Langkah kaki KotaGG terasa berat saat ia menginjakkan kembali kakinya di tanah yang dulu ia tinggalkan dengan dada penuh harap. Lima tahun tak menyentuh jalanan tanah Sidoharjo, dan kini ia kembali... bukan untuk merayakan, tapi mencari jawaban.
"Mas Kota... sampeyan beneran balik?" tanya Pak Lurah dengan nada tak percaya, campur sedikit rasa takut. "Kita kira njenengan udah lupa kampung halaman…"
KotaGG hanya tersenyum simpul. Senyuman yang dulu hangat, kini terasa dingin, penuh beban yang disimpan di balik matanya.
"Aku nggak pernah lupa, Pak. Cuma... aku harus tahu, siapa yang khianati impian kita."
Warga yang dulu memanggilnya 'anak emas', kini menghindarinya. Warung-warung menutup lebih cepat. Anak-anak tak lagi bermain di lapangan dekat rumahnya. Tapi ia tetap berjalan, menelusuri satu demi satu jejak masa lalu yang pernah ia bangun bersama teman-temannya — geng Suskess Bersama.
Dulu, geng itu terdiri dari lima sahabat: KotaGG, Indra Si Pendiam, Wulan Pencatat Segala, Bayu Tukang Coding, dan Raka Si Mulut Emas. Mereka berjanji membangun perkampungan jadi pusat kreatif, tempat semua orang bisa berkembang.
Tapi kini...
Indra menghilang. Wulan jadi guru yang tak pernah bicara tentang masa lalu. Bayu kabarnya pindah kota dan tak pernah kembali. Dan Raka... katanya sudah sukses, tapi tak pernah lagi menyapa satu pun dari mereka.
Lalu KotaGG menerima kabar: Indra ditemukan meninggal misterius di pinggir sawah, dengan simbol aneh tergurat di tanah — simbol yang dulu mereka pakai untuk menandai markas mereka: dua lingkaran bertumpuk, dengan panah ke atas. Simbol Suskess Bersama.
KotaGG tahu ini bukan kebetulan.
Ini peringatan.
Dan jika dia tak bergerak sekarang, mereka semua akan jatuh... satu per satu.
Bab 2: Jejak di Balik Papan Kayu
Pagi di Sidoharjo tidak secerah biasanya. Kabut masih menggantung rendah, seperti enggan beranjak meski matahari sudah muncul. Burung-burung pun terdengar lebih pelan, seolah tahu ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi di perkampungan ini.
KotaGG berdiri di depan rumah kayu tua yang dulunya markas mereka berlima. Rumah itu milik kakek Wulan, dan mereka menggunakannya sebagai pusat impian: tempat ngoding, merancang usaha, menggambar ide-ide besar, dan membangun visi "Suskess Bersama".
Kini, rumah itu kosong. Retak. Bau apek bercampur debu menyambut saat ia membuka pintu kayu yang nyaris lepas dari engselnya.
Langkahnya terhenti di depan papan tulis besar yang dulu mereka pakai untuk brainstorming. Tulisan-tulisan pudar masih bisa terbaca samar:
"Kita mulai dari desa. Kita suskess bareng. Tidak boleh ada yang ditinggal."
Tangannya menyusuri bekas tulisan itu, lalu berhenti di satu sudut papan yang terlihat seperti... bekas terbakar.
"Kenapa ini dibakar?" gumamnya.
Lalu sesuatu menarik perhatiannya — papan kayu di bawah papan tulis itu agak longgar. Ia congkel perlahan, dan menemukan sebuah buku catatan kecil berdebu, terbungkus plastik bening.
Di halaman pertama, tulisan tangan Wulan.
"Catatan Khusus - Jangan dibaca sembarang orang. Kalau kau nemu ini, berarti semuanya sudah kacau."
Lembar demi lembar isinya berupa diagram, rencana, dan... nama-nama.
Indra - Pencetus StrukturBayu - TeknologiRaka - InvestorWulan - DokumentatorKotaGG - Visioner
Namun di halaman terakhir, ada tulisan yang tercoret-coret kasar:
"Raka... kenapa kamu ambil semua itu? Kita kan sepakat ini bukan soal uang. Tapi soal perubahan."
KotaGG mengepal tangan.
"Raka… jadi kamu yang mulai semua ini?"
Tapi sebelum ia bisa menyusun pikiran lebih jauh, suara langkah kaki berlari terdengar dari luar. Anak kecil — cucu Bu Marni, tetangga lama mereka — terengah-engah sambil membawa sesuatu.
"Mas Kota! Ini... ini dari Kak Wulan! Dia titip ini sebelum pergi tadi pagi!"
Kertas kecil dilipat rapi. KotaGG membukanya cepat-cepat.
"Kota, kita semua dalam bahaya. Raka kembali. Dan dia tidak sendirian. Jangan percaya siapa pun. Malam ini, temui aku di bawah pohon randu. Sendirian."
KotaGG merasakan punggungnya dingin. Wulan tidak akan menulis begitu... kecuali nyawanya dalam ancaman.
Dan satu hal lagi yang membuat hatinya semakin gelisah: di pojok kanan kertas itu, tergurat simbol kecil...
Dua lingkaran dan satu panah ke atas.
Simbol mereka.
Tapi kali ini... warnanya merah darah.
[BERSAMBUNG]