Cherreads

Chapter 8 - Pengumuman Sayembara Tujuh Tahunan

Kota Wulansana, jantung megah pemerintahan Aliansi Sanajayan, berdiri anggun di bawah sinar mentari pagi yang menyepuh menara-menara batu putihnya dengan cahaya keemasan. Ukiran halus bergaya khas Wulansana melingkari setiap sudut bangunan — pola geometris rumit yang melambangkan keharmonisan dan kejayaan. Jalan-jalan lebar dipenuhi warga yang berbaris rapi, wajah-wajah mereka dipenuhi harap dan kagum saat rombongan kereta berhias lambang-lambang kota melintas perlahan. Roda-roda besar berlapis perunggu berkilauan, membawa para pemimpin dari seluruh penjuru Sanajayan menuju Aula Langit Terbuka — tempat sakral di mana keputusan besar bagi masa depan negeri akan diambil. 

Di kejauhan, bunyi gong raksasa menggema, suaranya dalam dan bergetar seperti panggilan dari bumi dan langit. Setiap dentangannya terasa menembus dada, membawa nuansa sakral dan penuh wibawa. Suara itu bukan sekadar penanda, melainkan seruan bahwa pertemuan besar telah dimulai — dan bahwa dunia Chandraklana sedang berdiri di ambang perubahan besar.

Di sebuah kereta yang melaju perlahan dari arah timur, Wandarimo Dhijoyo Respathi, mantan Pengembara Bulan Sabit yang kini menjabat sebagai penasihat agung Wijonayem, duduk diam dalam keheningan yang berat. Wajahnya tampak tegas dan kokoh, bagaikan patung batu yang dipahat oleh zaman. Sorot matanya menyimpan ketenangan dan kekuatan, memancarkan wibawa seorang kesatria yang pernah jaya. Meski ketenarannya perlahan memudar, aura kesaktiannya tetap terasa, seolah dunia belum benar-benar mampu melupakannya.

.

Matanya yang tajam, meski samar tertutup bayang-bayang lelah, menatap dalam pada sebuah cincin di tangannya. Akik Kumenteng — Bukan cincin biasa. Sebentuk akik dari emas murni, kokoh dan sedikit berat, hanya berupa lingkaran dengan penjepit sederhana tanpa batu permata. Kilauannya redup namun tegas, seolah menyimpan rahasia kekuatan yang tak butuh hiasan untuk membuktikan keberadaannya.. Permukaannya polos, namun kilauan samar di bawah cahaya pagi seakan memantulkan sesuatu yang lebih dalam, seakan cincin itu menyimpan bisikan dari masa lalu yang tak kunjung terungkap. 

Jemarinya yang kokoh, meski sedikit bergetar halus, menggenggam cincin itu mencoba merasakan apa yang tersimpan di dalamnya.

Ia menarik napas panjang. Akik Kumenteng bukan sekadar benda warisan. Ia adalah simbol. Lambang dari sesuatu yang lebih besar, yang entah mengapa memilih berada di tangannya. Di balik wajahnya yang tenang, Wandarimo bertanya-tanya… apakah cincin ini adalah anugerah atau kutukan?

Di luar jendela, hamparan pegunungan Lumut melintas seperti bayangan raksasa bisu, seolah mengawasi. Dan dalam diamnya, Wandarimo tahu... perjalanan ini bukan sekadar menuju Aula Langit Terbuka. Ini adalah perjalanan menuju kebenaran yang telah terlalu lama terkubur.

"Waktumu sudah tiba," gumam Wandarimo, suaranya serak namun tenang,

Matanya beralih ke luar jendela kereta, menatap Wulansana yang megah semakin mendekat. Kota itu bagaikan permata yang bertengger anggun di tengah danau besar, airnya memantulkan cahaya mentari pagi hingga seolah kota itu berselimut emas cair. Menara-menara batu putih menjulang tinggi, berdiri kokoh di atas pondasi pulau buatan yang dikelilingi air jernih berkilauan.

Jembatan-jembatan batu panjang membentang dari empat penjuru, menghubungkan daratan ke gerbang besar Wulansana. Di atas danau, perahu-perahu berlayar tenang, membawa pedagang dan pelancong yang berbondong menuju kota pusat pemerintahan Aliansi. Bayangan bendera Aliansi berkibar di atas menara utama, lambangnya — matahari bersayap di tengah bulan sabit — tampak gagah di antara kabut tipis pagi.

Suara gong besar menggema dari menara tertinggi di ujung kota, dentangannya menggulung melewati danau, membawa getaran yang terasa sampai ke dada

More Chapters