari pintu.

‎Aku menunduk dalam-dalam. Lebih rendah dari kepala lututku. Suara hatiku keluar lewat bibirku, kaku, tapi jujur.

‎"Aku minta maaf."

‎"Ke kalian semua. Atas semua yang pernah kulakukan. Atas semua kata-kata kasarku. Kelakuan bejatku. Semua ejekan, semua sentuhan gak sopan, semua yang bikin kalian trauma. Termasuk yang kalian gak berani bilang."

‎"Aku tahu... maaf ini gak cukup. Gak akan pernah cukup. Tapi aku tetap mau bilangnya. Karena aku sadar—aku salah. Dan aku bener-bener nyesel."

‎Beberapa murid menunduk. Ada yang tertawa sinis. Tapi ada juga yang matanya mulai berair.

‎Aku berdiri perlahan, mataku menatap mereka semua.

‎"Aku gak minta kalian maafin aku. Aku cuma minta kesempatan buat buktiin... bahwa aku bukan orang yang sama lagi."

‎Lalu aku kembali duduk. Gak ada tepuk tangan. Gak ada senyum.

‎Tapi entah kenapa... dadaku terasa lebih ringan dari sebelumnya.

‎---

‎Aku minta maaf ke semua korban. Termasuk Nayla.

‎Kukira dia bakal kabur pas aku datengin rumahnya. Tapi dia bukain pintu.

‎Tanpa senyum. Tanpa takut.

‎"Aku cuma pengen minta maaf," kataku, lirih.

‎Dia diam. Lalu berkata pelan, "Maaf gak akan balikin rasa aman aku. Gak akan balikin rasa percaya aku ke dunia. Kamu... ngancurin aku."

‎Aku menggigit bibir. "Aku tahu... Tapi aku gak cari maafmu. Aku cuma pengen kamu tahu... aku berubah."

‎Nayla menatapku. Kali ini, bukan kosong. Tapi dingin.

‎"Kalau kamu beneran berubah... jangan dateng lagi. Buktikan dengan jalanmu sendiri. Tanpa aku."

‎---

‎Sekarang aku masih sendiri. Tapi aku gak kesepian.

‎Aku bersihin kelas tanpa disuruh. Bantu guru tanpa pamrih. Belajar tanpa contekan. Gak ada yang muji, gak ada yang deketin.

‎Dan aku gak nyari itu.

‎Hari pertama Ardan minta maaf di depan kelas, bukannya keadaan membaik—justru neraka dimulai.

‎"Wih, si Ardan. Dulu raja, sekarang babu kelas!"

‎"Cie yang tobat, ampe nyungsep depan kelas... mau masuk pesantren lu, Dan?"

‎"Gak usah sok suci. Orang kayak lo gak bisa berubah."

‎Mereka bilang karma itu nyata. Setiap hari, aku yang dulu berdiri paling tinggi... sekarang dipaksa ngerangkak di lantai.

‎Bangku belakang yang dulu selalu jadi singgasanaku, sekarang selalu kosong—karena gak ada yang mau duduk dekatku.

‎---

‎Di kelas, bahkan guru pun gak sepenuhnya percaya aku berubah.

‎Bu Yuni, guru Bahasa Indonesia, sering ngelirik ke arahku kalau ada suara ribut.

‎Pak Doni, guru Matematika, gak pernah minta aku jadi ketua kelompok.

‎Semua liat aku... kayak bom waktu.

‎Tapi satu orang... berbeda.

‎Namanya Dito. Anak baru pindahan semester dua.

‎"Gue denger lo dulunya brengsek banget ya?"

‎Pertama kali dia ngomong, langsung to the point.

‎Aku diem. Gak nolak, gak bela diri.

‎"Yah... gitu deh."

‎Dito nyengir. "Tapi sekarang lo paling rajin beresin kelas. Gue males banget sebenernya, jadi... makasih ya."

‎"Gue gak beresin buat lo," jawabku datar.

‎"Tau. Tapi tetep aja gue makasih. Gak semua orang kuat berubah."

‎Itu pertama kalinya dalam waktu lama... aku ketawa lagi. Walaupun cuma sebentar.

‎---

‎Tahun-tahun berlalu. Bully makin keras. Tapi aku gak bales.

‎Kadang aku pulang dengan bekas coretan di tas. Kadang dengan buku sobek. Kadang bahkan dengan luka lebam di perut karena dihajar pas gak ada guru.

‎Tapi aku gak pernah lapor.

‎Aku cuma jalan.

‎Dan bertahan.

‎"Ngapain sih lo tahan terus?" tanya Dito suatu hari.

‎"Karena kalau gue nyerah... berarti semua usaha gue sia-sia."

‎Dito diem. "Lu kuat, Dan. Gak semua orang bisa kayak lo."

‎---

‎Sampai akhirnya... hari kelulusan datang.

‎Gue berdiri paling belakang pas foto bareng. Gak ada yang ngajak selfie. Gak ada pelukan. Bahkan guru pun cuma ngasih lulus tanpa senyum.

‎Tapi gue lulus.

‎Dan itu cukup.

‎---

‎Tiga tahun kemudian...

‎Gue kerja di perusahaan startup media digital. Posisi editor konten. Hidup gak mewah, tapi cukup.

‎Gue gak punya banyak temen. Masih jalan sendiri. Tapi gue ngerasa... damai.

‎Sampai suatu hari...

‎"Ardan?"

‎Gue kaget. Suara itu... familiar. Tapi udah lebih dewasa. Lebih dingin.

‎Gue nengok.

‎Nayla.

‎Rambut panjang dikuncir setengah, kacamata elegan, setelan rapi. Aura profesional banget. Tapi tatapan matanya... masih sama. Dingin.

‎"Eh... hai," kataku kaku.

‎Dia diem beberapa detik. "Kita kerja di kantor yang sama?"

‎"Iya... divisi beda kayaknya."

‎"Lucu ya... dunia ini kecil."

‎Gue senyum, canggung. "Iya. Kecil banget."

‎Dia mau pergi, tapi gue buru-buru nambahin,

‎"Aku... masih ingat apa yang aku lakuin dulu. Dan aku masih berusaha nebusnya. Walau gak tahu kapan cukup."

‎Dia berhenti. Ngelirik sebentar.

‎"Aku gak pernah nunggu kamu nebus apa-apa, Ardan. Aku cuma pengen... gak ketemu kamu lagi."

‎Dingin. Tajam. Tapi gue ngerti.

‎Gue gak maksa. Gak ngerengek. Gak bilang "aku udah berubah, maafin aku."

‎Gue cuma angguk. "Kalau kamu butuh aku menjauh, aku akan jaga jarak. Tapi... semoga harimu menyenangkan, Nayla."

‎Dia pergi.

‎Dan kali ini, gak ada rasa hancur dalam hatiku.

‎Karena aku tahu... bukan maaf yang aku cari.

‎Tapi kedamaian. Karena setidaknya... aku bukan Ardan yang dulu lagi.

‎---

‎Malam itu, selepas kerja.

‎Langkah gue pelan menuju stasiun. Kota masih riuh, tapi hati gue hening.

‎Sampai tiba-tiba...

‎"Woi, Dan! Masih suka jalan sendiri lu?"

‎Suara itu... familiar banget.

‎Gue nengok, dan senyum langsung ngebentuk tanpa sadar.

‎"Dito!"

‎Badan makin kekar, rambut cepak, tapi senyumnya masih sama. Di sebelahnya ada dua orang lagi — Reza, anak kelas sebelah dulu yang dulunya cuek, dan Tami, cewek tomboy yang dulu sering ngeledek gue juga (setelah gue berubah).

‎"Wah gila, lo ngilang banget, Dan. Gak ada sosmed, gak ada jejak. Kirain udah nikah!"

‎"Gue hidup anteng aja, Dit. Lo gimana?"

‎Dito nyengir. "Gue buka bengkel kecil, kerja sambil kuliah. Reza tuh sekarang di bidang properti. Tami malah jadi guru TK!"

‎Tami tepuk lengan Dito. "Eh, jangan buka aib dong!"

‎Kita ketawa bareng. Rasanya aneh, tapi... hangat. Kayak dikasih kesempatan ngerasain masa muda yang gak pernah gue punya dulu.

‎"Lo masih inget waktu lo minta maaf di depan kelas?" tanya Reza tiba-tiba.

‎Gue angguk. "Gue inget semua, Za. Setiap detik."

‎Tami nyeruput kopi. "Lo keren, Dan. Serius. Gue dulu mikir lo pura-pura. Tapi lo buktiin sebaliknya."

‎Gue gak jawab. Cuma senyum tipis.

‎"Lo gak pernah bales mereka yang ngebully lo ya?" tanya Dito.

‎"Buat apa?"

‎"Gak dendam?"

‎Gue ngelihat ke langit malam. "Dendam gak akan bikin gue jadi orang yang lebih baik. Tapi maafin... bikin gue bisa tidur lebih tenang."

‎---

‎Keesokan harinya.

‎Langit pagi agak mendung. Gue berangkat kerja lebih pagi dari biasanya karena ada meeting.

‎Di tikungan dekat halte sekolah dasar, gue lihat seorang gadis kecil berdiri sambil panik ngeraba tasnya.

‎Buku-bukunya berceceran. Wajahnya nyaris nangis. Seragamnya berantakan.

‎Gue dekati.

‎"Hei... kamu kenapa?"

‎"A-aku... aku lupa kartu trans-nya... dan uang jajan aku juga ilang... aku gak bisa naik bus..."

‎Gue langsung inget wajah itu. Mirip banget...

‎Lia. Adik Nayla.

‎"Lia, ya?"

‎Dia kaget. "K-kok kakak tahu?"

‎Gue jongkok. "Kakak kenal Nayla. Dulu kakak teman sekolahnya."

‎Dia kelihatan bingung, tapi nahan nangis.

‎Tanpa banyak mikir, gue ambil kartu gue dan bayar ongkos bus kecilnya. "Ayo, kakak anterin. Nanti kamu telat."

‎"B-beneran gak apa-apa?"

‎"Gak apa-apa. Tapi kamu harus janji, lain kali hati-hati ya."

‎Dia angguk cepat. "Makasih banyak, Kak!"

‎Di dalam bus, Lia duduk di sebelah gue. Dia cerita tentang sekolahnya, hobinya nari, dan gimana Nayla sekarang sering kerja sampai malam.

‎"Kadang kak Nayla suka sedih sendiri. Tapi dia gak pernah cerita ke aku."

‎"Kenapa kamu pikir dia sedih?"

‎"Soalnya... dia suka bilang 'aku capek jadi dewasa'."

‎Gue diem.

‎Mungkin... Nayla masih nyimpen semua luka itu sendiri.

‎---

‎Sebelum turun, Lia bilang sesuatu yang bikin gue kaget.

‎"Kak Ardan itu... bukan orang jahat ya?"

‎"Kenapa tanya begitu?"

‎"Soalnya kak Nayla pernah bilang... 'dulu dia monster'. Tapi sekarang... gak kayak monster."

‎Gue senyum. "Mungkin dulu kakak memang monster. Tapi sekarang kakak cuma manusia biasa... yang nyoba jadi lebih baik."

‎Dia pegang tangan gue bentar. "Kalau gitu... aku maafin kakak. Gak tahu kenapa, tapi aku percaya."

‎---

‎Bus berhenti. Lia turun.

‎Dan gue berdiri lama di situ, ngerasa... sedikit lebih ringan.

‎Mungkin Nayla belum bisa maafin gue.

‎Tapi hari ini, gue dapet pengampunan dari adiknya.

‎Dan buat sekarang... itu cukup,gw akan tetap berusaha untuk sekarang.

More Chapters