Langit Wulansana tidak lagi tampak biru jernih seperti tadi pagi. Awan tipis bergerak lambat, seolah menyimpan duka yang belum sempat diucap.
Di dalam Graha Penyangga Langit, ruang aula utama yang tadi dipenuhi suara pendapat dan sorak para perwakilan kota Sanajayan kini senyap. Asap putih mengepul dari tengah ruangan—tempat Dharuman Abdhi Sunarso, mantan Pengembara Bulan Sabit pertama di era baru, sekarang telah sekarat.
Hanya menyisakan lingkaran hitam hangus di lantai batu putih yang retak menganga tempat ia berdiri. Di sana, ia mengucapkan permohonan terakhir. Menyeru Batin Pangikrar di hadapan seluruh dunia. Mata merahnya menyala sebelum tubuhnya terbakar dari dalam. Tidak ada yang sempat menghentikannya.
"Kalian masih berharap ini bisa diselesaikan dengan undang-undang dan keyakinan? Lihat baik-baik. Ini bukan tentang benar atau salah lagi. Ini tentang sesuatu yang tak lagi tunduk pada manusia…"
"Aku serahkan diriku, agar kalian tahu: semua akan percuma. Jika kita terus berpura-pura, Sanajayan akan musnah. Batin Pangikrar telah menang, dan kalian masih sibuk memilih siapa yang harus bicara duluan."
Dan setelahnya sunyi. Beberapa jatuh pingsan. Beberapa menangis. Beberapa mencoba menyangkal apa yang mereka lihat.
Waluyo Karman belum bergeming dari tempatnya berdiri sejak ledakan cahaya terakhir menyelimuti Dharuman. Wajahnya teduh, matanya menatap kosong ke pusaran arang yang tertinggal. Jubah panjangnya hanya bergoyang pelan diterpa angin dari ventilasi tinggi di atas aula.
Ratu Wulansana, yang sedari tadi duduk dengan tangan mengepal, akhirnya menoleh padanya.
"Apakah itu... akhir dari semuanya, Waluyo?" Suaranya pelan, hampir seperti gumaman kepada langit-langit.
Waluyo menunduk singkat sebagai penghormatan atas pertanyaan itu, lalu menghela napas dalam—bukan karena kebingungan, tapi karena kesadaran akan besarnya makna dari apa yang baru saja terjadi.
"Bukan akhir, Ratu," katanya lembut. "Baru dimulai."
Ratu mengernyit. "Dimulai?"
"Dharuman telah menunjukkan kepada kita bahwa pusaka itu... tak bisa dikalahkan dengan keberanian semata. Tidak pula dengan larangan atau pengasingan," ujar Waluyo. "Ia memilih jalan yang tak seorang pun dari kita sanggup tempuh. Sebuah pesan terakhir, bahwa segala upaya tanpa penyucian batin hanya akan memperpanjang bayangan."
Ia menatap para anggota Aliansi yang tersisa. Beberapa masih terduduk pucat, yang lain berbisik gelisah.
"Namun," lanjutnya pelan, "aku percaya. Bahwa dari abu ini, kehendak Ilahiah tetap bekerja. Tak ada peristiwa yang sia-sia."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya salah satu anggota muda dari Lawes, suaranya pecah oleh emosi.
Waluyo menatapnya dengan pandangan yang dalam, seperti menyentuh sampai ke akar ketakutan lelaki muda itu.
"Kita kembali pada niat yang paling murni," ujarnya, perlahan. "Bukan untuk menundukkan Batin Pangikrar… tapi untuk memahami apa yang membuatnya menjadi gelap."
Ia menoleh pada Ratu Wulansana. "Sanajayan tak hanya butuh larangan. Ia butuh cahaya. Bukan cahaya yang membakar seperti Dharuman, tapi cahaya yang sabar, menyusup ke dalam luka terdalam bangsa kita."
Ratu Wulansana terdiam lama. Lalu perlahan berdiri.
"Maka rapat hari ini… tidak selesai," katanya lirih, namun pasti. "Kita tidak akan menyimpulkan apa pun dari tragedi. Kita akan menyimak, merenung, dan mencatat. Kita akan menyusun kembali nalar kita, bukan dari rasa takut, tetapi dari rasa gentar yang membawa kesadaran."
Waluyo menunduk hormat. "Sanajayan belum hancur. Selama satu saja niat baik tak padam, maka tanah ini belum selesai bernapas."
Di belakang mereka, tabir langit-langit Graha terbuka perlahan, memperlihatkan langit senja yang dilapisi awan jingga berkilau. Burung-burung kecil melintas, diam-diam.
Dari abu yang tinggal, ada cahaya yang turun.