Bab 3: Debutan di Senayan
Mentari pagi Jakarta menyengat kulit, terasa berbeda dengan kelembaban udara Bandung yang biasa menemani latihan di akademi. Raul berdiri di lorong Stadion Utama Gelora Bung Karno, megah dan bergemuruh meski belum dipenuhi puluhan ribu pasang mata. Aroma rumput bercampur keringat dan semangat membara menusuk hidungnya. Hari ini bukan sekadar latihan biasa. Hari ini, namanya ada dalam daftar pemain yang disiapkan untuk menghadapi laga uji coba tim senior.
Jantung Raul berdebar kencang, ritmenya seolah berlomba dengan deru napasnya sendiri. Semalam, tidurnya tidak nyenyak. Bayangan lapangan hijau GBK, sorak sorai penonton yang sering ia lihat di televisi, dan tatapan para senior yang selama ini hanya bisa ia kagumi, berputar-putar di benaknya. Ia mencengkeram erat tali tas sepatunya, buku-buku jarinya memutih.
"Hei, anak baru! Jangan tegang begitu, nanti bolanya ikut gemetaran," sebuah suara berat menginterupsinya. Raul mendongak. Sosok tegap dengan rambut sedikit memutih di pelipisnya berdiri di depannya. Itu Kapten Arya, pemain belakang berpengalaman yang disegani di tim.
Raul berusaha tersenyum, meski bibirnya terasa kaku. "Siap, Kapten."
Arya menepuk bahu Raul pelan. "Baguslah kalau siap. Ingat, di lapangan nanti, hilangkan semua rasa gugupmu. Main seperti yang kamu lakukan di akademi. Tunjukkan pada mereka kenapa kamu pantas berada di sini."
Kata-kata Kapten Arya bagai suntikan semangat. Raul menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Ia melihat sekeliling. Para senior tampak fokus dengan persiapan masing-masing, ada yang melakukan peregangan, ada yang berbincang santai, namun aura profesionalisme terpancar kuat dari mereka. Raul merasa kecil di antara mereka, namun tekadnya untuk membuktikan diri justru semakin membara.
Saat namanya dipanggil oleh asisten pelatih untuk bergabung dengan tim inti dalam sesi latihan taktik, Raul merasakan aliran listrik menjalar ke seluruh tubuhnya. Ini bukan lagi mimpi. Ini nyata. Ia melangkah ke lapangan hijau GBK, merasakan tekstur rumput di bawah pul sepatu barunya. Matahari terasa lebih terik, suara gemuruh stadion terasa lebih dekat. Di ujung lapangan sana, tampak siluet Stadion Sijalak Harupat, tempat ia menempa diri selama bertahun-tahun, terasa begitu jauh.
Latihan dimulai. Raul berusaha keras untuk tidak melakukan kesalahan, mengikuti setiap instruksi pelatih dengan saksama. Umpan-umpannya, meski sedikit terburu-buru di awal, perlahan mulai menemukan ritmenya. Beberapa kali ia berhasil melakukan dribbling melewati hadangan pemain senior, meski sesekali juga kehilangan bola karena kurangnya pengalaman.
Di tengah sesi latihan, sebuah umpan terobosan matang dari lini tengah mengarah padanya. Dengan kecepatan yang menjadi andalannya, Raul berlari mengejar bola. Kiper tim senior, yang memiliki reputasi sulit ditaklukkan, sudah bersiap di depan gawang. Tanpa ragu, Raul melepaskan tendangan kaki kiri, bola meluncur deras melewati jangkauan kiper dan menghujam jala.
Sesaat hening. Kemudian, terdengar tepuk tangan dari beberapa pemain senior. Kapten Arya mengacungkan jempol ke arahnya. Raul merasakan kehangatan menjalari hatinya. Gol itu bukan hanya sekadar gol latihan, tetapi juga pembuktian awal bahwa ia memiliki potensi untuk bersaing di level yang lebih tinggi.
Namun, perjalanan Raul masih panjang. Ia tahu, satu gol di sesi latihan tidak menjamin apa pun. Ia harus terus belajar, bekerja keras, dan membuktikan dirinya di setiap kesempatan. Tatapannya kembali fokus ke lapangan, siap untuk menerima tantangan berikutnya. Debutan di Senayan ini adalah awal dari babak baru dalam perjalanan karirnya.
Bagaimana menurut Anda? Apakah ada hal spesifik yang ingin Anda kembangkan atau ubah dalam kelanjutan bab ini?