Cherreads

Eyes of the Voids

Aethoria_flame
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
597
Views
Synopsis
Prolog Langit retak saat ia lahir. Petir membelah angkasa tanpa awan. Angin menggila menumbangkan hutan-hutan. Ribuan makhluk sihir bertekuk lutut tanpa tahu alasan. Semua itu terjadi bersamaan dengan tangisan pertama seorang bayi—tangisan yang membawa aura begitu mencekam, seolah mengancam runtuhnya keseimbangan dunia. Namun anehnya, bahkan orang tuanya tak menyadari kekuatan itu. Mereka hanya merasa anak mereka... berbeda. Yang menyadari hanyalah para bijak, penyihir legendaris, dan makhluk tua yang bersembunyi di balik bayang sejarah. Mereka tahu sesuatu telah lahir. Bukan manusia biasa. Tapi sebuah kemungkinan. Sebuah ancaman... atau penyelamat. ---
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1 – Mata yang Tak Boleh Dibuka

Malam itu, langit seperti kehilangan kendali.

Angin meraung dari arah utara, menghantam ladang dan hutan hingga pepohonan tercabut dari akarnya. Kilat menyambar dari balik langit yang tanpa awan, seolah dewa-dewa sedang berperang tanpa sebab. Hewan-hewan melarikan diri, bersembunyi di balik lubang, gua, dan semak, menggigil oleh ketakutan purba yang tidak mereka pahami. Di beberapa tempat, para penyihir tua tiba-tiba tersentak dari meditasi mereka, mata mereka membelalak, tubuh gemetar oleh satu hal yang sama: auranya telah lahir.

Di sebuah desa terpencil di sisi selatan benua Astherya, seorang bayi menangis dalam pelukan ibunya.

Tubuhnya kecil dan rapuh, namun begitu mata bayi itu terbuka—mata biru bercahaya yang seolah menembus waktu dan ruang—seluruh dunia seperti berhenti bernapas.

Ibunya, Lira Nocturne, memeluk sang bayi dengan penuh kasih, tidak menyadari betapa berharganya anak itu. Sang ayah, Kaien Nocturne, hanya tersenyum kecil, menatap putranya dengan bangga.

Mereka tidak merasakan apa-apa.

Tidak tahu bahwa seluruh dunia di luar sana sedang berguncang oleh kelahiran Zephyr Nocturne.

---

Waktu berjalan seperti biasanya. Zephyr tumbuh seperti anak lainnya. Usianya menginjak satu tahun, dua tahun... lalu lima. Ia tumbuh dengan cepat, namun tetap pendiam. Ia jarang menangis, jarang tertawa. Hanya memandang—dengan mata birunya yang dingin, dalam, dan tak bisa dijelaskan.

Tak ada yang tahu, bahkan kedua orang tuanya, bahwa setiap malam ketika Zephyr menatap langit dari jendela kamarnya, bintang-bintang seolah bergetar.

Setiap kali ia bermain di luar rumah, binatang liar menjauh darinya secara naluriah. Seekor anjing penjaga desa bahkan mati mendadak setelah menatap mata Zephyr terlalu lama.

Tapi semua itu dianggap kebetulan.

Hingga saat usianya menginjak dua belas tahun.

Hari itu, Zephyr sedang berjalan di hutan di belakang rumah, ketika seekor Serow—monster kelas A bertubuh logam dengan taring sekeras baja—muncul dari balik semak. Binatang itu mendesis, siap menerkam.

Zephyr hanya menatapnya.

Dan dalam sepersekian detik, monster itu jatuh. Berlutut. Tubuhnya menggigil seperti bayi yang ketakutan.

Ketika Kaien dan Lira datang karena mendengar teriakan penduduk, mereka melihat pemandangan yang tak pernah mereka bayangkan: monster itu mengerang seperti hamba di hadapan dewa, lalu lari terbirit-birit hingga menghilang dari hutan.

---

Malamnya, suasana di rumah Nocturne berubah. Lampu redup menyala di ruang utama. Lira duduk dengan gelisah, sementara Kaien menatap putranya yang duduk diam dengan mata biru menatap kosong ke lantai.

"Zephyr," suara Kaien lembut namun tegas. "Kau tahu apa yang terjadi tadi siang?"

Zephyr mengangguk pelan. "Aku... hanya melihat matanya."

Lira menatap Kaien, wajahnya cemas. "Ini... ini bukan normal. Tidak mungkin anak kita—"

"Tidak," potong Kaien pelan. "Anak kita istimewa."

Kaien berdiri, menatap putranya dalam-dalam. "Zephyr, mulai besok, kau akan pergi ke pegunungan Duskmoor. Ada seseorang di sana. Seorang guru... namanya Kael Vardos. Dia bisa membantumu."

Zephyr hanya diam sejenak, lalu mengangguk. "Baik."

Tanpa air mata. Tanpa protes.

Seolah ia sudah tahu bahwa ini akan terjadi.

---

Perjalanan ke Duskmoor memakan dua hari. Di pagi hari ketiga, Zephyr berdiri di hadapan sebuah rumah kayu tua yang berdiri di puncak gunung bersalju. Udara di sana begitu dingin, namun hatinya terasa tenang.

Pintu terbuka sebelum ia sempat mengetuk.

Seorang pria tua berambut perak dengan sorot mata tajam berdiri di ambang pintu.

"Zephyr Nocturne," ucapnya datar. "Akhirnya kau datang."

Zephyr hanya menunduk sedikit. "Kael Vardos?"

"Masuk. Malam ini akan panjang."

---

Di malam itu, mereka duduk di beranda rumah Kael, memandangi langit malam yang bertabur bintang. Angin gunung bertiup pelan, membawa dingin yang menembus tulang, tapi Zephyr tetap diam, menatap langit.

Kael menyesap tehnya, lalu berkata pelan, "Mata biru milikmu... itu bukan mata biasa."

Zephyr menoleh sedikit. "Apa itu?"

Kael menatapnya, mata tuanya tampak suram. "Itu disebut Mata Abyssal. Mata dari kehampaan yang bahkan para dewa pun tak berani tatap terlalu lama. Konon katanya, pemilik mata itu bisa menghapus eksistensi... atau menciptakan ulang."

Zephyr diam, menunduk.

"Banyak yang akan mengincarmu. Negara. Klan. Makhluk kuno. Bahkan sahabatmu kelak bisa berubah menjadi musuh," lanjut Kael.

Zephyr bertanya pelan, "Apa aku berbahaya?"

"Lebih dari itu," jawab Kael. "Kau... adalah titik keseimbangan baru dunia ini."

Kael lalu menyerahkan sebuah kain hitam pekat. "Ini penutup matamu. Dibuat dari serat Noxshade. Kau akan memakainya mulai besok. Kau masih bisa melihat dunia... tapi dunia tidak akan bisa melihat matamu."

---

Tiga tahun berlalu.

Zephyr kini berusia 15 tahun. Tubuhnya lebih tinggi, postur tegap, dan aura tenangnya seperti danau beku. Namun mata birunya tetap tersembunyi di balik penutup hitam yang tak pernah ia lepaskan.

Di hari itu, Kael berdiri di depan rumah sambil menyerahkan gulungan surat.

"Akademi Aethoria," ucapnya. "Tempat para jenius dan penyihir muda terkuat. Di sanalah kau akan melanjutkan pelatihanmu."

Zephyr mengambil surat itu tanpa berkata-kata.

"Jangan buka matamu di sana, kecuali kau ingin membakar dunia sebelum waktunya," kata Kael sambil tertawa kecil.

Zephyr menunduk dalam-dalam, lebih dalam dari biasanya. "Terima kasih... Ayah."

Kael diam sejenak. Kemudian menepuk bahunya. "Pergilah. Takdir menantimu."

---

Tiga malam kemudian, Zephyr berdiri di gerbang raksasa dari marmer putih dan emas.

Akademi Aethoria.

Di balik gerbang itu, petualangan barunya akan dimulai. Namun mata birunya tetap tersembunyi... karena dunia belum siap untuk melihat kebenaran dari kehampaan.

---